Part 13

3.6K 303 71
                                    

Ketika kata maaf sudah tidak memiliki arti, maka kata apa yang harus dilontarkan atas sebuah kesalahan yang jelas-jelas dilakukan secara sadar?

Randy duduk termenung di depan kamar sambil menatap lantai putih di depannya dengan tatapan sendu. Kedua siku bertumpu di lutut dan telapak tangannya memegangi kepala, sesekali menjambak rambut dan menariknya dengan kasar. Perasaan hancur seketika menghampiri saat melihat Verlita, wanita yang begitu dia cintai, menangis karenanya.

Selama ini, Randy selalu dilingkupi rasa bersalah terhadap istrinya sebab  tega berbohong dan menutupi pernikahannya dengan wanita lain. Sungguh, itu bukan kehendaknya. Tidak pernah sekali pun terpikirkan oleh Randy untuk menikah lagi. Hidupnya sudah sangat bahagia bersama Verlita meski tidak ada celotehan anak-anak di antara mereka.

Sebagai seorang lelaki, Randy merasa lemah. Dia tidak bisa tegas dan tidak memiliki pendirian yang kuat, terlebih jika berhadapan dengan ibunya. Ancaman demi ancaman selalu Hani lontarkan setiap Randy menolak dijodohkan dengan wanita pilihan ibunya. Mulai dari mogok makan, tidak ingin bertemu Randy, atau sengaja membuang obat yang rutin diminum sudah sangat sering Hani lakukan.

Awalnya, Randy tidak menghiraukan ancaman ibunya. Namun, saat terlontar kalimat jika Hani akan memaksa Verlita untuk meninggalkannya, Randy tidak bisa berkutik. Dia tidak akan pernah sanggup hidup tanpa Verlita dan berakhir menerima perjodohan itu.

Dengan sangat terpaksa, Randy mengucapkan ijab kabul untuk kedua kalinya. Tidak ada yang tahu bagaimana hancurnya hati Randy saat itu. Di saat keluarganya berbahagia dengan pernikahannya, hati Randy justru remuk redam. Pikirannya tidak bisa beralih dari Verlita, yang saat itu sedang menunggu kepulangannya di rumah. Seandainya Verlita tahu apa yang sedang suaminya lakukan, pasti dia akan kecewa.

Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya Randy memberanikan diri untuk mengatakan hal yang sejujurnya. Dia tidak bisa terus-menerus menutupi kebohongan itu dari Verlita meski tahu risiko yang akan dia terima pasti berat. Randy sudah tidak mampu menanggung beban berat itu seorang diri.

“Kak, gimana Kak Verli?”

Suara Cindy, yang baru saja datang, membuat Randy mendongak, lalu berdiri. “Dia masih di kamar, nggak mau keluar dari tadi malam.”

Cindy begitu sedih melihat penampilan kakaknya yang sangat kacau. Wajahnya tampak pucat, rambut hitamnya berantakan, dan kemeja yang dia gunakan sudah tidak rapi lagi. Cindy yakin jika kemeja itu merupakan pakaian yang Randy kenakan sejak kemarin. Dia bisa membayangkan bagaimana kacaunya Randy saat ini. Sekadar berganti pakaian pun tidak ingat, padahal sekarang sudah hampir jam satu siang.

Tadi, Randy menghubungi Cindy dan memintanya untuk datang ke rumah. Dia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk Verlita agar mau keluar kamar. Sejak semalam, istrinya terus mengurung diri dan belum makan apa-apa.

“Aku khawatir sama keadaannya. Kemarin tubuhnya agak panas dan sampai sekarang belum makan,” lanjut Randy lirih.

“Aku coba bujuk Kak Verli.”

Randy mengangguk dan sedikit bergeser, mempersilakan Cindy berdiri di depan pintu kamarnya. Ketukan dan panggilan pertama tidak direspons sama sekali oleh Verlita. Begitu juga dengan ketukan-ketukan selanjutnya. Hal itu membuat Randy dan Cindy mulai panik sebab khawatir terjadi sesuatu dengan Verlita.

“Kak, ini Cindy. Buka pintunya, Kak.” Cindy masih begitu gigih mengetuk pintu kamar Verlita sampai akhirnya wanita itu mau membukakan pintu.

Hal pertama yang Cindy lihat saat pintu terbuka adalah penampilan Verlita yang sangat kacau—sama seperti Randy. Wajahnya pucat pasi disertai mata yang memerah dan sembap. Bisa dipastikan jika Verlita tidak berhenti menangis sebab jejak air matanya masih tampak sedikit basah di kedua pipi.

Cindy kemudian beringsut memasuki kamar Verlita yang remang-remang sebab gordennya masih tertutup dan lampunya tidak dinyalakan. Kedua bola mata Cindy melebar saat melihat keadaan kamar yang begitu berantakan. Peralatan make-up berserakan di sembarang tempat dan seprai sudah tidak pada tempatnya, begitu pun dengan bantal dan guling yang melayang ke sembarang tempat.

Cindy mendekati Verlita yang sudah duduk di ranjang, lalu memegang tangannya. Seketika, hawa panas langsung terasa di telapak tangannya. Kak Verli pasti demam, batin Cindy.

“Kata Kak Randy, Kakak belum makan. Aku tadi masak kentang balado. Kakak makan dulu, ya,” tutur Cindy sambil membuka kotak makan yang dia bawa dari rumah.

“Kamu tahu istrinya Mas Randy?”

Pertanyaan Verlita membuat Cindy menghentikan aktivitas, yang sedang membuka kotak makanan. Kepalanya menoleh dan menatap Verlita, yang memperhatikan dinding berwarna krem di depannya dengan pandangan kosong.

“Katanya, dia dipaksa nikah sama Mama. Berarti kamu juga tau soal ini,” lanjut Verlita.

“Maaf, Kak.”

Air mata kembali meluncur di kedua pipi Verlita saat mendengar jawaban Cindy. Semua orang tahu mengenai pernikahan kedua Randy dan hanya dia yang tidak tahu. Hatinya yang sudah hancur terasa seperti kembali dihancurkan hingga tak berbentuk.

“Kenapa kalian tega ngelakuin hal ini?”

“Aku nggak pernah setuju Kak Randy nikah lagi, begitu pun Kak Randy sendiri. Tapi, Mama maksa dan mengancam akan misahin kalian kalau Kak Randy nggak mau nikah lagi. Kak Randy terpaksa nikah sama wanita itu karena nggak mau kehilangan Kakak.”

Verlita tersenyum miris. Alasan itu tidak masuk akal dan tidak mudah diterima olehnya.

“"Lebih baik aku diceraikan daripada diduakan kayak gini.”

Randy, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu kamar mendengar obrolan dua wanita itu, langsung memasuki kamar dan bersimpuh di kaki Verlita. Dia menggenggam tangan istrinya dan meletakkan kepala di pangkuannya.

"Aku mohon, maafin aku, Sayang. Aku tahu ini salah, tapi aku nggak punya pilihan lain," tutur Randy dengan suara berat.

Verlita tetap memandang dinding disertai air mata yang mengalir makin deras. Sementara, Cindy menatap kedua kakaknya penuh rasa iba dan dia ikut menangis.

“Lebih baik kita pisah aja, Mas.”

Kepala Randy mendongak dan dia menggeleng pelan. Kalimat yang terlontar dari bibir Verlita terdengar seperti vonis mati baginya. Dia tidak akan pernah bisa hidup tanpa Verlita di sisinya.

“Aku nggak mau pisah sama kamu," balas Randy.

“Aku nggak bisa ngasih anak dan sekarang kamu udah punya anak dari wanita lain. Apa lagi yang kamu harapkan dari aku? Yang kamu mau udah kamu dapatkan dari wanita lain.”

Suara lirih Verlita begitu menyayat hati Randy. Kesalahannya begitu fatal sampai Verlita meminta berpisah dengannya. Namun, sampai kapan pun dia tidak akan menceraikan Verlita.

“Aku pernah berjanji sama papamu kalau aku akan terus bersamamu. Itu artinya, aku nggak akan pernah menceraikanmu.”

“Kamu berjanji akan terus bersamaku, tapi kamu berani mendua. Itu nggak adil buatku. Aku nggak akan pernah sanggup menghadapi ini. Aku rela mengalah dan mundur demi kebahagiaanmu. Ceraikan aku. Hiduplah dengan bahagia bersama istri dan anakmu.”




⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️


Monday, February 6th, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang