4

832 121 56
                                    


Setibanya di perpustakaan, Mavendra mencari Aurora dengan mencelat ke sekeliling ruangan. Matanya menyipit saat melihat gadis itu sedang berbincang dengan seorang pria—yang ternyata adalah rivalnya.

Dengan buku yang masih digenggam, Mavendra melangkah menuju mereka. Ia sengaja menabrakkan tubuhnya ke pria tersebut sehingga buku yang dipegangnya terjatuh ke lantai.

Mavendra melebarkan matanya dan menampilkan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. "Maaf, gue sengaja."

"Bangsat lo!" teriak cowok itu sambil mengelus pergelangan tangannya.

"Ambil, Ven!" perintah Aurora dengan tatapan tajam yang menusuk ke arah Mavendra.

Mavendra mendengus kesal, tapi akhirnya ia mengalah dan mulai memungut buku-buku yang berserakan akibat ulahnya sendiri.

"Kalau dilihat-lihat, lo kayak babu kita, ya? Iya nggak, sih?" celetuk seorang cowok yang duduk di sebelah Aurora. Namanya Rama.

Dengan wajah merah padam, Mavendra meletakkan buku yang dipegangnya ke lantai dengan keras. Tanpa ragu, ia kemudian berdiri dan menarik kerah baju Rama. "Maksud lo apaan, njing?!"

"Santai, bro, santai. Gue nggak nyindir lo, kok. Tapi kenapa lo marah-marah? Ngerasa, ya? Kalau iya, sih, alhamdulillah."

"BANGS-"

"MAVENDRA, RAMA!" tiba-tiba suara tajam memotong ketegangan di antara mereka.

Dari kejauhan, terlihat Bu Risma, guru penjaga perpustakaan, melotot ke arah mereka berdua. "Kamu nggak lihat ada tulisan itu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah dinding dengan tulisan besar ‘DILARANG BERISIK’.

Dengan wajah polos, Mavendra menggeleng. "Nggak lihat, Bu. Orang tulisannya tinggi banget, kayak harapan orang tua."

Bu Risma hanya bisa mengelus dada, mencoba bersabar, lalu tersenyum tipis. "Kalau kamu nggak ada kepentingan di sini, lebih baik keluar. Jangan ganggu anak-anak yang lagi serius baca."

"Yaelah, Bu. Nih lihat, saya bawa buku segini banyak. Berarti ada kepentingan, kan? Emangnya si dia," Mavendra melirik ke arah Rama, "Nggak ada kepentingan masuk ke sini."

"Tapi bukannya tadi saya nyuruh Aurora? Kenapa malah kamu yang bawa?" tanya Bu Risma dengan alis terangkat.

"Sebagai calon pacar yang baik hati dan tidak sombong, saya harus bantu calon pacar saya, dong, Bu. Kasihan kalau dia disuruh bawa buku sebanyak ini."

"Emang Aurora mau sama kamu yang modelannya kayak jamet begitu?"

"Jangan salah sangka, Bu. Jelaslah Aurora mau sama saya. Bu Risma seharusnya udah nggak kaget lagi lihat saya. Saya ini sudah ganteng, mapan, tinggi. Kurang apa lagi, coba?" ucap Mavendra penuh percaya diri.

Aurora hanya menggeleng kecil. "Maaf, Bu, saya letakkan bukunya di meja, ya." Dengan tenang, ia berjalan ke arah meja Bu Risma dan meletakkan buku-buku tersebut, lalu keluar dari perpustakaan.

Begitu melihat Aurora keluar, Mavendra langsung berteriak, "AYANG TUNGGU!"

"MAVENDRA, JANGAN TERIAK-TERIAK!" seru Bu Risma dengan nada tinggi.

Namun, Mavendra yang masih berlari, menoleh ke belakang sambil berseru, "Ibu juga jangan teriak-teriak!"

***

"Tunggu dong, Ay," rengek Mavendra dengan nada manja, seperti anak kecil yang merengek pada ibunya.

Aurora tidak menggubris suara di belakangnya itu. Sebaliknya, ia justru mempercepat langkahnya, berharap bisa segera sampai di kelas. Namun, rencananya untuk cepat sampai ke kelas tak berjalan mulus karena tiba-tiba Mavendra berhasil menarik pergelangan tangannya.

MAVENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang