17

137 13 0
                                    

"Oh."

"Lo nggak marah sama gue, Ra? Kenapa? Harusnya lo marah, kan?" tanya Mavendra bertubi-tubi, karena ia terkejut dengan jawaban Aurora.

"Buat apa gue marah. Sebenarnya gue udah tau rencana lo dari awal, tapi gue diam aja. Gue cuma mau tau seberapa lo bisa bertahan sama permainan lo itu."

"Tapi, Ra. Kalau gue bilang, gue suka sama lo beneran, gimana?"

Aurora berdiri dari duduknya. "Pulang," ajaknya.

Mavendra ikut berdiri. "Ra, jaw—"

"Pulang, Ven!" bentak Aurora.

Mavendra menghembuskan napasnya berat. Dirinya menyusul Aurora yang sudah berjalan dahulu.

Ia sudah mantap untuk berbicara seperti itu. Sesuatu yang mengganjal di hatinya sekarang sudah tidak ada. Tetapi, dirinya juga harus siap menanggung konsekuensinya.

Tak lama setelahnya, mereka telah sampai di depan rumah milik Aurora. Cewek itu turun dari motor, melepas helm lalu berjalan begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Lagi dan lagi Mavendra menghembuskan napasnya berat. Ia langsung melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tak perduli dengan sekelilingnya yang memaki-makinya dengan berbagai umpatan.

Sampai di rumah, Mavendra berjalan menuju kamarnya dengan perasaan yang tak bisa diutarakan.

Risa yang melihat anaknya berjalan begitu saja langsung bertanya-tanya dalam hati.

"Lagi ada masalah?" Risa bergumam. Menghela napas panjang. Setelah mematikan televisi, wanita itu berjalan menuju ke lantai dua di mana kamar anaknya berada.

Tok tok tok

"Bang, Mamah boleh masuk?" tanya Risa dari balik pintu.

"Masuk aja, Mah," jawab Mavendra.

Risa membuka pintu kamar anaknya, lalu menutupnya setengah. Berjalan ke arah kasur terdapat anak sulungnya sedang menenggelamkan wajahnya di bantal.

"Kamu kenapa, Bang?" tanya Risa.

"Nggak pa-pa, Mah." Mavendra menjawabnya tanpa bergeming.

Risa menghela napasnya panjang. "Kamu pikir, Mamah percaya sama jawaban kamu itu? Selama delapan belas tahun Mamah ngerawat kamu. Mamah tahu semua sifat dan perilaku kamu, Bang. Kalau kamu ada masalah, nggak tahu mau cerita ke siapa, coba cerita ke Mamah. Mamah bakalan siap dengerin cerita kamu, sampai hati kamu tenang."

Mavendra merubah posisinya sekarang menjadi duduk. "Mah?" ucapnya dengan mata yang memerah.

"Kalau kamu mau cerita, Mamah udah siap dengerin."

"Mah, Aven cowok pengecut, ya?"

"Maksudnya?" tanya Risa bingung.

"Aven udah mainin perasaan perempuan."

"Cerita jangan setengah-setengah. Dari awal Mamah pengin tahu."

"Mah, Aven buat cewek itu bahan tantangan. Kalau Aven bisa luluhin cewek itu, terus ceweknya baper, Aven boleh ngapain aja. Tapi kalau kalah, Aven bakal kena hukuman."

"Sebenarnya Aven udah mau tolak tantangan ini. Tapi Aven gengsi. Aven nggak mau di panggil bencong sama temen Aven. Jadi, mau nggak mau Aven harus terima tantangan ini."

"Tiga bulan waktu Aven buat luluhin dia. Tapi, diganti jadi satu bulan. Dan satu bulan, Aven terus deketin cewek itu biar cepat-cepat luluh. Tapi, nggak tau kenapa, di hati kecilnya Aven, Aven rasanya mau berhenti buat lanjutin tantangan ini."

"Karena lama-kelamaan Aven ngerasa nyaman dekat sama dia. Aven selalu kepikiran sama dia. Pokoknya yang ada di otak Aven itu cuma dia, Mah."

"Terus, tadi Aven ajak dia buat keluar cari angin. Nggak tau kenapa, tiba-tiba Aven pengin banget ngucapin sesuatu yang mengganjal dihati Aven. Dan akhirnya, Aven bisa ngucapinnya."

"Tapi dia langsung marah sama Aven. Dia langsung ajak pulang. Aven nyesal sama perbuatan yang udah Aven lakuin, Mah."

"Aven takut kalau dia benci banget sama Aven. Apa sekarang Aven kena karma?"

Risa memeluk anaknya dengan penuh kehangatan. Tangan kirinya terulur mengelus kepala anaknya.

"Mamah nggak membenarkan perbuatan kamu itu sayang. Di sini kamu yang salah karena kamu memainkan perasaan seseorang. Padahal, dulu itu kamu udah janji sama Mamah, kalau kamu nggak bakalan mainin perasaan perempuan."

"Sebelum kamu menyetujui permainan itu, apa kamu nggak ada kepikiran sama sekali gitu, konsekuensinya yang bakalan kamu tanggung? Ini berat, loh. Ini soal perasaan."

"Apalagi perempuan. Perempuan itu hatinya lemah, beda sama laki-laki, Bang. Kalau masalah satu ini, Mamah nggak bisa bantu kamu, maaf. Mamah cuma mau pesan, kalau kamu masih bisa meminta maaf, segera lah. Sebelum semuanya bakalan sia-sia. Kalau kamu mau memperbaiki semuanya, segera lah."

"Mungkin apa yang dibilang kamu benar, kamu kena karmanya sendiri. Sekarang malah kamu, kan, yang mempunyai perasaan ke dia?"

Mavendra menganggukkan kepala.

"Mamah ke kamar dulu, ya. Kasian Papah, mungkin lagi kebingungan cari-cari Mamah." Risa berdiri dari duduknya. Sebelum melangkah pergi, dirinya mengecup kening anaknya.

Setelah pintu kamar tertutup kembali, Mavendra langsung mengambil handphone dan mengetik sesuatu di sana.

*** 

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, kedua mata Aurora masih terbuka dengan sangat lebar. Menatap ke arah langit-langit kamarnya. Dirinya bingung dengan perasaannya sekarang. Kenapa sedari tadi yang terus terngiang-ngiang dikepalanya itu adalah Mavendra.

Aurora menutupi tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki menggunakan selimut. Matanya itu terpejam, tetapi tidak bisa sama sekali. Membuka selimut itu, lalu menutupnya kembali. Kegiatan itu ia lakukan terus berkali-kali hingga dirinya kesal sendiri.

Beranjak dari kasur, tak lupa membawa Handphonenya menuju ke lantai satu. Setelah mengambil minum dari dapur, Aurora berjalan menuju ruang tamu. Menundukkan pantatnya di sofa lalu menghidupkan televisi.

Ting

Aurora mendengar notif dari handphone. Ia menghidupkannya dan ternyata itu adalah pesan dari Mavendra. Lantas ia mematikannya kembali, karena malas untuk menanggapi. Lalu kedua matanya kembali fokus ke arah layar televisi.









haloooo
jangan lupa vote and komen yaaa

instagram : hrdntaar

MAVENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang