Part 41 : Anjil

28 4 21
                                    

~Kembali menyusun,
kepingan demi kepingan memori tentangmu~

°°°

Arsalan masih terdiam tidak bergeming, dihadapan Medina Kara-Ibunya, sementara ekor matanya sesekali melirik ke arah benda bulat berwarna hitam yang berada ditangan kanannya, entah sudah berapa lama ia menunggu, karena saat ini wanita setengah baya yang masih terlihat cantik diusia senjanya itu, sedang menangis tanpa henti.

"Mau sampai kapan ibu menangis, hm?" tanya Arsalan lembut, sementara jemari besarnya sibuk menyeka air mata Medina, menggunakan selembar tisu, yang entah sudah berapa banyak di habiskan untuk menghentikan linangan benda bening tersebut.

"Sampe abang menuruti permintaan Ibu," jawab Medina, sambil sesekali mengeluarkan ingus yang menyumbat hidungnya, karena terlalu banyak menangis.

Arsalan menarik nafasnya perlahan, "Arsa kan udah bilang ... Arsa punya misi penting, untuk hari ini saja, ibu tolong mengerti, ya?" sambungnya lagi, sementara jemarinya mengusap perlahan punggung tangan ibunya.

"Misi apaan? emang Abang lagi nyamal jadi James Bond, ya?" tanya Bima, yang sedang duduk di samping Medina Kara, berusaha memahami situasi yang sedang terjadi saat ini.

"Bocil diem dulu deh, jangan memperkeruh keadaan," jawab Arsalan, sekaligus menatap Bima dengan serius.

"Ya udahlah ... Bima yang ganteng dan kalem ini, diem aja," seloroh bocah laki-laki berbadan gempal itu.

"Nah ... bagus diem gitu, kan jadi mirip Haruto," sambung Arsalan lagi, sementara dalam hatinya sudah terkekeh geli.

"Anjil ... yang benel, bang?" tanyanya, sementara kaki mungilnya segera berlari ke arah cermin besar, yang terletak tidak jauh dari tempat duduknya, lalu dengan percaya diri tingkat Dewa, Bima mulai menyugar rambutnya kebelakang menggunakan jemarinya, "milip Haluto apa milip Malk? kata temen gue milip Malk, yang benel yang mana nih?" tanya nya lagi, mencoba memastikan level ketampanan wajahnya, sementara jemarinya tidak henti-hentinya merapikan anak rambut yang berantakan.

Mata temen lo, menderita rabun jauh kayaknya.

"Hmm ... lebih mendekati mirip Mark sih, Mark dikutuk tapi," jawab Arsalan, sambil terkekeh perlahan, karena sebentar lagi perutnya pasti bakalan jadi samsak hidup, dari pukulan tangan adiknya.

"Bacot benel lo, bang!" Bima pun mendengkus kesal, dan mulai menghampiri abangnya, siap melayangkan bogem, karena Arsalan selalu saja menjahilinya

"Hei ... sudah!" sergah Medina, melihat situasi yang mulai tidak kondusif, "bisa diem dulu gak kalian berdua? ibu lagi serius nih," tegas Mendina Kara.

Arsalan dan Bima pun segera segera menghampiri ibunya, kemudian menundukkan kepalanya dalam-dalam, mengambil posisi duduk termanis, karena takut Medina semakin meradang, cowok tampan itu, berada di sebelah kanan Medina dan Bima berada di sebelah kirinya.

"Abang ... ibu enggak setuju kamu menikah dengan Lila," lanjut Medina lagi.

Arsalan kembali mengambil nafas panjang, kemudian menggenggam tangan ibunya, "Arsa tau kok ibu enggak akan setuju, kan menantu ibu Eswa bukan Lila," bujuk Arsalan, sambil mengelus lembut punggung tangan ibunya, "tapi Arsa harus membersihkan nama baik Arsa, siapa yang berbuat harus berani bertanggung jawab, bukan Arsa yang menghamili Lila, siapa yang makan buahnya, Arsa yang kena getahnya," lanjutnya lagi sambil menarik nafas berat.

"Buah apaan, bang?" tanya Bima dengan polosnya.

"Buah dada," jawab Arsalan ngasal.

"Hah?" seloroh Bima, tidak mengerti.

Arsalan My Everest (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang