Part 1

13.1K 360 77
                                    

Suara gemericik hujan dan udara yang cukup dingin menemani kegiatan Verlita, yang sedang mengajar, sore ini. Seorang anak laki-laki duduk di hadapannya dengan kepala yang terus menunduk, menatap rentetan soal matematika di bukunya. Sesekali, Verlita memanggil anak itu agar mendongak saat posisi kepalanya makin dekat dengan buku.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Verlita. Diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja, lalu dia membuka sebuah pesan masuk dari suaminya.

Hubby :
Sayang, hari ini aku pulang telat.
Kamu nggak usah masakin buat aku.

Verlita menghela napas panjang sebab lagi-lagi suaminya lembur. Beberapa minggu terakhir, Randy sering pulang larut malam karena pekerjaannya cukup banyak. Bahkan, tidak jarang, hari libur dijadikan waktu untuk bekerja.

Verlita membalas pesan itu secara singkat, lalu pandangannya beralih ke arah jendela yang menampakkan suasana di luar rumah, yang sedang hujan. Pikirannya kembali mengingat masa di mana Randy selalu pulang tepat waktu dan dia menyambut kedatangan suaminya dengan hangat. Sekarang, hal itu jarang dilakukan sebab Randy selalu pulang saat dia sudah terlelap.

Jika ada yang bertanya apakah hubungan keduanya sedang tidak baik, jawabannya tentu tidak. Rumah tangga mereka dalam keadaan baik, hanya saja Verlita merasakan ada yang berbeda dengan suaminya.

“Ibu, soal yang ini gimana caranya?”

Suara Harvi membuyarkan lamunan Verlita dan perhatiannya beralih kepada anak laki-laki itu.

“Berapa luas trapesium sama kaki?” Verlita membaca soal yang ditunjuk Harvi, lalu beralih menatap mata anak laki-laki di hadapannya. “Apa rumus luas trapesium?”

Harvi langsung menunjukkan cengiran, pertanda tidak tahu rumusnya.

Verlita mengambil kertas dan pulpen di atas meja, lalu menggambar trapesium, sama persis seperti di dalam soal. “Luas trapesium itu setengah dikali panjang jumlah sisi sejajar, dikali tinggi.”

Harvi memperhatikan Verlita dengan saksama. Tubuhnya condong ke depan, dadanya menempel dengan meja, dan kepalanya sedikit miring.

“Panjang yang sejajar berapa angkanya?” tanya Verlita seraya menatap Harvi.

“Dua belas sama dua puluh.”

“Tingginya?”

“Enam.”

“Sekarang, angkanya masukin ke rumus tadi. Setengah dikali dua belas, ditambah dua puluh, terus dikali enam.” Verlita menuliskan angka-angka yang dia sebutkan ke atas kertas sambil mengajari Harvi. “Coba hitung.”

Harvi menyalin rumus yang Verlita tulis dan langsung menghitungnya. “Sembilan puluh enam.”

“Nah, itu bisa,” puji Verlita sambil mengusap kepala Harvi. “Ayo, lanjut lagi kerjain soal yang lain.”

Harvi mengangguk cepat dan seulas senyum tercetak di wajah Verlita. Wanita itu terus memperhatikan Harvi, yang begitu tekun mengerjakan soal. Perasaan bahagia selalu terasa setiap dia menemani anak kecil belajar, sayangnya tidak pernah sekali pun dia mengajari anaknya sebab sampai saat ini belum diberi keturunan, padahal sudah menikah hampir tiga belas tahun.

Setelah resign dari pekerjaannya sebagai pegawai bank, Verlita mencari kesibukan yang sekiranya tidak terlalu menguras tenaga sebab dia sedang menjalani progam hamil. Awalnya, dia berjualan pakaian secara daring dan usahanya itu terus meningkat setiap tahunnya. Lagi-lagi, hal itu menguras tenaga wanita itu. Randy terpaksa menyuruhnya untuk tidak melanjutkan usaha agar dia bisa fokus dengan program kehamilan. Pada akhirnya, dengan sangat terpaksa, wanita itu menutup online shop-nya dan beralih menjadi guru les matematika sejak beberapa tahun lalu.

“Udah beres, Bu.”

“Udah beres?” tanya Verlita sambil menarik buku milik Harvi, lalu memeriksa jawabannya. “Yang ini masih kurang tepat. Pecahan dari dua puluh persen sama dengan dua puluh per seratus. Harusnya, diperkecil lagi jadi satu per lima.”

“Oh, iya, lupa,” tutur Harvi sambil menepuk jidat.

Verlita tersenyum simpul sambil menggeleng pelan. “Pelajaran hari ini udah beres. Minggu depan Harvi udah mulai ujian, jadi lesnya libur sampai masuk tahun ajaran baru.”

“Iya, Bu.”

“Semoga ujiannya lancar dan dapat nilai yang bagus. Ibu mau pamit, tolong panggilin Ibu Harvi.”

Harvi mengangguk, lalu berlari mencari ibunya. Sementara Harvi memanggil ibunya, Verlita membereskan buku miliknya ke dalam tas dan mengecek ponsel yang sudah menunjukkan pukul empat lewat sepuluh menit. Jam belajarnya kelebihan sepuluh menit ternyata.

“Udah beres, Bu?”

Suara Ibu Harvi membuat Verlita menoleh dan dia segera berdiri saat wanita itu berjalan menghampirinya. “Iya, Bu. Maaf kelebihan sepuluh menit.”

“Nggak apa-apa. Ini uang bayaran bulan ini. Makasih udah ngajarin anak saya selama satu semester ini,” tutur Ibu Harvi sambil memberikan sebuah amplop berwarna putih kepada Verlita.

“Sama-sama, Bu. Uangnya saya terima, terima kasih.”

“Semester depan masih bisa ngajarin anak saya, kan?”

“Insyaallah bisa,” jawab Verlita. “Saya pamit pulang, Bu. Assalamualaikum.”

Verlita segera pulang setelah pamit kepada sang pemilik rumah. Dia membuka payung lipat, lalu berjalan di bawah rintik hujan menuju rumah, yang jaraknya cukup jauh dari sana. Cuaca sore itu cukup gelap, padahal baru jam empat. Seharian memang tidak ada sinar matahari sebab hujan turun sejak pagi.

Udara dingin menusuk kulit Verlita. Dia lupa membawa jaket dan tubuhnya mulai kedinginan sebab hujan makin deras. Langkah kakinya dipercepat agar segera tiba di rumah. Namun, dia ingat pesan suaminya, yang menyuruh untuk tidak perlu memasak. Di rumah tidak ada makanan dan dia sedikit malas jika harus memasak hanya untuk dirinya sendiri. Akhirnya, Verlita menuju ke sebuah warteg sebelum pulang ke rumah. Warteg itu sudah menjadi langganannya setiap malas memasak dan hanya masakan di warteg itu yang cocok di lidah Randy.

Setibanya di warteg, Verlita langsung disambut pemilik warung. Seperti biasa, selalu ada obrolan basa-basi sebelum dia memesan makanan. Dia memperhatikan berbagai makanan yang tersaji di etalase, kemudian memesan tempe orek, tongkol balado, dan sup ayam. Semua makanan itu merupakan kesukaan suaminya. Sengaja dia membeli itu untuk berjaga-jaga kalau suaminya pulang cepat. Setidaknya, saat suaminya pulang nanti, tersedia makanan dan dia tidak perlu repot untuk memasak.

⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️

Sunday, January 22th, 2023.


How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang