Mobil Randy terlihat sudah ada di depan rumah, itu artinya pria itu sudah pulang. Verlita mengecek ponsel terlebih dahulu sebelum turun dari taksi dan melihat jam baru menunjukkan pukul 4. Pria itu pasti merasa bersalah, maka dari itu pulang lebih awal.
Notifikasi di ponsel langsung Verlita hapus. Puluhan bahkan ratusan pesan dan panggilan dari Randy sengaja dia abaikan. Sejak pergi siang tadi, dia sengaja mengaktifkan mode senyap, jadi tidak tahu jika suaminya menghubungi, lebih tepatnya dia tidak ingin diganggu.
Verlita segera memasuki rumah setelah turun dari taksi. Saat membuka pintu, dia langsung disambut oleh Randy, yang tampak begitu panik. Sepertinya, pria itu sedang berusaha menghubunginya sebab Randy sedang menempelkan ponsel di telinga.
“Sayang, kamu habis dari mana? Aku panik banget gara-gara kamu nggak bisa dihubungi dari tadi, makanya langsung pulang,” uja Randy disertai kelegaan yang luar biasa setelah melihat Verlita.
“Emang rumah kamu di sini? Bukannya kamu udah pindah rumah, ya?”
Ucapan Verlita merupakan sindiran paling menyakitkan yang pernah Randy dengar. Hal itu jelas karena kesalahannya yang menginap di rumah Asti, padahal Verlita sudah memperingatkannya untuk tidak pernah menginap di rumah istri keduanya.
“Kamu habis dari mana? Kenapa keluar rumah nggak ngabarin dulu?” Randy kembali bertanya dengan tenang.
Verlita tidak menggubris lagi pertanyaan Randy, bahkan menatapnya pun tidak.
“Sayang, aku minta maaf. Aku lupa kalau kamu ulang tahun hari ini. Semalam aku capek banget ngurusin Bima dan akhirnya ketiduran. Tadi pagi langsung berangkat ke kantor, itu pun kesiangan. Terus HP aku mati setelah menghubungi kamu, jadi nggak tau kalau kamu ngirim WA.”
Verlita tersenyum miring sambil berjalan melewati Randy. Dia masih tidak menatap suaminya dan berjalan dengan santai menuju kamar. Telinganya terasa seperti digelitik saat Randy mengungkapkan alasan yang dia sebut tadi. Verlita tentu tidak bodoh. Dia yakin yang diucapkan suaminya adalah kebohongan.
Bukan ngurusin anaknya, tapi ngurusin ibunya, cemooh Verlita dalam hati.
Randy masih terus berusaha mengajak Verlita bicara dan berulang kali meminta maaf, tetapi tetap tidak digubris oleh wanita itu. Setelah memasuki kamar, Verlita melempar tas ke ranjang, lalu membuka seluruh pakaiannya sebab merasa gerah dan hanya menyisakan pakaian dalam yang menempel di tubuhnya. Kemudian, Verlita menuju kamar mandi untuk membersihkan badan.
Waktu yang diperlukan untuk mandi hanya sekitar dua puluh menit, tetapi Verlita sengaja diam di kamar mandi lebih lama. Setelah hampir satu jam, akhirnya dia keluar dengan mengenakan jubah mandi. Verlita kembali disambut oleh Randy, yang sedang berdiri di depan pintu sambil memegang sebuah buket bunga berukuran besar. Dia hendak mengabaikan Randy lagi, tetapi pria itu langsung menghalangi jalannya.
“Selamat ulang tahun. Semoga di tahun ini, harapan dan semua keinginan kamu terkabul,” tutur Randy sambil memberikan buket bunga.
Tadinya, Verlita tidak akan menerima bunga itu, tetapi akhirnya dia menerima seraya berucap, “Harapanku cuma satu. Salah satu istri kamu diceraikan.” Verlita kemudian membuang bunga itu ke tempat sampah, tepat di hadapan Randy, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Randy terkesiap melihat hal itu. Dia rasa, orang yang ada di depannya bukanlah Verlita. Sikap istrinya yang sekarang sangat jauh berbeda dengan dulu.
“Kamu nggak menghargai usaha aku? Ini masih jam kerja. Aku bela-belain beli bunga terus pulang buat ngasih ke kamu, tapi kamu seenaknya aja buang bunga itu.”
Verlita sangat sadar suara Randy sedikit berbeda. Intonasinya tidak tinggi, tetapi setiap kata penuh penekanan. Verlita tahu jika Randy sedang marah, tetapi baginya itu bukanlah sebuah masalah.
“Aku nggak minta dibeliin bunga,” jawab Verlita tak acuh, seolah sengaja menantang Randy.
“Aku tau kamu lagi hamil. Bisa aja karena hormon kehamilan makanya kamu berubah. Tapi, sikap kamu ini udah keterlaluan, Verlita. Waktu Asti hamil, dia nggak pernah bersikap kurang ajar kayak gini ke aku.”
Langkah kaki Verlita terhenti dan dia berbalik menghadap Randy dengan tatapan tajam. “Kamu bandingin aku sama pelakor itu?” tanya Verlita dengan nada mengejek. “Harusnya kamu sadar diri.”
“Kamu yang harusnya sadar diri! Kamu itu seorang istri. Di mana-mana, istri harus nurut dan bersikap sopan sama suami!”
Nada suara Randy mulai meninggi dan tatapan matanya berubah tajam disertai dada yang naik-turun. Dia benar-benar marah karena sikap Verlita. Namun, Verlita menanggapinya dengan santai, bahkan dia tidak segan tersenyum mengejek di depan suaminya.
“Saat suami berbuat dzolim, istri harus nerima gitu aja? Itu maksud kamu aku harus sadar? Otak kamu di mana?”
Verlita menatap Randy makin tajam. Bukan hanya Randy, dia pun mulai tersulut emosi.
“Kamu nuntut aku harus selalu nurut sama kamu, tapi kamu nggak ngaca sama sikap kamu sendiri. Kamu nggak sadar udah nyakitin aku? Selama ini aku diem aja, berusaha nerima kenyataan kalau suami aku tega menduakan aku. Aku harus rela berbagi suami dengan wanita lain dan biarin kamu ketemu dia. Aku juga selalu berusaha jadi Verlita yang selalu nurut sama kamu, tapi kamu sendiri malah keenakan, ngerasa semuanya baik-baik aja. Kamu emang nggak punya otak!”
Tatapan tajam suami-istri itu saling menusuk, seolah ingin melumpuhkan lawannya. Tidak ada air mata dan tidak ada rasa sedih di wajah Verlita. Yang terlihat justru penyesalan dan rasa benci.
Sebagai seorang pria, Randy merasa tersinggung oleh ucapan Verlita. Makin hari, Verlita makin kurang ajar terhadapnya. Sikapnya tidak mencerminkan seorang istri yang patuh kepada suami dan ucapannya tidak pernah dikontrol. Randy benar-benar kecewa dengan perubahan sikap istrinya.
“Aku capek, Mas. Mending kita pisah aja. Aku nggak mau jadi gila cuma gara-gara masalah ini,” tutur Verlita lelah. “Harusnya kamu ceraikan aku sejak kamu punya anak, biar kamu nggak pusing nanggapin aku yang kayak gini.”
“Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu juga lagi hamil anakku.”
“Kamu nggak akan butuh anak ini. Wanita itu udah lebih dulu ngasih kamu anak. Anggap aja aku nggak pernah hamil dan anak ini nggak akan pernah ada. Lepasin aku, Mas. Aku udah capek sama siksaan batin yang kamu kasih. Biarkan aku hidup tenang dan damai.”
“Aku tegaskan sekali lagi, aku nggak akan pernah menceraikan kamu,” seru Randy makin emosi.
“Kalau kamu nggak mau menceraikan aku, ceraikan dia!” bentak Verlita keras disertai napas memburu dan tatapan tajam.
Dada Randy naik-turun dengan cepat sebab napasnya memburu kasar. Dia bergeming, tidak menanggapi ucapan Verlita lagi sebab tidak ingin makin tersulut emosi.
“Tiap aku nyuruh menceraikan dia, kamu bisanya cuma diem aja. Aku paham banget apa maksudnya. Kamu emang berengsek!”
⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️
Monday, February 20th, 2023.
Gaes, aku mau ngasih info.
Cerita ini akan diterbitkan, kemungkinan bulan depan. Adakah yang mau meluk versi novelnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
How Far I'll Go (Revisi)
RomanceKehidupan rumah tangga Verlita dan Randy yang tadinya tenang, seketika berubah saat sosok Asti hadir di antara mereka. Alasan Verlita tidak bisa memberi keturunan kepada Randy membuat pria itu tega menikah lagi dengan wanita lain. Kepercayaan Verlit...