20

192 16 0
                                    


"Orang tua gue udah nggak ada semua. Mamah meninggal karena kanker stadium akhir, dan nggak lama setelah itu, beliau berpulang. Sedangkan Papah, setelah ditinggal Mamah, menikah lagi. Sekarang, gue tinggal sama Mamah tiri," ujar Aurora dengan suara berat.

"Kalau lo mau tahu kenapa Papah meninggal, beliau kecelakaan pesawat waktu gue pertama kali masuk SMA. Semua ini salah gue. Gara-gara gue, Papah meninggal. Kalau aja beliau nggak nurut sama keinginan gue, semua ini nggak akan terjadi." Suaranya mulai bergetar, namun Aurora terus bercerita.

"Gue maksa Papah pulang dari London ke Indonesia buat nganter gue ke sekolah. Dulu gue maksa banget, pokoknya, pertama kali berangkat ke sekolah harus sama Papah. Aslinya, beliau nggak bisa karena kerjaan masih banyak, tapi gue ngancam kalau bukan Papah yang nganter, gue nggak bakalan mau sekolah." Aurora menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum melanjutkan. "Jadi, mau nggak mau, beliau pulang dua hari sebelum gue masuk sekolah."

Aurora terdiam sejenak, sebelum melanjutkan ceritanya dengan suara yang lebih pelan. "Waktu itu gue masih ingat, sekitar jam sepuluh malam, gue sama Mamah tiri lagi nonton televisi. Tiba-tiba muncul berita kalau pesawat dari London ke Indonesia mengalami kecelakaan parah."

"Diberitahukan, pesawat dengan rute penerbangan London-Indonesia jatuh di perairan Jawa pada 10 Januari 2020. Kecelakaan ini mengakibatkan 140 penumpang dan 7 kru menjadi korban. Kami mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban."

"NGGAK!" Aurora menatap Mamahnya dengan panik. "Mah, Papah nggak naik pesawat itu, kan?" tanyanya, suaranya mulai pecah.

Ambar tersenyum miris, mencoba tetap tenang meskipun hatinya terguncang. "Mamah nggak bisa memastikan, tapi sepertinya itu pesawat yang Papah kamu naiki, Nak."

"NGGAK! NGGAK MUNGKIN!" Aurora buru-buru mengambil ponselnya. Ia mencoba menelepon Papahnya berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Pikirannya semakin kalut.

"Ayo dong, Pah, angkat teleponnya. Itu berita bohong, kan? Nggak mungkin Papah ninggalin Rara," desaknya sambil terus menelepon. Jari-jarinya bergetar hingga tak sadar ia menggigit ibu jarinya sampai berdarah.

"Sayang, tenang." Ambar memeluk Aurora erat, mengelus lembut rambut panjang putrinya. "Kalau memang itu pesawat yang Papah naiki, kamu harus mencoba ikhlas. Ini takdir Tuhan. Kita hanya bisa berdoa, jika benar Papah kamu adalah salah satu korban, semoga saja beliau diberikan keselamatan. Meskipun kemungkinan itu kecil, apa pun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak."

Namun, Aurora tak bisa berhenti menangis. Kesedihannya begitu dalam.

Keesokan harinya, saat sarapan, tiba-tiba terdengar dering telepon rumah yang terus-menerus berdering.

"Sayang, angkat teleponnya. Mamah mau beresin sisa makanan," ujar Ambar.

Aurora mengangguk lemah. Ia berjalan ke arah telepon dengan satu tangan membawa segelas air putih.

"Pagi, dengan siapa?" tanyanya pada si penelepon.

"Selamat pagi. Apakah benar ini keluarga Mahendra Darmokusomo?" suara di ujung telepon terdengar formal.

"Ya, benar. Ada apa?" jawab Aurora, mulai merasa cemas.

"Dengan sangat menyesal, kami ingin memberitahukan bahwa salah satu korban kecelakaan pesawat kemarin adalah Tuan Mahendra Darmokusomo. Jasad beliau sedang ditangani di Rumah Sakit Harapan, dan—" ucapan itu terputus saat gelas di tangan Aurora jatuh ke lantai. Tubuhnya bergetar hebat, dan rasa takutnya berubah menjadi kenyataan.

Ambar yang mendengar suara kaca pecah langsung berlari menghampiri Aurora. "Ada apa?" tanyanya, bingung.

"Mah, Papah meninggal," bisik Aurora, suaranya nyaris tak terdengar. Sesaat kemudian, pandangannya menggelap, dan dia jatuh pingsan.

Setelah lebih dari satu jam pingsan, Aurora akhirnya terbangun dengan tatapan kosong. Air matanya kembali mengalir saat menyadari kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Di sampingnya, Mamahnya duduk, menunggu dengan penuh kekhawatiran.

"Sayang, minum dulu," Ambar menyodorkan segelas air putih ke Aurora.

Aurora hanya menyesap sedikit, lalu kembali menatap jendela dengan pandangan kosong. "Semua jahat. Kenapa semua orang ninggalin aku sendirian? Mereka nggak sayang sama Rara?"

Ambar memeluk Aurora erat. "Masih ada Mamah, sayang. Kamu nggak sendirian. Kamu harus kuat, oke?"

***

"Mah, bisa tinggalin Aurora sendiri?" pinta Aurora dengan suara lemah.

Ambar, yang memahami situasi putrinya, mengangguk pelan. "Iya, sayang. Mamah tunggu di mobil, ya?" jawabnya lembut. Aurora hanya mengangguk sebagai balasan.

"Maafin Rara, Pah." Dengan penuh penyesalan, Aurora mengelus nisan Papahnya.

Sekarang, dengan sisa-sisa tenaganya, Aurora berdiri di samping makam Papahnya. Hanya beberapa menit ia bisa menatap jasad Papahnya saat pemakaman. Ia tak kuat melihat tubuh Papahnya yang hancur akibat kecelakaan itu.

Matanya sembab, bibirnya pucat, dan tubuhnya semakin kurus. Semua itu menggambarkan kesedihan mendalam yang Aurora rasakan.

"Katanya Papah sayang sama Rara? Kalau sayang, kenapa Papah ninggalin Rara sendirian? Dulu, Papah janji mau selalu ada di samping Rara, kan?"

"Tapi kenapa Papah bohong sama Rara? Dulu Mamah ninggalin Rara, sekarang giliran Papah. Apa Rara nggak boleh bahagia? Kenapa Tuhan nggak adil sama Rara, Mah, Pah? Kenapa Tuhan manggil kalian duluan?"

"Rara mau coba ikhlas, tapi Rara butuh waktu." Aurora mengecup batu nisan kedua orang tuanya dengan penuh rasa kehilangan.

Tiba-tiba, hujan turun membasahi tubuhnya. Seakan-akan alam pun mengerti kesedihan yang sedang melanda hatinya. Aurora menangis semakin keras, tenggelam dalam kesedihan yang tak terucapkan.

***

Mavendra yang tak tega mendengar cerita itu langsung merengkuh Aurora dalam pelukannya. "Udah, nggak usah dilanjutin kalau lo nggak kuat. Gue ngerti gimana beratnya posisi lo saat itu. Mungkin cerita ini bisa sedikit mengurangi beban di pundak lo, Ra, meskipun harus mengingat lagi kejadian menyedihkan beberapa tahun yang lalu." Dia melepaskan pelukannya dengan lembut. "Tapi gue tahu, lo cewek yang kuat! Jadi, nggak boleh sedih lagi, ya?"

Aurora mengusap sisa air matanya, lalu berdiri. "Huh, kenapa malah jadi sedih kayak gini, sih? Udah, ayo pulang." Tanpa menunggu jawaban, dia berjalan mendahului Mavendra.

Mavendra ikut berdiri dan menatap punggung Aurora dengan penuh empati. "Gue nggak tega lihat lo kayak gini, Ra. Gue tahu lo aslinya ceria, tapi gara-gara kejadian ini, semuanya berubah. Lo cuma butuh teman cerita. Gue yakin lo bingung mau cerita ke siapa, makanya lo pendam sendiri. Tapi intinya, Ra, dari apa yang udah lo ceritain ke gue, gue tambah yakin buat selalu ada di samping lo. Meskipun lo risih sama perlakuan gue, tapi gue yakin, lama-lama lo bakal nyaman. Kita cuma perlu adaptasi satu sama lain."

Dalam hati, Mavendra menambahkan, "Kali ini gue nggak bakal main-main sama perasaan gue sendiri. Mungkin ini karma yang harus gue terima. Gue sayang sama lo, Ra."












jangan lupa vote and komen yaa seng

follow ig aku ya...
instagram : hrdntaar

MAVENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang