Part 20

5.4K 286 33
                                    

Asti :
Mas, aku masih di rumah Mama.
Kapan ke sini?

Randy membaca pesan singkat dari Asti, lalu menyimpan ponselnya di atas nakas, tidak berniat membalasnya. Dia memang jarang membalas pesan istri keduanya, kecuali jika ada hal penting. Namun, selama ini jarang ada hal penting yang mengharuskannya membalas atau mengirim pesan kepada Asti jika bukan mengenai Bima.

Suara dengkuran halus membuat Randy menoleh kepada Verlita, yang sedang tidur di ranjang. Wanita itu terlelap sambil menggunakan jubah tidur. Setelah pulang dari rumah sakit tadi, dia sudah mengganti pakaian dengan kaus, tetapi tidak lama kemudian kembali berganti pakaian. Katanya, dia merasa tidak nyaman mengenakan kaus atau kemeja, jadi memilih memakai jubah tidur, padahal hari masih siang.

Randy berjalan mendekati Verlita, kemudian berjongkok di samping ranjang dan ditatapnya wajah damai istrinya. Mata Verlita sedikit bengkak sebab dia menangis cukup lama. Katanya, Verlita menangis karena bahagia bisa hamil, tetapi Randy tahu ada hal lain yang membuat istrinya menangis sesenggukan hingga sulit berbicara seperti tadi. Tingkat kepekaan Randy kini menjadi berkurang. Dia tidak tahu dan tidak paham apa yang terjadi bahkan dirasakan Verlita.

“Pikiranku bercabang, jadi nggak bisa fokus sama kamu. Kalau aja kamu tau, aku nggak pernah mau kayak gini.”

Selama beberapa saat, Randy terus duduk di samping ranjang. Dia menekuk kedua lutut dan memeluknya dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari Verlita. Makin hari, Verlita makin berubah. Wanita itu menjadi ketus saat bicara, tidak bisa menahan emosi, dan terlalu sering menangis. Jika ditanya, apa Randy tahu alasan Verlita berubah? Tentu saja tahu. Semua memang karena salahnya. Namun, dia juga beranggapan jika itu merupakan hormon kehamilan.

Rumah tangga yang tadinya tenang kini terasa bergejolak. Sejak  Randy menikahi Asti, segalanya menjadi kacau. Beban yang dia tanggung begitu berat sebab harus membagi perhatian antara Verlita dan Asti, juga harus memberikan kasih sayangnya kepada Bima. Namun, yang paling berat dari itu semua adalah menutupi kebenaran dari Verlita.

Randy kecewa terhadap diri sendiri sebab tega berbuat curang di belakang istrinya. Di saat Verlita begitu setia dan tunduk dengan segala perintahnya, Randy justru dengan tidak tahu diri melakukan hal yang membuat istrinya terluka. Verlita sudah sangat percaya kepadanya, tetapi dengan begitu mudahnya dia rusak kepercayaan itu.

Bagi Randy, Verlita sangat jauh berbeda dengan istri-istri lain. Dia sering mendengar beberapa rekan kerjanya mengeluh karena istrinya sangat cerewet, banyak menuntut, bahkan selalu curiga, Verlita justru kebalikan dari itu. Jika Randy pulang telat, Verlita hanya akan menanyakan dia sedang di mana atau ada kerjaan apa. Setelah mendapat jawaban yang sekiranya bisa diterima, Verlita tidak akan bertanya lagi atau tidak akan memaksanya untuk segera pulang. Saking terlalu percayanya kepada Randy, Verlita bahkan tidak pernah membuka ponselnya.

“Waktu pertama ketemu kamu, aku langsung tertarik sama kamu, padahal waktu itu dandanan kamu lagi berantakan,” tutur Randy sangat pelan. “Kamu baru aja putus dan nangis-nangis di kafe sama sahabat kamu. Waktu itu, kamu masih anak kuliahan semester akhir.”

Randy tersenyum kala mengingat masa di mana dia dan Verlita bertemu. Saat itu, Verlita sedang berada di sebuah kafe dan duduk di kursi paling ujung bersama sahabatnya. Suasana kafe saat itu cukup ramai, tetapi wanita itu tidak malu menangis di depan umum. Saat itu, Randy sedang fokus mengerjakan skripsi. Suara tangisan yang tiba-tiba terdengar membuatnya penasaran dan akhirya mendapati Verlita sedang menangis.

Rasa kagum langsung Randy rasakan saat melihat Verlita. Mungkin, sebagian orang akan menganggap Verlita terlalu bucin atau bodoh karena menangisi mantannya, tetapi bagi Randy, cinta Verlita begitu tulus hingga wanita itu tidak ingin berpisah dengan kekasihnya.

Benar saja, hal itu Randy rasakan setelah dia memberanikan diri berkenalan dengan Verlita di kafe yang sama. Kehadiran Randy ternyata menjadi obat bagi Verlita. Wanita itu bisa melupakan mantan kekasihnya dan sakit hatinya langsung hilang berkat perhatian Randy. Keduanya menjalani pendekatan hampir setahun, lalu berpacaran selama tiga tahun, dan akhirnya menikah.

“Aku nggak pernah nyangka bisa nikahin kamu. Kamu ingat, nggak, waktu aku nangis di pelaminan? Itu karena aku bahagia banget bisa memperistri kamu.” Randy masih berbicara dengan sangat pelan sebab tidak ingin mengganggu Verlita. “Aku beruntung banget punya istri sehebat kamu, tapi kamu nggak beruntung dapat suami kayak aku. Maafin aku, yang udah bikin kamu terluka.”

Tangan Randy terulur untuk mengusap kepala Verlita, tetapi diurungkan. Verlita sangat sensitif terhadap sentuhan dan Randy tidak ingin mengusik tidurnya yang begitu lelap.

“Penantian panjang ini akhirnya berbuah manis. Kesabaran kamu selama ini begitu luar bisa. Makasih udah melengkapi hidupku dan makasih juga udah ngasih aku seorang anak.”

Suara getaran ponsel memaksa Randy mengalihkan perhatian dari Verlita. Dia segera beranjak dan mendekati nakas tempat ponselnya disimpan, lalu mengangkat panggilan dari Asti.

“Kamu nggak ke rumah Mama lagi, Mas?”

Randy menghela napas lelah mendengar pertanyaan Asti. “Nggak. Istriku lagi nggak enak badan, dia butuh ditemenin.”

“Dari tadi malam Bima nangis terus, badannya juga agak panas, kayaknya sakit. Dia juga butuh ditemenin.”

“Jangan suka nyari-nyari masalah. Di sana ada kamu sama Mama. Kalian aja yang jagain Bima.”

“Kata Mama, Mas harus ke sini.”

Randy berdecak pelan. “Kalau panasnya nggak turun juga, bawa Bima ke rumah sakit. Minta anter Mama atau Cindy. Aku nggak bisa ke sana, Verli juga lagi sakit.”

Belum sempat mendengar Asti kembali bicara, Randy langsung memutus sambungan dan mematikan dayanya. Sengaja dia melakukan hal itu agar tidak diganggu lagi oleh panggilan Asti.

“Pergi aja. Anak itu pasti butuh papanya.”

Suara Verlita membuat Randy terkejut dan langsung menoleh ke arah ranjang. Wanita itu masih tetap di posisi semula, tidur menyamping. Sepertinya, Randy bicara terlalu keras hingga membuat Verlita terbangun.

“Aku udah nggak apa-apa. Aku udah gede, nggak usah ditemenin,” lanjut Verlita dengan suara serak.

“Kalau aku beneran pergi, nanti nangis,” ujar Randy sambil berbaring di ranjang dan memeluk Verlita dari belakang.

“Aku udah gede, nggak bakalan nangis.”

Kedua sudut bibir Randy melengkung ke atas, membuat sebuah lengkungan simetris di wajahnya. “Aku belum pergi aja, kamu udah nangis.”

“Pergi aja sana,” ujar Verlita ketus sambil mengempas tangan Randy dari pinggangnya. Namun, Randy kembali memeluk dan mengunci tubuhnya dengan erat agar Verlita tidak berontak.

“Aku nggak akan ninggalin kamu, Sayang,” tutur Randy sambil mengusap perut Verlita.

“Kalau gitu, ceraikan dia.”


⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️

Sunday, February 13th, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang