Pelataran rumah yang tidak terlalu luas dan hanya diterangi beberapa lampu berwarna putih menjadi objek perhatian Randy sejak beberapa saat lalu. Dia masih belum turun dari mobil dan hanya melihat ke rumah yang tampak sepi itu dalam diam. Jelas saja rumah itu sepi sebab sekarang sudah pukul delapan malam. Penghuni rumah itu bisa saja sudah beristirahat.
Hari ini, Randy sengaja datang ke rumah Asti—rumah yang sejak tadi dia perhatikan—setelah hampir sebulan tidak menemui wanita itu. Setelah mencari rumah baru di daerah Jakarta Barat, dia langsung menuju rumah Asti setelah meminta izin kepada Verlita. Istri pertamanya langsung membolehkan sebab Verlita tahu jika Randy akan mengutarakan keinginannya untuk berpisah dengan Asti. Verlita bahkan mendesak Randy untuk segera menceraikan Asti agar mereka bisa pindah rumah dengan tenang.
Suara degup jantung Randy yang berpacu sangat cepat terdengar jelas sebab suasana di sana sangat sepi. Malam gelap yang hanya diterangi cahaya lampu dari rumah-rumah warga begitu hening dan sesekali terdengar suara hewan malam. Randy sedang bergelut dengan hatinya yang tiba-tiba ragu untuk memasuki rumah Asti. Namun, mau tidak mau dia harus tetap turun dan menemui istri keduanya untuk segera menyelesaikan urusannya.
Randy turun dari mobil dan berjalan dengan perlahan menuju pintu rumah. Diketuknya perlahan pintu berwarna cokelat tua itu dengan ragu. Beberapa saat kemudian, seorang wanita cantik berusia awal tiga puluhan membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum semringah.
“Mas, akhirnya pulang,” seru Asti seraya berhambur memeluk Randy.
Rasa rindu yang Asti pendam sangat lama akhirnya terobati sebab Randy datang menemuinya. Namun, pria itu tidak membalas pelukan Asti, justru memegang kedua lengannya agar melepas pelukan.
“Bima udah tidur?” tanya Randy basa-basi setelah Asti merangkul lengan dan membawanya memasuki rumah.
“Belum. Dia masih asyik main, padahal udah diajak tidur dari tadi,” jawab Asti antusias. “Mas udah makan? Aku siapin makanan, ya.”
Tanpa menunggu jawaban Randy, Asti segera menuju dapur untuk menghangatkan makanan yang dia beli tadi sore. Sementara itu, Randy mendekati Bima yang sedang bermain balok kayu di sofa. Bayi laki-laki itu masih belum sadar dengan kedatangannya. Saat mendengar suara ayahnya, Bima langsung menoleh, kemudian berlari dan melompat ke gendongan Randy.
“Lagi apa, Sayang?” tanya Randy sambil menciumi pipi gembil Bima.
“Main,” jawab Bima dengan mata berbinar. Dari sorot mata bayi laki-laki itu, terlihat jelas kerinduan yang teramat dalam sebab sudah cukup lama tidak bertemu ayahnya, begitu pun Randy yang merindukan anaknya.
Randy membawa Bima duduk di sofa dan mengajaknya bicara. Bayi berumur dua tahun itu belum terlalu lancar bicara, membuat Randy tidak paham dengan beberapa bahasanya. Namun, dia tetap senang sebab kosakata yang diketahui anaknya bertambah. Tidak lama kemudian, Asti menyuruhnya untuk ke meja makan sebab makanan sudah siap. Sambil menggendong Bima, Randy mengikuti Asti ke meja makan dan mendudukkan anaknya di pangkuan sebab Bima tidak ingin lepas darinya.
Menu yang tersaji di atas meja merupakan makanan kesukaan Randy, yaitu tempe orek dan sup ayam. Asti sudah tahu makanan kesukaannya sebab setiap sedang berada di sana, Randy selalu meminta dibuatkan makanan itu, meski Asti lebih sering membeli makanan di warteg.
“Pas banget tadi sore aku beli makanan kesukaan Mas Randy. Ternyata aku punya firasat Mas bakalan pulang ke sini,” tutur Asti dengan wajah berbinar, tetapi Randy tidak merespons sama sekali.
Tidak banyak obrolan yang terjadi di meja makan sebab Randy lebih memilih menekuni makan malamnya sambil sesekali menyuapi Bima. Asti sendiri paham jika Randy tidak ingin diajak mengobrol. Dia hanya memperhatikan suaminya sambil bertopang dagu. Perasaan bahagia terus dia rasakan sejak Randy tiba di rumah, apalagi pria itu begitu memperhatikan putra semata wayangnya, membuat senyuman di wajah Asti tidak pernah luntur.
Usai makan, Asti merapikan meja makan, sedangkan Randy mengajak Bima menuju ruang keluarga. Randy sempat mengajak anaknya untuk tidur, tetapi Bima menolak. Tenaganya masih tersisa cukup banyak untuk bermain, padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan.
“Asti, aku mau ngomong sama kamu,” tutur Randy tanpa basa-basi setelah Asti bergabung bersamanya di ruang keluarga.
Randy kemudian berpindah duduk, yang tadinya berada di karpet bersama Bima menjadi duduk di sofa, di samping Asti.
“Mau ngomong apa?”
Randy menghela napas panjang untuk menetralkan degup jantungnya yang kembali tidak beraturan. Keraguan itu kembali menghampiri, tetapi otaknya dengan cepat memerintahkan bibirnya untuk mengutarakan yang seharusnya disampaikan.
“Dulu kita menikah karena perjodohan. Aku dipaksa nikahin kamu karena istriku belum ngasih aku keturunan. Tapi, kamu tau kalau sekarang Verlita lagi hamil. Itu artinya, dia bisa ngasih aku seorang anak.”
Randy menjeda ucapannya sebab merasa berat untuk mengatakan hal selanjutnya. Dia menatap manik mata Asti, yang tampak berbeda dengan tadi. Binar bahagia di matanya kini berganti kebingungan.
“Aku nikahin kamu karena paksaan Mama dan sekarang aku ingin berpisah sama kamu. Aku nggak bisa nyakitin istriku terlalu jauh. Maaf kalau keputusanku bikin kamu kaget. Aku sangat berharap kamu mau nerima. Aku ceraikan kamu, Asti.”
Suara petir terdengar menggelegar di telinga Asti. Otaknya mendadak buntu dan bekerja dengan lambat sebab dia tidak bisa langsung memahami maksud ucapan suaminya. Dia hanya menatap Randy dengan terkejut dan bingung.
“Aku akui kamu cantik dan baik. Kamu pasti akan menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dari aku. Maaf kalau selama ini aku belum bener jadi imam kamu,” lanjut Randy. “Makasih udah nemenin aku selama tiga tahun ini. Makasih juga udah ngasih aku anak yang begitu pintar dan lucu. Setelah ini, kamu terbebas dari kewajiban sebagai istri aku.”
Asti tidak merespons ucapan Randy. Dia masih menatap Randy dengan bingung dan terkejut, juga terluka. Perlahan, air mata menggenang di pelupuk mata dan mengalir begitu deras sebelum dia berkedip. Dadanya terasa diimpit beban berat, terasa begitu sesak. Tidak pernah terpikirkan olehnya akan diceraikan dengan cara seperti itu.
Usaha Asti untuk mendapatkan hati Randy tidak membuahkan hasil. Cintanya kepada Randy tetap bertepuk sebelah tangan sampai dia diceraikan. Dia tahu sebesar apa cinta Randy untuk Verlita dan dia sadar tidak akan pernah mendapatkan sedikit pun ruang di hati Randy—laki-laki yang dia cintai sejak pria itu mengucapkan ijab kabul di depan ayahnya.
“Sekali lagi, maafin aku yang ngambil keputusan ini secara sepihak. Kamu tau kalau dari awal aku nggak pernah cinta sama kamu. Maaf harus melibatkan kamu dalam masalah aku.”
“Aku hamil, Mas.”
⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️
Friday, March 24th, 2023.
Gaes, aku bawa kabar gembira. Kabar ini baru aku share di sini, khusus buat pembaca setia cerita ini.
Akhirnya, kisah Verlita dan Randy akan open PO besok. Yang mau meluk mereka, bisa order melalui aku atau penerbit.
Info selanjutnya akan diupdate besok di instagram aku (@queenfitrias). Jangan lupa follow biar nggak ketinggalan info.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Far I'll Go (Revisi)
RomanceKehidupan rumah tangga Verlita dan Randy yang tadinya tenang, seketika berubah saat sosok Asti hadir di antara mereka. Alasan Verlita tidak bisa memberi keturunan kepada Randy membuat pria itu tega menikah lagi dengan wanita lain. Kepercayaan Verlit...