Part 8

3.2K 233 53
                                    

Randy memijat kepalanya yang terasa pening setelah mobil yang dikendarai tiba di depan rumah. Kepalanya seperti ingin meledak dan tubuhnya sangat lelah karena dua hari terakhir sibuk dengan berbagai hal. Helaan napas panjang terdengar seiring matanya yang terpejam sebelum turun dari mobil. Setelahnya, dia membuka gerbang, kemudian memasukkan mobil ke garasi.

Otot tubuh yang terasa kaku diregangkan sebentar sebelum Randy melangkah menuju pintu rumah. Saat membuka pintu kayu berwarna cokelat tua dengan ukiran wayang, betapa terkejutnya dia sebab keadaan ruang tamu sangat kacau. Pakaian berceceran di lantai, koper yang terbuka dibiarkan tergeletak di sudut ruangan, bantal sofa pun berserakan di sembarang tempat.

Randy mendadak panik sebab khawatir terjadi sesuatu dengan istrinya. Dia segera mencari Verlita ke kamar dan helaan napas lega berembus saat melihat istrinya sedang meringkuk di ranjang dengan posisi membelakangi pintu. Randy segera mendekat dan berjongkok di sisi ranjang, tepat di hadapan Verlita yang sedang terlelap.

“Sayang, kamu nggak apa-apa?” Randy mengusap pipi Verlita dan seketika mata istrinya terbuka. Hati Randy mencelos saat melihat mata Verlita sembap dan memerah. “Kamu nggak apa-apa?”

Verlita bergeming dan menatap suaminya dengan datar. Sedetik kemudian, dia mengempas tangan Randy dengan kasar, lalu beranjak dari ranjang. Dia keluar kamar, meninggalkan Randy yang tampak kebingungan. Panggilan suaminya pun tidak dihiraukan sama sekali.

Randy mengikuti Verlita ke kamar satunya lagi. Saat hendak masuk, Verlita membanting pintu dengan kasar, membuat Randy terkesiap. Pria itu mencoba membuka kenop pintu, tetapi sayangnya Verlita sudah menguncinya.

Randy sangat sadar apa yang membuat Verlita marah. Dia menjanjikan akan pergi ke Bandung, tetapi dia mengingkari janji itu. Sungguh dia tidak dengan sengaja melakukannya. Ada hal lain, yang lebih mendesak, yang memaksanya membatalkan acara berlibur. Namun, sepertinya Verlita tidak bisa memahami hal itu.

Menghadapi Verlita yang sedang merajuk seperti itu hanya membuang-buang tenaga. Randy akan membiarkan istrinya sementara waktu agar bisa meredam emosinya. Besok pagi, baru dia akan mengajak Verlita bicara.

Perut Randy terasa sedikit perih sebab dia belum makan. Dia berjalan menuju meja makan dan di sana tidak ada apa-apa. Randy kemudian membuka kulkas dan di sana pun sama, tidak ada apa-apa seperti di meja makan.

Di saat sedang lapar seperti itu, emosi Randy sedikit meningkat sebab tidak ada makanan yang bisa dimakan sama sekali. Padahal, dia sudah meminta Verlita untuk menyiapkan makanan, tetapi istrinya tidak menyiapkan apa-apa. Namun, Randy ingat jika saat mengirim pesan kepada Verlita tadi tanda centang di WhatsApp-nya hanya satu. Randy segera membuka ponsel dan ternyata tanda centang itu tidak berubah sampai sekarang.

Dengan terpaksa, Randy membuka rak kitchen set dan mengambil sebungkus mi instan. Hanya itu satu-satunya makanan yang bisa dia buat. Sambil menunggu mi matang, dia menuju ruang tamu untuk membereskan pakaian yang acak-acakan. Dipungutinya satu persatu dan dilipat dengan rapi, lalu dimasukkan ke dalam koper. Setelahnya, dia makan, lalu menuju kamar untuk tidur sebab jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Sebelum tidur, dia berdoa semoga hari esok lebih baik dan Verlita sudah tidak marah kepadanya.

***

Suara berisik mengusik tidur Randy. Perlahan, matanya terbuka dan mendapati Verlita sedang menarik koper dengan kasar, lalu membantingnya hingga membentur lemari. Tangan Randy terulur mengambil ponsel dari atas nakas dan melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam.

“Sayang, kenapa nggak ngebangunin?” tanya Randy sambil bangun dari tidurnya. Namun, tidak ada jawaban dari Verlita. Wanita itu sedang memindahkan pakaian dari koper ke lemari dengan sedikit kasar, menandakan dia masih marah.

Randy hanya bisa menghela napas panjang. Pagi harinya sudah hancur karena melihat wajah murung istrinya. Dia kemudian menuju kamar mandi untuk berwudu. Saat melewati Verlita dan hendak mencium kepalanya, tubuh Randy didorong dengan kasar. Tidak ingin menambah masalah, Randy membiarkan Verlita dan segera menuju kamar mandi, kemudian salat Subuh.

Usai salat, Randy masih melihat Verlita berkutat di depan lemari. Dahinya mengernyit sebab Verlita memasukkan pakaian ke dalam tas yang lebih kecil, padahal tadi wanita itu memindahkan pakaian dari koper ke dalam lemari. Perasaannya mendadak tidak enak dan dia segera mendekati istrinya.

“Kamu mau ke mana? Kenapa masuk-masukin baju ke tas?” tanya Randy.

Verlita masih bungkam, tidak menghiraukan Randy.

“Sayang,” panggil Randy lagi sambil memegang tangan Verlita. “Mau ke mana?”

“Bukan urusan kamu,” jawab Verlita ketus sambil menarik tangannya dari cekalan Randy dengan kasar.

“Verli, jangan kayak gini. Kamu mau ke mana?”

“Bandung!”

Dahi Randy kembali mengernyit. “Mau ngapain?”

“Liburan.”

“Sayang, aku masih ada kerjaan, belum bisa pergi sekarang.”

“Aku bisa pergi sendiri,” balas Verlita sambil mengangkat tas berisi bajunya, kemudian berlalu meninggalkan Randy.

Randy tidak tinggal diam. Dia mengikuti Verlita ke ruang tamu dan menarik lengan wania itu sedikit kasar sampai tas yang dia pegang jatuh.

“Kamu mau pergi sendiri? Aku nggak ngizinin,” bentak Randy dengan ekspresi marah.

“Siapa yang minta izin sama kamu?” balas Verlita dengan intonasi meninggi.

“Istri wajib meminta izin suami tiap akan keluar rumah. Kamu nggak bisa seenaknya kayak gini.”

Verlita tersenyum miring. “Terus, apa kewajiban suami? Apa suami boleh mengingkari janji semaunya?”

Randy terpancing emosi karena Verlita menjawab ucapannya. Tatapan matanya begitu tajam memandang Verlita disertai napas memburu dan rahangnya mengetat. Hari masih pagi, tetapi Verlita dengan sengaja membuat amarahnya meningkat.

“Aku udah bilang lagi ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalin. Kenapa kamu nggak mau ngerti?”

“Sekarang prioritasmu kerjaan?” balas Verlita garang. “Ya udah, urus aja kerjaan kamu, kenapa masih sibuk ngurusin aku?”

“Bukan gitu, Verli.” Randy mencoba bicara dengan tenang di tengah amarah yang makin meningkat. “Kerjaan aku nggak bisa ditunda, makanya—”

“Ya udah, biarin aku pergi sendiri,” potong Verlita.

“Verli!” bentak Randy makin keras. “Kenapa kamu nggak bisa ngertiin aku?”

“Kamu mau aku ngertiin kamu, tapi kamu sendiri nggak pernah ngerti aku! Dua kali kamu batalin liburan, Mas. Mungkin buat kamu liburan itu hal sepele, tapi bagi aku nggak!” teriak Verlita disertai air mata yang berurai di kedua pipi. Dia sudah lelah menangis, tetapi air mata itu memaksa untuk keluar. “Apa selama ini aku pernah nuntut kamu buat nurutin kemauan aku? Apa aku pernah maksa? Nggak, kan? Aku selalu berusaha ngertiin kamu, Mas. Bahkan, aku rela dikorbankan demi hal lain.”

Randy terdiam, tetapi tatapan matanya masih begitu tajam menatap Verlita.

“Biarin aku pergi.” Verlita melepas cekalan tangan Randy, lalu mengambil tas yang tadi terjatuh dan berjalan menuju pintu. Namun, lagi-lagi Randy tidak tinggal diam. Dia menarik paksa Verlita dan menyeretnya menuju kamar, kemudian menguncinya dari luar.

Verlita berteriak begitu kencang seraya menggedor pintu dan memanggil-manggil Randy. Namun, pria itu tidak peduli dengan teriakan istrinya. Dia hanya ingin membuat Verlita merenungi kesalahan sebab melawannya, bahkan wanita itu berencana pergi tanpa meminta izin kepadanya. Sekali-kali, Randy harus memberi pelajaran kepada istrinya.




⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️

Wednesday, February 1st, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang