Part 25

6.2K 379 77
                                    

Kata orang, diam adalah emas. Namun, bagi Randy, diam berarti petaka. Lebih dari seminggu Verlita melakukan aksi mogok bicara. Wanita itu tidak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Verlita seperti mengunci mulutnya sangat rapat hingga tidak bisa dibuka. Hal itu membuat Randy uring-uringan sebab bingung harus berbuat apa untuk membuat istrinya bicara.

Akan tetapi, pagi ini sedikit ada perubahan di rumah. Verlita mulai mau beraktivitas, seperti merapikan rumah dan memasak. Biasanya, dia selalu mendekam di kamar jika Randy masih ada di rumah. Dia selalu sengaja menghindari suaminya dan mereka juga tidur di kamar terpisah. Sepertinya, Verlita mulai merasa jenuh karena terus diam di kamar atau mungkin dia sudah memaafkan Randy, jadi mau menampakkan batang hidung kepada suaminya.

Aroma masakan menguar di sekeliling rumah. Randy, yang sedang menyapu ruang tengah, langsung merasakan perutnya keroncongan. Tidak dimungkiri, dia merindukan masakan istrinya. Hati Randy bersorak dan dia makin bersemangat menyapu lantai sebab akhirnya bisa memakan masakan Verlita lagi.

Usai menyapu, Randy berlanjut mengepel. Di hari libur, dia memiliki banyak waktu untuk membantu Verlita membereskan rumah. Sebenarnya, ada maksud lain dari itu semua. Dia sengaja mencari muka kepada istrinya agar segera dimaafkan.

Setelah mengepel, Randy masuk ke kamar yang ditiduri Verlita, lalu membawa keranjang berisi pakaian kotor, tentu saja untuk dicuci. Namun, suara bentakan dan teriakan seseorang mengagetkan Randy saat keluar kamar. Dia mendapati ibunya memasuki rumah sambil marah-marah.

“Ada apa, Ma? Tumben pagi-pagi udah ke sini?” tanya Randy dengan dahi mengernyit.

“Mana istrimu yang kurang ajar itu?” bentak Hani dengan mata memelotot dan kedua tangan berada di pinggang.

“Tenang dulu, Ma. Ada apa?” Randy mendekati Hani, lalu membawanya untuk duduk, tetapi wanita paruh baya itu menolak dan masih mengoceh dengan suara tinggi.

“Nyari aku?” Verlita memasuki ruang tengah dengan santai. Dia baru saja selesai memasak dan masih mengenakan apron. Suara teriakan mertuanya tentu langsung terdengar sebab jarak dari ruang tamu ke dapur tidak terlalu jauh.

Hani langsung mendekati Verlita dengan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun. “Dasar istri nggak tau diri, nggak punya malu!” bentaknya sambil menoyor kepala Verlita berkali-kali.

“Mama!” bentak Randy, lalu mendekati Verlita dan menjauhkannya dari Hani. “Mama apa-apaan berlaku kayak gitu?”

“Harusnya kamu tanya sama wanita murahan ini. Berani-beraninya dia ketemuan sama laki-laki lain di luar.”

“Apa maksud Mama?”

Hani tidak langsung menjawab. Dia masih terlalu emosi untuk bicara dan kesal melihat wajah menantunya yang tidak merasa bersalah sama sekali. Helaan napas kasar begitu jelas terdengar dan tatapan matanya sangat tajam.

“Mama dapat laporan kalau dia ketemu sama laki-laki di toko kue dan ngobrol di sana lama banget,” ujar Hani kemudian.

Dahi Randy mengernyit. Seingatnya, Verlita tidak pernah keluar rumah seminggu ini atau mungkin Verlita pergi tanpa sepengetahuannya lagi?

“Aku nggak sengaja ketemu teman lama dan ngobrol-ngobrol sebentar,” sahut Verlita tenang meski hatinya sangat sakit karena perlakuan Hani tadi.

“Nggak sengaja kamu bilang? Aku tau kamu emang punya niat ketemu laki-laki itu di luar pas Randy nggak ada di rumah. Kamu istri paling nggak bener yang pernah aku temui!” Hani kembali meninggikan suara. Emosi benar-benar meliputi dirinya, terlihat dari dadanya yang naik-turun begitu cepat. “Terus, ini apa? Kamu sengaja nyuruh anakku buat nyuci baju kamu? Di mana pikiran kamu sebagai istri?” Hani kembali menoyor kepala Verlita, kali ini lebih keras hingga dia terhuyung ke belakang.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang