"Semua orang pasti ada masanya ingin menyerah. Ibu tahu, mungkin masalah-masalah yang dihadapi terasa terlalu rumit, sampai-sampai membuat diri kalian merasa tidak kuat menahan beban."
"Mengeluh? Boleh saja, tidak ada yang melarang kalian untuk mengeluh. Itu wajar. Tapi, ingatlah, di balik semua masalah yang kita hadapi, Tuhan pasti sudah menyiapkan kejutan yang tidak pernah kita bayangkan. Kalian harus percaya itu."
"Tuhan itu tidak pernah tidur. Ibu yakin, semuanya akan indah pada waktunya. Tinggal kalian saja yang harus bersabar dan ikhlas menerima ujian yang Tuhan berikan dengan lapang dada."
Kring!
"Bel istirahat sudah bunyi. Kalau begitu, pelajaran ini selesai. Semoga apa yang Ibu sampaikan tadi bisa menambah semangat kalian dalam menjalani hidup. Ingat, perjalanan hidup kalian masih panjang. Ibu pamit," ucap Guru BK tersebut sebelum meninggalkan kelas.
"Ra?" Nina menggoyangkan pundak Aurora.Lamunan Aurora buyar seketika. "Iya, kenapa, Na?" jawabnya.
"Kenapa lo bengong?" tanya Nina balik.
"Eng-enggak, kok. Gue nggak bengong," Aurora tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan pikirannya.
"Gue tahu lo bohong. Kalau gitu, sekarang ke kantin, yuk? Perut gue udah minta diisi, nih."
Aurora mengangguk setuju.
Sesampainya di kantin, mereka memilih duduk di salah satu bangku yang berada dekat dengan tembok.
"Lo mau makan apa, Ra?"
"Gue bakso pedas sama es jeruk."
"Oke!" Nina segera berjalan menuju stan untuk memesan makanan.
Aurora duduk tenang, matanya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin. Tanpa sengaja, pandangannya bertemu dengan sosok yang akhir-akhir ini sering mengganggu pikirannya—Mavendra. Nama itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Aurora menatap cowok itu dengan lekat, tanpa berkedip. Hingga, tanpa disengaja, pandangan mereka saling bertemu.
Merasa tertangkap basah, Aurora cepat-cepat menundukkan kepala, menatap layar handphone dengan jantung yang berdebar kencang.
"Lo bodoh, Ra," gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, Nina kembali dengan nampan berisi makanan. Melihat Aurora yang tampak gelisah, Nina pun bertanya dengan dahi berkerut.
"Lo kenapa? Kok kayak gelisah gitu?" tanya Nina penasaran.
Aurora hanya tersenyum tipis. "Eng-enggak, nggak ada apa-apa."
Nina duduk di depan sahabatnya, menatap lurus ke arah Aurora dengan tajam. "Ra, akhir-akhir ini gue perhatiin lo kayaknya lagi ada masalah? Bukan, bukan masalah yang biasa, kalau itu gue udah tau. Ini kayaknya masalah lain. Soalnya, gerak-gerik lo udah beda banget, bukan seperti lo yang dulu, Ra."
"Maksud lo?" Aurora berpura-pura tak paham, meski dalam hatinya ia tahu apa yang dimaksud Nina.
Nina mengedikkan bahunya ringan. "Nggak apa-apa, kok. Gue udah tau, tapi kalau lo nggak mau cerita juga nggak masalah. Gue nggak mau maksa lo buat cerita semua tentang masalah lo, 'kan? Santai aja, Ra, gue ngerti soal privasi."
"Tapi, kalau lo butuh tempat buat cerita, datang aja ke gue. Gue bakalan dengerin keluh kesah lo, dan gue bakal tetap support lo dalam keadaan apa pun," lanjut Nina sambil tersenyum tipis.
"Makasih, ya, Na." Aurora membalas dengan senyuman, meski samar.
"Hai, gue boleh gabung?" Suara yang tiba-tiba terdengar membuat mereka berdua mendongak, mencari sumbernya.
Aurora segera menundukkan kepalanya lagi, tak ingin terlibat. Ia tidak menjawab, malah sibuk menyuapkan makanan ke mulutnya, seolah-olah tak mendengar apa yang dikatakan oleh cowok itu.
"Tempatnya udah penuh semua. Tapi, kalau nggak boleh, gue bisa cari tempat lain," lanjut Mavendra dengan nada bercanda.
Nina tersenyum canggung. "Boleh, kok." Ia kemudian duduk di samping sahabatnya, sementara Mavendra duduk persis di depan Aurora.
"Ra, ini nggak salah, 'kan? Mavendra duduk satu meja sama kita?" bisik Nina pelan di telinga Aurora.
"Emang kenapa? Nggak usah diurusin," jawab Aurora dengan wajah datar.
"Oh ya, sebentar lagi kita bakal lulus. Kalian mau lanjut ke mana?" Mavendra membuka percakapan dengan santai.
"Gue, ya?" tanya Nina, yang diangguki oleh Mavendra. "Kalau gue, sih, bakalan kuliah."
"Kalau teman lo itu?" tanya Mavendra sambil menunjuk ke arah Aurora.
Aurora tetap diam, tak menjawab. Dia merasa malas untuk menanggapi pertanyaan itu.
Nina menyenggol pundak sahabatnya, memberi isyarat dengan tatapan agar Aurora menjawab pertanyaan Mavendra.
Namun, Aurora tetaplah Aurora. Dia hanya diam.
"Kal—"
"Gue ke kelas dulu." Aurora tiba-tiba berdiri, lalu berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang, meninggalkan Nina dan Mavendra.
"Sebentar, lo jangan pergi dulu!" Mavendra buru-buru mencegah Nina yang sudah bersiap untuk pergi.
"Kenapa?" tanya Nina, menoleh dengan penasaran.
"Lo kan sahabatnya Aurora, pasti tahu banyak tentang dia, 'kan?"
"Terus?" Nina menaikkan alisnya, menunggu kelanjutan dari Mavendra.
"Apa gue boleh tanya-tanya sama lo tentang Aurora? Soalnya gue mau deketin dia."
Nina memicingkan matanya, lalu menggelengkan kepala dengan tegas. "Nggak, Ven. Mending lo cari tahu sendiri. Gue nggak mau sahabat gue kenapa-napa. Kalau lo beneran mau deketin Aurora, lakukan dengan tulus. Lo harus berjuang untuk dapetin hati dia dengan usaha lo sendiri. Tapi kalau niat lo cuma main-main, lebih baik nggak usah. Hati dia udah rapuh, jangan sampai lo masuk ke hatinya dan bikin dia tambah rapuh."
Mavendra terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Nina.
'Hati dia udah rapuh, jangan lo masuk ke hatinya buat tambah rapuh lagi.'
Kalimat itu terus berputar di kepalanya, membuat Mavendra merenungkan apa yang sebenarnya dia inginkan.
***
"Ron, lo tahu apa tentang Aurora?" tanya Mavendra kepada sahabatnya, dengan nada serius.Airon mengangkat alis kanannya, merasa heran dengan pertanyaan tersebut. "Tumben, lo nanya-nanya tentang Aurora. Jangan-jangan, lo udah mulai jatuh cinta sama dia, ya? Iya, 'kan?"
Mavendra cepat-cepat menggelengkan kepala. "Nggak! Gue nggak bakal jatuh cinta sama cewek itu! Nggak akan pernah!"
"Jangan terlalu yakin, bro!" Airon menyenggol bahu Mavendra sambil terkekeh. "Dari mata lo udah kelihatan banget, Ven, kalau lo suka sama Aurora."
Mavendra tersendat, mencoba menyangkal dengan gugup. "Gu-gue nggak jatuh ci-cinta sama dia. Gue cuma... menjiwai peran, biar kelihatan serius mau dapetin dia, gitu."
Airon tertawa kecil. "Waktu lo tinggal satu bulan lagi, Ven. Gue majukan dari tiga bulan. Pokoknya gue nggak terima penolakan! Kalau lo tolak, lo tahu 'kan risikonya?"
Mavendra memicingkan matanya, merasa tak percaya. "Satu bulan lagi? Lo gila, Ron? Tiga bulan aja gue nggak yakin Aurora bakal suka sama gue, apalagi cuma satu bulan!"
Airon menyeringai. "Oke, kalau gitu, lo bencong bertitid!"
"BANGSAT!" seru Mavendra, kesal.
hai, kamu. iya kamu. selalu semangat, oke? nggak boleh nyerah dalam keadaan apa-pun itu. pokoknya nggak boleh. kamu itu manusia kuat! jadi, nggak boleh sedih lagi, ya🤍
instagram : hrdntaar
KAMU SEDANG MEMBACA
MAVENDRA [END]
Teen FictionMenaklukkan cewek dingin? Tidak ada di kamus milik Mavendra. Cowok dengan kain yang selalu melingkar di kepalanya. Ini semua karena dia mendapatkan dare dari sahabatnya untuk meluluhkan seorang cewek yang berwajah datar dan irit bicara. Ia kira, pe...