Part 4

3.3K 204 20
                                    

SuasanaSuasana hati Verlita masih dalam keadaan kurang baik. Setelah mendapat sindiran tidak enak dari mertuanya, dia hanya berdiam diri di kamar—sengaja menghindari orang rumah—meski sesekali masih terdengar sindiran Hani dari luar. Dia baru bergabung bersama keluarga yang lain saat makan malam karena Randy memaksanya untuk bergabung.

Saat makan malam berlangsung, orang-orang banyak berbincang—termasuk Anjar—sedangkan Verlita hanya diam. Dia merasa seperti dikucilkan. Hani tidak pernah menganggap keberadaannya meski sangat rajin menyindirnya. Bagi Hani, Verlita hanya sesosok manusia yang tidak berguna.

Usai makan malam, Verlita memaksa Randy untuk segera pulang. Awalnya, Hani sempat mencegah Randy untuk pulang dan memintanya menginap, tetapi Randy sangat memahami ketidaknyamanan istrinya. Akhirnya, pria itu beralasan ada keperluan di luar dan mereka bisa pulang.

“Sayang.”

Suara Randy memasuki indra pendengar Verlita, tetapi dia tidak merespons. Sejak menaiki mobil, Verlita tidak bicara sama sekali dan terlihat begitu murung. Dia hanya menatap jalanan dengan pandangan kosong dan beberapa kali terdengar menghela napas panjang.

“Aku bikin salah? Dari tadi diam terus,” tanya Randy hati-hati. Dia tidak boleh salah melempar pertanyaan jika tidak ingin Verlita makin mendiamkannya.

“Sebelum kita nikah, aku udah nggak punya Mama.” Akhirnya, Verlita bersuara setelah hampir sepuluh menit berkendara hanya diam. “Aku bahagia banget nikah sama kamu soalnya bakalan ngerasain lagi punya Mama, ngerasain kasih sayang dan perhatian Mama. Nyatanya, yang aku dapat bukan itu.”

Air mata Verlita luruh di kedua pipi disertai rasa sesak di dada. Jika boleh jujur, terlalu banyak tekanan yang dia dapatkan selama menikah dengan Randy. Bukan hanya perkara belum bisa hamil, tetapi juga karena sindiran Hani yang tidak ada habisnya.

Randy pernah mengatakan bahwa ibunya merupakan orang yang baik dan penuh kasih sayang, asal kita memperlakukannya dengan baik juga. Verlita sempat merasakan hal itu, tetapi tidak berlangsung lama. Setelah tiga tahun menjalani pernikahan, sikap Hani langsung berubah sebab Verlita tidak kunjung hamil.

Sejak saat itu, Verlita tidak pernah bisa tenang atau nyaman saat berhadapan dengan ibu mertuanya. Terlebih, saat Cindy—adik Randy—menikah dan tidak lama kemudian langsung hamil. Hal itu membuat Hani makin gencar menyindirnya, bahkan tidak segan menyebutnya mandul.

“Aku nggak tahu dulunya pernah bikin kesalahan apa sampai Allah ngasih cobaan berat banget buat aku,” lanjut Verlita disertai isak tangis.

Randy melirik sekilas kepada Verlita dan menggenggam tangannya, kemudian pandangannya kembali fokus menatap jalan di depan. Entah harus bagaimana lagi dia bersikap agar ibu dan istrinya bisa akur seperti dulu. Dia tahu, Verlita sudah berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan hati Hani meski tidak terlihat tanda-tanda ibunya akan berubah. Sebagai seorang kepala keluarga, Randy juga merasa lelah karena rumah tangganya yang selalu direcoki oleh ibunya.

“Aku kasihan sama kamu, Mas. Kamu nggak beruntung dapat istri mandul kayak aku.”

Randy menepikan mobil di jalan yang cukup sepi. Tangannya memindahkan perseneling ke gigi normal, lalu menarik tuas rem tangan. Dia kemudian menarik Verlita dan memeluknya dengan erat. “Nggak, Sayang. Jangan pernah ngomong kayak gitu. Aku laki-laki paling beruntung punya istri sesabar kamu.”

“Tapi, aku nggak ngerasa kayak gitu. Harusnya bukan aku yang jadi istri kamu,” tutur Verlita dengan suara terbata.

“Aku mencintaimu apa adanya. Kamu wanita yang paling aku cintai, terlepas kamu bisa ngasih aku keturunan atau nggak.”

Verlita tidak mampu berkata-kata lagi, seolah tenggorokannya tercekat karena rasa sesak di dada.

“Aku nggak maksa kamu buat ngasih aku anak. Mau punya anak atau nggak, pada akhirnya tetap kamu yang nemenin aku di hari tua nanti.”

***

Baru saja Randy akan tidur, suara dering ponsel memaksanya untuk kembali bangun. Verlita, yang sedang tidur di lengannya, terpaksa menggeser kepala agar Randy bisa mengambil ponsel di nakas.

“Apa?” pekik Randy dengan mata melebar saat berbicara dengan si penelepon. “Kakak ke sana sekarang.”

“Kenapa, Mas?” tanya Verlita setelah Randy selesai dengan panggilannya.

“Mama masuk rumah sakit,” jawab Randy dengan wajah panik. Dia segera turun dari ranjang, kemudian memakai celana dan kaus yang tergeletak di lantai. “Ayo, ke rumah sakit sekarang.”

Verlita bangun dari tidur sambil memegangi selimut agar tetap menutupi dada. “Kita belum mandi. Mau langsung ke rumah sakit?”

Randy mengangguk, kemudian berjalan mendekati lemari. “Sebelum Subuh, kita pulang,” jawabnya sambil mengambil pakaian Verlita, lalu memberikan kepada istrinya. “Cepat pake baju. Aku mau ngeluarin mobil dulu.”

Hati Randy menjadi gelisah dan pikirannya mendadak kacau setelah Cindy mengabari jika Hani masuk rumah sakit. Kemarin, Hani mengeluhkan kepalanya pusing dan meminta Randy untuk datang ke rumah. Namun, karena dia dan Verlita sedang sibuk mempersiapkan berbagai keperluan untuk berlibur, Randy menolak untuk datang ke rumah ibunya. Dia hanya menyuruh Hani untuk istirahat dan minum obat agar sakitnya segera sembuh.

Akan tetapi, hal itu justru membuat Randy menyesal. Jika Hani sakit sampai masuk rumah sakit, berarti sakitnya cukup parah dan itu karena ulahnya. Randy sedikit menyesal sebab tidak menuruti kemauan ibunya kemarin.

“Ayo, Mas.”

Randy langsung menginjak pedal gas setelah Verlita menaiki mobil. Selama perjalanan, berulang kali Verlita menegur Randy untuk tidak mengebut, tetapi pria itu tidak menghiraukannya. Yang ada di pikiran Randy sekarang hanya ingin segera tiba di rumah sakit dan bertemu ibunya.

Setibanya di rumah sakit, Randy langsung turun dari mobil dan berlari menuju kamar rawat Hani. Karena kepanikan dan kekhawatiran yang melanda, Randy bahkan lupa jika dia datang bersama Verlita.

“Mama,” panggil Randy setelah memasuki kamar rawat Hani. Tampak ibunya sedang berbaring di ranjang, ditemani Cindy, yang duduk di samping brankar. “Kenapa Mama bisa masuk rumah sakit?” tanyanya dengan napas tersengal.

“Vertigonya kambuh. Tadi sempat muntah-muntah, pusing katanya,” jawab Cindy.

“Terus, sekarang gimana keadaannya?”

“Udah lebih baik, cuma Mama nggak bisa buka mata. Tiap lihat cahaya, kepalanya muter-muter. Dari tadi juga merem terus, tapi nggak tidur.”

Randy menghela napas panjang sebab merasakan kelegaan. Kondisi Hani ternyata tidak seburuk yang dia bayangkan. Beberapa kali Hani keluar-masuk rumah sakit karena vertigo dan hipertensi yang diderita. Jika ada satu hal yang ibunya pikirkan, bisa dipastikan tekanan darahnya akan tinggi dan kepalanya menjadi pusing. Randy masih menyesali kesalahannya yang tidak langsung menemui Hani. Dia yakin, Hani bisa sampai masuk rumah sakit karena memikirkan penolakannya kemarin.

“Gara-gara istri kamu, jadinya Mama masuk rumah sakit.”

⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️

Wednesday, January, 25th, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang