Part 19

4.6K 260 23
                                    

Tidak ada hal yang mustahil di dunia ini. Jika Tuhan sudah berkehendak, manusia tidak bisa mengelak. Seperti halnya yang dialami Verlita saat ini. Dulu, dia divonis sulit memiliki keturunan dan selama bertahun-tahun melakukan berbagai upaya untuk bisa hamil, tetapi tidak kunjung diberi. Setelah benar-benar pasrah pada takdir Tuhan, justru hal yang tidak pernah terduga akhirnya datang.

Verlita sempat berpikir jika dia sedang diuji oleh Allah tentang sebesar apa kesabarannya dalam menghadapi hal itu. Saat dirasa dia mampu menghadapi ujian itu dengan baik, Allah mengabulkan harapan yang selama ini dia inginkan. Menurutnya, semua hanya tentang waktu. Jika doa hari ini tidak dikabulkan, tidak perlu merasa kecewa atau sedih sebab masih ada hari esok.

Sebuah foto hasil USG menjadi objek perhatian Verlita sejak pulang dari rumah sakit. Gambar berwarna hitam putih itu terlihat begitu indah meski dia hanya bisa melihat lingkaran kecil di sana. Senyuman di wajahnya tidak pernah hilang saat mengingat di rahimnya terdapat janin yang sudah berkembang sebesar buah jeruk.

Semua berawal dari rasa mual yang akhir-akhir ini sering mengganggu. Verlita beranggapan dia hanya masuk angin karena semalam kehujanan, ternyata itu merupakan gejala awal kehamilan. Tidak pernah sekali pun terpikirkan olehnya akan hal itu sebab dia belum pernah hamil sebelumnya.

“Sayang, aku mau ngabarin Mama.”

Kepala Verlita akhirnya mendongak dan perhatiannya beralih ke objek lain. Dia memperhatikan suaminya, yang sedang membuka ponsel. Perlahan, senyum di wajah Verlita memudar sebab khawatir dengan respons Hani. Dia tidak tahu apakah mertuanya akan senang dengan kehamilannya atau justru sebaliknya.

Suara sambungan telepon membuat Verlita tersadar dari lamunan. Dia kembali memperhatikan wajah suaminya yang begitu bahagia sambil menunggu ibunya mengangkat telepon. Namun, setelah beberapa saat menghubungi, hanya suara operator yang dia dengar. Randy kembali mencoba menghubungi Hani, tetapi hal yang sama terulang lagi. Akhirnya, dia menghubungi Cindy, barangkali adiknya sedang berada di rumah ibunya.

“Halo, Kak.”

Suara Cindy terdengar dengan jelas sebab Randy mengaktifkan mode pengeras suara, membuat degup jantung Verlita menjadi tidak beraturan. Ditatapnya Randy dan ponsel secara bergantian dengan harap-harap cemas.

“Lagi di rumah Mama?” tanya Randy. “Aku mau ngomong sama Mama.”

“Iya, sebentar. Aku lagi di dapur.”

Verlita makin khawatir saat mendengar Cindy memanggil-manggil ibunya. Foto hasil USG yang semula dia pegang, kini tersimpan di atas paha dan kedua tangannya yang terasa dingin saling bertaut. Jika seperti itu, tandanya Verlita sedang gugup.

“Ma, Kak Randy nelepon,” ujar Cindy dari seberang telepon.

“Kamu, tuh, di mana? Bima semaleman nangis, malah kamu tinggalin. Cepat ke sini. Dia nyariin papanya, makanya nangis terus.” Hani langsung memarahi Randy setelah menerima ponsel dari Cindy.

Hati Verlita seketika mencelos. Ucapan Hani tadi kembali mengingatkannya kepada istri kedua Randy. Dia sempat lupa mengenai hal itu karena teralihkan oleh kabar kehamilannya, tetapi sekarang kembali diingatkan oleh mertuanya.

Kedua bola mata Verlita kemudian menatap Randy, yang terlihat bingung harus menjawab apa. Pasti Randy merasa tidak enak kepadanya jika harus membahas mengenai Bima.

“Aku ada kabar bahagia buat Mama.” Randy sengaja mengalihkan pembicaraan. “Verli hamil,” lanjutnya antusias.

Terdengar decakan pelan dari Hani. “Harusnya dia hamil dari dulu.”

Mata Verlita terasa perih dan pandangannya kabur sebab air mata menggenang di pelupuk mata. Dulu, Hani begitu gencar menyuruh Verlita untuk segera hamil, bahkan sampai menyindirnya dengan kata-kata menyakitkan, tetapi sekarang justru kabar bahagia itu tidak berarti sama sekali bagi wanita itu.

Entah siapa yang salah di sini. Hani yang memang sengaja membenci Verlita hingga apa pun yang terjadi kepadanya menjadi tidak penting atau justru Verlita yang tidak bisa mengabulkan keinginan mertuanya dan berakhir membuat Hani membencinya?

“Baru dikasihnya sekarang.” Randy berusaha bersikap tenang menjawab ucapan ibunya meski dia mulai merasa serba salah setelah melihat wajah sedih Verlita. “Mama bakalan punya cucu lagi. Mama pasti seneng.”

Sebuah anak panah terasa seperti dibidik tepat ke jantung Verlita. Ucapan Randy sedikit ambigu baginya. Makna kalimat itu antara bahagia memiliki cucu setelah Shaka atau setelah Bima, dia tidak tahu. Namun, yang jelas ada rasa sakit di hatinya.

“Biasa aja. Lagian, Mama udah punya dua cucu. Nggak penting dia mau hamil atau—”

Sambungan tiba-tiba terputus karena ponsel Randy mati. Randy tidak ambil pusing dengan hal itu dan tidak berniat menghubungi Hani lagi. Dia yakin ibunya akan marah, tetapi dia tidak peduli. Randy merasa sedikit beruntung ponselnya mati sebab ucapan menyakitkan ibunya tidak terdengar lagi oleh Verlita.

Pria itu kemudian meletakkan ponsel di atas meja, lalu tidur di pangkuan Verlita. Dia mengangkat kaus dan menciumi perut istrinya. Tangan Verlita kemudian terangkat, mengelus kepala Randy.

“Aku bahagia kamu bisa hamil.”

Mata yang tadi hanya berkaca-kaca, kini air matanya jatuh dengan deras tanpa izin. Verlita tidak bisa menahan emosi yang dia rasakan saat ini. Dia kecewa dengan reaksi mertuanya dan terluka oleh ucapan Randy barusan. Dia menangis tanpa suara, tetapi air matanya jatuh dengan begitu cepat hingga mengenai pipi Randy.

“Kenapa nangis?” tanya Randy, dan Verlita hanya menggelengkan kepala. “Kamu nggak bahagia?”

“Aku ….” Verlita menggantung ucapannya sebab tidak bisa berhenti menangis. “Aku ….” Lagi, suara Verlita seolah tercekat di tenggorokan. Rasa sesak di dadanya begitu luar biasa sampai dia tidak bisa berucap.

“Aku … bahagia … bisa hamil,” tutur Verlita dengan suara terputus-putus disertai sakit hati yang makin menjadi.

Seharusnya, kehamilan itu membuatnya hanya merasakan kebahagiaan, tetapi ada rasa kecewa yang juga menyertai. Verlita kecewa karena bukan dia wanita pertama yang memberi keturunan kepada suaminya.

Entah apa maksud di balik semua ini. Kemarin, Verlita begitu yakin ingin berpisah dengan Randy, tetapi kehadiran janin di perutnya membuat wanita itu tiba-tiba ragu. Verlita tidak ingin menjalani kehamilan seorang diri dan tentunya tidak ingin kehilangan Randy. Apa mungkin dia harus bersikap sedikit jahat untuk membuat semuanya kembali seperti semula?

⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️

Sunday, February 12th, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang