5.

680 115 3
                                    

Bel pulang sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Mavendra sedang menunggu Aurora di depan kelas.

"Dasar anak IPA. Kalau udah waktunya pulang, ya langsung pulang lah, terlalu rajin banget," gumam Mavendra yang sedari tadi menunggu di depan pintu kelas.

Tak lama, pintu kelas terbuka, menampilkan seorang guru yang menatapnya dari bawah ke atas dengan tatapan bingung. "Mau ngapain kamu?" tanya guru tersebut.

"Mau jemput ayang. Emang kenapa, Bu?" jawab Mavendra balik.

"Emang ada yang mau sama kamu?" Guru tersebut melontarkan kalimat yang tajam, lalu pergi meninggalkan Mavendra. Mavendra memegang dadanya, merasa tertekan oleh ucapan tersebut.

"Apa gue sejelek itu, ya?" gumamnya mendramatisir. "Nggak juga, kata Mamah gue, gue itu cakepnya nggak ada yang nandingin," lanjut Mavendra dengan percaya diri, diiringi senyum lebar.

Semua orang yang berlalu lalang mengira bahwa cowok itu adalah salah satu pasien yang lolos dari RSJ (Rumah Sakit Jiwa).

Satu per satu orang keluar dari kelas, dan banyak mata yang menatap Mavendra. Mau bagaimana lagi, dia memang termasuk dalam jajaran cowok terganteng di sekolah ini. Bagi yang memiliki mata yang sudah tidak sehat, mungkin saja.

Setelah merasa kelas sudah sepi dan hanya tersisa Aurora, Mavendra segera masuk ke dalam kelas.

"Hai," sapa Mavendra.

Aurora menaikkan satu alisnya.

Mavendra menarik kursi di samping Aurora dan duduk, lalu menyangga kepala menggunakan telapak tangan, menatap Aurora. "Nanti ada waktu nggak? Kalau ada, boleh anterin gue beli kado?"

Aurora menggelengkan kepala. "Gue sibuk."

"Please, sebentar aja. Tenang, nggak bakal lama banget. Mau, ya?"

"Oke." Aurora langsung mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kelas.

"Yes! Pelan-pelan aja dulu." Mavendra bersorak kegirangan. "Eh, tungguin, Ra!" teriaknya, lalu menyusul Aurora.

Di parkiran, Mavendra mengambil helm miliknya. "Mau pakai sendiri ap—" Belum sempat menyelesaikan ucapannya, helm itu langsung direbut oleh Aurora.

"Buruan."

Dengan cepat, Mavendra menaiki motor dan melajukannya keluar dari halaman sekolah yang sudah sepi.

Dalam perjalanan, hanya keheningan yang terjadi. Dari spion motor, Mavendra dapat melihat wajah Aurora yang sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun. Aneh, tapi nyata; ini adalah pertama kalinya ia menemukan spesies langka. Padahal banyak cewek yang pernah ia bonceng selalu menunjukkan berbagai ekspresi.

"Lama!"

"Apa?!" Mavendra pura-pura tidak mendengar.

"Lama!"

"Apa yang keras? Soalnya gue nggak denger."

Aurora mendengus sebal.

Mavendra memang sengaja memperlambat laju motornya agar bisa berlama-lama dengan cewek yang ia bonceng. Ia tidak tahu bahwa Aurora sudah lama menahan rasa amarahnya. Kalau ia tega, mungkin rambut cowok di depannya ini sudah rontok semua.

Tak lama kemudian, mereka akhirnya sampai di mall terbesar di Ibu Kota. Setelah Mavendra selesai memarkirkan motornya, mereka berdua langsung masuk ke dalam mall, dengan Aurora mengikuti di belakang.

Mavendra tiba-tiba berhenti, membuat Aurora yang berada di belakangnya menabrak punggungnya.

"Jalan di samping gue." Mavendra menarik pergelangan tangan Aurora, lalu melanjutkan langkahnya menyelusuri luasnya mall tersebut.

***

Sudah terhitung sekitar dua jam mereka hanya melihat-lihat berbagai macam barang. Jam menunjukkan pukul lima sore, dan Aurora khawatir jika ibunya marah karena ia pulang terlalu larut.

Sebenarnya, Aurora sudah kebal terhadap amarah ibunya. Namun, ia takut ibunya melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya.

"Pulang," ajak Aurora.

"Sebentar." Mavendra menatap Aurora. "Menurut lo, ini bagus apa enggak?" tanyanya sambil memperlihatkan gelang berwarna hitam yang terdapat huruf "A".

"Iya, bagus."

Mavendra mengangguk, lalu mengambil gelang tersebut dan membayarnya di kasir.

"Makan dulu, ya?"

Aurora menggeleng cepat. "Pulang," katanya berkali-kali kepada Mavendra.

"Oke. Nanti sampai rumah, biar gue GoFood-in, ya?"

Aurora tidak menjawab. Ia malah melengos pergi meninggalkan Mavendra yang masih membayar di kasir.

Mata Mavendra membelalak. Dengan cepat, ia mengambil barang yang baru dibeli dan berlari menyusul Aurora.

Semua orang menatapnya dengan tatapan heran, tapi Mavendra tidak peduli. Yang penting sekarang adalah menemukan Aurora. Jika saja ini bukan tantangan dari sahabatnya, tidak mungkin ia mengeluarkan usaha sebesar ini.

Matanya menyipit saat melihat Aurora berjalan keluar dari mall. Mavendra mempercepat langkahnya dan berhasil menghentikan Aurora.

"Stop.... Stop!" napas Mavendra naik-turun tak beraturan. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menghalangi Aurora agar tidak pergi.

Aurora berdecak sebal. "Minggir. Gue mau pulang."

"Kenapa lo ninggalin gue, Ra?" tanya Mavendra.

"Pulang."

"Ya, 'kan, bisa nungguin gue dulu. Lagian, kenapa sih lo nggak mau jalan sama gue? Emang gue se—tidak menarik di mata lo?"

Aurora diam. Dengan wajah datar, ia menjawab dengan santai, "Ya. Semua orang nggak ada yang menarik. Termasuk lo."

Setelah mengucapkan itu, Aurora melanjutkan langkahnya. Namun, pergelangan tangannya kembali dicekal oleh Mavendra.

"Enggak usah pegang-pegang!" Aurora berontak.

Mavendra melepaskannya. "Oke, maaf. Tapi pulangnya bareng gue, ya. Pokoknya bareng gue, soalnya yang ngajak ke sini itu gue, jadi yang anter pulang juga gue. Enggak apa-apa gue sedikit maksa," kata Mavendra sambil melepas tasnya dan menempelkannya di pinggang. Ia mendorong pelan tubuh Aurora. "Biar nggak kena, lo," bisiknya.

Aurora tidak menghiraukannya.


vote and komennya kaka☝🏻

MAVENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang