“Nanti sore jemput aku di rumah Cindy, Mas,” cakap Verlita kepada Randy melalui sambungan telepon.
“...”
“Oke.”
Hari ini, Verlita akan berkunjung ke rumah adik iparnya. Tadi pagi, Cindy memintanya datang ke rumah untuk mencicipi kue buatannya. Namun, tujuan Verlita berkunjung ke rumah Cindy bukanlah untuk itu. Dia memang rutin berkunjung ke sana setiap seminggu atau dua minggu sekali untuk menghilangkan rasa penat akibat sendirian di rumah.
Verlita segera turun dari taksi setelah tiba di depan rumah Cindy. Dia menenteng dua kantong kresek berukuran besar berisi jajanan anak-anak. Seperti biasa, dia selalu membelikan makanan untuk keponakannya.
“Assalamualaikum,” ucap Verlita saat memasuki rumah Cindy.
“Mama!”
Suara teriakan Shaka menyambut kedatangan Verlita. Anak laki-laki berumur empat tahun itu berlari menghampiri dan langsung memeluk kakinya. Verlita tersenyum karena sapaan anak adik iparnya, kemudian berjongkok dan memeluk Shaka.
“Kalau ada yang ngucap salam harus dijawab apa?” tanya Verlita setelah melepas pelukan.
“Waalaikumsalam,” jawab Shaka.
“Anak pintar.” Verlita tersenyum sambil mengusap kepala Shaka. “Ibu di mana?”
“Di dapur sama Nenek.”
Raut wajah Verlita langsung berubah. Senyumnya seketika hilang, digantikan ekspresi terkejut dan cemas. Sudah cukup sering dia bertemu Hani di rumah Cindy sebab jarak rumah keduanya berdekatan. Namun, terkadang Verlita selalu saja masih merasa gugup saat berhadapan dengan mertuanya.
“Ayo, ke dapur,” ajak Verlita.
Degup jantung Verlita berdetak tidak beraturan, keringat dingin mulai bercucuran di dahi dan punggung saat berjalan menuju dapur. Sudah bertahun-tahun dia menjadi menantu Hani, tetapi dia masih sering merasa khawatir saat bertemu ibu mertuanya. Alasannya sangat jelas, karena dia selalu mendapat sindiran yang sangat menyakitkan dari Hani.
Kedatangan Verlita langsung disambut hangat oleh Cindy, sedangkan Hani hanya menatapnya acuh tak acuh. Verlita menghampiri meja makan dan duduk di sebelah Hani setelah menyimpan kantong kresek di atas meja. Dia sempat melempar senyum kepada ibu mertuanya, tetapi tidak ditanggapi dan hal itu sudah sangat biasa. Hati Verlita sudah kebal dengan sikap mertuanya.
“Mama bawa apa?” tanya Shaka sambil menaiki kursi meja makan, lalu membuka salah satu kantong kresek.
“Bawa jajanan buat Shaka,” jawab Verlita sambil mengeluarkan beberapa camilan.
Shaka berteriak girang dan langsung mengambil wafer rasa cokelat kesukaannya, lalu meminta Verlita untuk membukakan.
“Shaka, bilang apa sama Mama?” tanya Cindy, yang sedang memindahkan kue brownies dari loyang.
“Makasih, Mama,” ujar Shaka disertai senyuman yang tersungging di wajah, menampakkan giginya bawahnya yang ompong.
Verlita tersenyum seraya mengusap kepala Shaka. “Sama-sama.”
Terdengar Hani berdecak pelan seraya mendelik. Wanita paruh baya itu pasti sedang menggerutu atau mungkin mencibir Verlita.
“Kak, nggak usah bawa sabun kayak gini. Aku bisa beli sendiri,” ujar Cindy sambil menyimpan piring berisi brownies di meja makan.
Cindy melihat isi kantong kresek satunya lagi yang ternyata berisi sabun. Setiap datang ke rumahnya, Verlita pasti selalu membelikan peralatan mandi. Tidak jarang juga membeli bahan masakan, entah itu sayur-mayur atau bumbu dapur.
“Mas Randy yang nyuruh. Kalau mau protes, protes aja sama kakakmu,” balas Verlita disertai senyum tipis.
Cindy tidak seberuntung Verlita, yang mendapatkan suami dengan pekerjaan mapan. Suami Cindy merupakan seorang pedagang yang memiliki toko kelontong di dekat kompleks tempat mereka tinggal dan penghasilan mereka tidak tetap setiap harinya. Meski barang-barang yang Verlita belikan ada di toko Anjar juga, Randy tetap menyuruh Verlita untuk sesekali membelikan keperluan rumah tangga untuk Cindy.
“Uang yang dia pegang, uang kakakmu juga. Bagus dia sadar diri, masih ingat sama adik, nggak makan hasil jerih payah kakakmu sendirian,” celetuk Hani sambil menatap Verlita dengan sinis.
Seulas senyum terpaksa Verlita kembangkan. Ucapan Hani sudah sangat biasa baginya, jadi tidak perlu merasa sakit hati meski pada kenyataannya memang sangat menyakitkan.
“Mama, bukain,” ujar Shaka sambil memberikan susu kotak kepada Verlita.
Senyum Verlita makin mengembang. Tatapan polos Shaka seketika mengalihkan rasa sakit hatinya. Sejak bayi itu lahir, Verlita langsung jatuh cinta kepadanya. Dulu, hampir setiap hari dia datang ke rumah Cindy hanya untuk bertemu dengan bayi mungil itu. Dia belajar bagaimana caranya memandikan bayi, mengganti popok, bahkan menidurkan anak demi bisa ikut merawat Shaka. Karena hal itu, mereka menjadi sangat dekat dan akhirnya Shaka memanggil Verlita dengan panggilan Mama.
Sering kali Verlita membayangkan jika Shaka adalah anak kandungnya, maka dia yakin tidak akan pernah ada kesedihan yang menghampirinya. Namun, sayangnya itu semua hanya angan belaka.
“Anak kecil jangan dikasih makanan sembarangan. Kalau dikasih yang manis-manis, nanti batuk, giginya juga bisa bolong,” cakap Hani dengan nada sangat ketus, tidak lupa dengan tatapan tajam yang mengarah kepada menantunya.
“Susu itu emang kesukaannya Shaka. Aku juga sering ngasih dia susu itu, kok.” Cindy mencoba menengahi sebab mulai merasakan aura tegang di sana.
“Makanya kamu punya anak, biar tau gimana ngurusnya. Punya anak aja nggak, ngaku-ngaju anak orang seenaknya. Untung Mama maksa Randy buat—”
“Mama!” potong Cindy sedikit keras dan seketika Hani diam. Dia cukup terkejut dengan bentakan anaknya. “Bisa nggak, sih, Mama jangan ungkit soal anak terus? Semua wanita pasti pengen punya anak, termasuk Kak Verli. Tapi, nggak semua wanita dikasih jalan yang mulus buat punya anak.”
“Mama kasian sama kakakmu. Laki-laki mana yang mau nggak punya anak seumur hidup?”
“Dari awal, Kak Randy nggak pernah mempermasalahkan soal Kak Verli yang nggak bisa ngasih anak. Kak Randy justru mau nerima Kak Verli apa adanya, bahkan dia sanggup bertahan sampai hari ini. Mama terlalu nekan Kak Verli buat punya anak, padahal Kak Randy sendiri biasa aja. Dia selalu bilang, mau punya anak atau nggak, bukan masalah besar. Yang penting, Kak Randy sama Kak Verli tetap bersama.”
Kepala Verlita menunduk disertai perasaan yang campur aduk. Dia menjadi tidak enak berada di tengah-tengah perdebatan antara Hani dan Cindy. Mereka cukup sering berdebat karena Verlita. Hani, yang selalu menyudutkan Verlita atau bahkan menyindirnya, selalu diingatkan oleh Cindy dan berakhir terjadi adu mulut antara keduanya. Cindy lebih sering membela kakak iparnya sebab dia paham bagaimana rasanya menjadi Verlita. Wanita itu menanggung beban yang sangat besar, perihal tidak bisa memiliki anak. Maka dari itu, Cindy selalu menentang semua ucapan Hani.
Akan tetapi, bagi Verlita justru hal itu tidak baik. Pembelaan Cindy membuat Hani merasa tidak dihormati oleh anaknya dan berakhir Verlita lagi yang menjadi sasaran kemarahan Hani. Seandainya mereka tahu, menjadi seorang Verlita sangatlah berat dan tidak enak.
⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️
Saturday, February 4th, 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Far I'll Go (Revisi)
RomanceKehidupan rumah tangga Verlita dan Randy yang tadinya tenang, seketika berubah saat sosok Asti hadir di antara mereka. Alasan Verlita tidak bisa memberi keturunan kepada Randy membuat pria itu tega menikah lagi dengan wanita lain. Kepercayaan Verlit...