Deg!
Jantung Verlita terasa seperti dihantam batu besar. Baru saja kaki kanannya akan menapaki kamar rawat ibu mertuanya, perkataan tidak enak langsung memasuki telinga. Dengan entengnya, Hani menyalahkan Verlita karena wanita itu sakit sampai akhirnya masuk rumah sakit.
Verlita tidak pernah habis pikir dengan pemikiran Hani. Dia selalu dijadikan kambing hitam atas segala hal buruk atau kesialan yang terjadi di sekitar mereka. Entah Verlita melakukan kesalahan atau tidak, di mata Hani, dia tetap salah. Verlita bahkan melabeli dirinya sebagai pembawa sial bagi keluarga Randy, terutama bagi suaminya.
“Kamu lebih mentingin dia daripada Mama,” tutur Hani.
“Bukan gitu, Ma. Aku sama Verli jarang banget pergi liburan, makanya pas ada waktu bisa pergi liburan jadi antusias banget.”
“Terus aja bela istrimu.”
Verlita mengurungkan niatnya memasuki kamar rawat Hani. Dia bergeser ke sisi sebelah kanan pintu dan bersandar di tembok. Pembicaraan Hani dan suaminya masih bisa dia dengar dengan jelas sebab lorong rumah sakit itu sangat sepi.
Tangan Verlita terangkat dan dia memegang dadanya yang berdenyut nyeri. Hani selalu menghancurkan hatinya dengan berbagai ucapan menyakitkan. Jika hatinya merupakan benda kasat mata, entah kini bentuknya seperti apa. Mungkin seperti kayu yang ditancapi paku lalu dicabut kembali hingga meninggalkan bekas atau mungkin seperti kertas putih yang dicoret-coret lalu dihapus kembali.
“Kak, kenapa diam di sini? Ayo, masuk.”
Verlita menoleh saat mendengar suara Cindy. Adik iparnya berdiri di ambang pintu dan menatapnya dengan bingung.
Seulas senyum tercetak di wajah cantik Verlita. “Nggak kenapa-napa. Tadi ngerasa nggak enak perut, makanya diam dulu di sini.”
Verlita tidak berbohong. Dia memang merasakan perutnya sedikit kencang sejak memasuki rumah sakit dan dia berjalan sedikit lambat menuju kamar rawat ibu mertuanya. Dia bahkan tidak sadar tangannya berada di atas perut dan terus mengelusnya sejak tadi.
“Ayo, masuk,” ajak Cindy lagi.
Cindy masuk terlebih dahulu, diikuti Verlita di belakang dengan degup jantung yang berdetak tidak beraturan. Selalu itu yang dia rasakan setiap akan bertemu Hani.
Meski memiliki mertua seperti Hani, yang menurutnya jahat, Verlita tetap merasa beruntung memiliki adik ipar seperti Cindy. Adik iparnya itu bersikap begitu baik kepadanya, sangat jauh berbeda dengan Hani. Padahal, biasanya anak perempuan selalu mengikuti apa yang ibunya lakukan, tetapi Cindy tidak. Sepertinya, dia tahu jika hal yang dilakukan Hani itu salah, makanya tidak mau ikut-ikutan.
“Mama lagi sakit gini kamu masih mau pergi liburan?”
Suara ketus Hani kembali terdengar. Percakapannya dengan Randy masih berlanjut, itu artinya Verlita masih akan mendengar ucapan-ucapan tidak enak dari ibu mertuanya. Dia kemudian duduk di sofa bersama Cindy, menghadap ranjang Hani, tetapi sedikit jauh.
Sabar, Verli. Kamu udah biasa ngadepin hal beginian, batin Verlita, menyemangati diri sendiri.
“Kalau besok Mama bisa pulang, kayaknya aku sama Verli tetap akan pergi,” jawab Randy.
Hani mendengkus kasar. Sedikit demi sedikit, dia membuka matanya dan menatap Randy yang berdiri di samping ranjang. Kepalanya masih terasa berputar-putar, hanya saja tidak separah tadi. Namun, makin lama makin terasa kepalanya berputar dan akhirnya memejamkan mata lagi.
“Kalau gitu, Mama mau nginep di rumah sakitnya lama aja, biar kamu nggak jadi pergi.”
Verlita tersenyum miris. Sekeras itukah usaha Hani untuk menggagalkan rencana liburan anaknya? Bukankah biasanya seorang ibu selalu menginginkan kebahagiaan untuk anaknya, tetapi kenapa Hani tega berbuat seperti itu? Verlita jadi suuzan jika sakit Hani sengaja dibuat-buat.
“Ma, jangan gini, dong. Aku nggak akan tenang perginya kalau Mama belum pulang dari rumah sakit,” tutur Randy.
“Sana aja pergi senang-senang. Biarin Mama di sini sakit sendirian,” ketus Hani.
Verlita menatap suaminya, yang juga sedang menatapnya. Dari sorot mata Randy, terlihat jika pria itu sedang menanyakan keputusan apa yang harus dia ambil dan Verlita hanya bergeming, menatapnya dengan datar. Dia harap-harap cemas menunggu jawaban yang akan Randy lontarkan.
“Liburannya diundur aja. Setelah Mama sembuh, kita baru pergi,” ujar Randy sambil menatap Verlita dengan pandangan bersalah.
Entah keberapa kalinya Randy mengorbankan Verlita demi Hani. Keinginan Hani selalu dituruti dengan mudah oleh Randy, padahal Verlita yakin jika itu hanya akal-akalan ibu mertuanya saja. Memang anak laki-laki harus lebih mementingkan ibunya, tetapi bukan berarti mengabaikan perasaan istrinya. Namun, Randy justru lebih sering mengabaikan Verlita dan hal itu membuatnya sedikit kecewa.
Tidak jarang, Verlita jengkel dengan sikap Randy yang tidak bisa tegas dan masih saja mau dikendalikan oleh ibunya. Terkadang, Randy juga bersikap plin-plan. Hari ini menjanjikan sesuatu kepada Verlita, tetapi setelah bertemu Hani, janji itu tidak pernah ditepati.
Verlita kecewa sebab liburan yang sudah direncanakan harus batal, padahal mereka akan berangkat besok malam. Kehebohan yang terjadi beberapa hari lalu karena mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa liburan menjadi sia-sia, begitu pun dengan tiket yang sudah dibeli.
“Sayang tiketnya, Mas. Liburannya juga nggak lama, nggak sampai seminggu.”
Verlita mencoba peruntungan dengan melontarkan pendapat, padahal menolak ucapan Randy tadi, hanya saja dengan bahasa yang lebih halus.
“Pergi aja sana. Dia emang mau Mama mati kayaknya.”
Jantung Verlita bagai diremas begitu kuat hingga hancur berkeping-keping. Sebenci itukah Hani kepadanya sampai tega berkata seperti itu? Verlita berani bersumpah tidak pernah menginginkan hal yang diucapkan Hani tadi terjadi. Dia sudah menganggap ibu mertuanya seperti ibu kandung. Bagaimana mungkin dia mendoakan hal yang buruk untuk ibunya?
“Jangan ngomong gitu, Ma. Mana mungkin Verli mengharapkan hal nggak baik kayak gitu? Verli sayang banget sama Mama,” kata Randy. Di tengah situasi tidak mengenakkan itu, dia harus menjadi penengah yang berada di posisi netral dan tidak memihak satu orang. “Liburan ke Jepangnya diundur. Aku sama Verli akan nemenin Mama sampai pulang.”
Ah ... ternyata Randy tidak berada di posisi yang netral. Dia tetap memihak ibunya. Jika sudah begini, Verlita bisa apa? Memaksa Randy tetap menjalankan rencana liburan? Tentu hal itu hanya akan menambah masalah.
Pada akhirnya, Verlita hanya bisa pasrah. Sekali lagi, dia harus mengalah dan bersabar. Verlita selalu berdoa semoga stok kesabarannya tidak pernah habis meski terkadang ingin rasanya berteriak sekencang mungkin, mengutarakan apa yang ada di hatinya yang selama ini dipendam.
⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️
January, Friday 27th, 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Far I'll Go (Revisi)
RomanceKehidupan rumah tangga Verlita dan Randy yang tadinya tenang, seketika berubah saat sosok Asti hadir di antara mereka. Alasan Verlita tidak bisa memberi keturunan kepada Randy membuat pria itu tega menikah lagi dengan wanita lain. Kepercayaan Verlit...