Canda-tawa dan senyuman terus menghiasi sebuah meja di sudut toko. Kebahagiaan yang meliputi seolah betebaran, memberikan kesan positif kepada siapa saja yang melihat mereka. Mungkin orang-orang akan menyangka jika mereka merupakan keluarga yang begitu harmonis, yang sedang merayakan ulang tahun anaknya. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Verlita dan Bagas hanyalah dua orang yang saling mengenal, yang tidak sengaja bertemu hari itu.
Senyum Verlita tidak pernah luntur dari wajahnya. Dia begitu bahagia mendengar celotehan anak perempuan yang duduk di antara dia dan Bagas. Anak itu terus bercerita hal random, sesekali mengundang tawa dua orang dewasa yang sedang bersamanya.
“Tante belum tau nama kamu. Namanya siapa?” tanya Verlita sambil mengelap krim di sudut bibir anak perempuan itu.
“Nama belakang kamu,” sahut Bagas.
“Huh?” Verlita langsung menatap Bagas dengan bingung.
“Namanya Andin. Aku sengaja ngambil nama belakang kamu buat jadi namanya.”
Dahi Verlita mengernyit dan mendadak tidak bisa berucap. Dia akui cukup terkejut dengan jawaban Bagas dan penasaran dengan alasannya. Mendadak, Verlita merasa ribuan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Dia merasa bahagia, entah untuk alasan apa.
“Aku nyesel dulu mutusin kamu,” tutur Bagas dengan raut wajah berubah sendu.
Kupu-kupu yang beterbangan di perut Verlita terasa makin banyak dan dia seolah dibawa terbang hingga langit tertinggi. Seandainya Bagas tahu, Verlita ingin berjingkrak-jingkrak saat itu juga.
“Kita pacaran cuma setahun, tapi aku nggak bisa move on sampai bertahun-tahun. Aku yang mutusin kamu, aku juga yang nyesel,” lanjut Bagas.
Verlita berusaha mati-matian untuk mempertahankan ekspresi datarnya. Bibirnya terasa berkedut, tetapi dia tahan agar kedua sudutnya tidak melengkung ke atas. Dia juga hanya diam, sok cool, padahal debar jantungnya bertalu-talu tidak keruan.
Kenangan yang sempat terkubur itu kini terbuka kembali. Entah apa maksud Bagas mengungkitnya lagi. Meski sedikit tidak patut, Verlita tetap merasa sedikit senang. Ucapan Bagas tadi langsung membuatnya mengingat masa-masa kebersamaan mereka.
“Aku sempat kepikiran mau ngajak kamu balikan, loh. Tapi, sayangnya waktu itu kamu lagi dekat sama cowok. Aku juga tau kamu nggak bakalan mau balik sama aku karena kamu pastinya benci aku.”
Ingin rasanya Verlita menjawab ucapan Bagas, tetapi ditahan. Dia masih tetap diam dan memperhatikan pria itu dengan saksama.
“Setelah lulus, kita kerja di bank yang sama, sayangnya kamu udah punya pacar. Aku masih berharap bisa balikan sama kamu, taunya harapan aku kandas. Kamu juga kayak yang sengaja menghindar tiap ketemu aku.”
“Kalau nggak salah ingat, waktu itu kamu juga udah punya pacar.” Akhirnya, Verlita bersuara.
“Aku sengaja pacaran biar bisa lupain kamu. Dia cuma dijadiin pelampiasan doang. Aku sama dia pacaran nggak lama.”
“Jahat banget jadi cowok,” cakap Verlita dengan nada ketus.
“Aku tau, makanya mutusin dia. Aku masih berharap ada kesempatan buat bisa balik lagi sama kamu, eh, malah dapat undangan pernikahan. Hancur hatiku, Ver,” papar Bagas sambil memukul dada sebelah kiri disertai wajah memelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Far I'll Go (Revisi)
RomanceKehidupan rumah tangga Verlita dan Randy yang tadinya tenang, seketika berubah saat sosok Asti hadir di antara mereka. Alasan Verlita tidak bisa memberi keturunan kepada Randy membuat pria itu tega menikah lagi dengan wanita lain. Kepercayaan Verlit...