Part 17

4.4K 281 69
                                    

Kalau part ini nambah 20 komen, aku bakalan double update.

Selamat membaca ❤️

⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️



Umpatan demi umpatan tidak henti-hentinya Randy lontarkan sambil mengeluarkan mobil dari garasi. Seharusnya, dia sudah menyusul Verlita sejak tadi, tetapi ibunya selalu berusaha mencegahnya. Lebih dari 5 menit dia berdebat dengan ibunya dan waktu itu terbuang percuma.

Randy segera melajukan mobil di tengah derasnya hujan. Dia tidak perlu bingung harus mencari Verlita ke mana sebab hanya ada satu tempat yang akan Verlita tuju, yaitu rumahnya.

Jalan yang sempit membuat Randy tidak bisa melajukan mobil dengan cepat. Ditambah, derasnya hujan membuat jarak pandang sangat terbatas. Dia juga sangat khawatir terhadap istrinya yang pergi sendirian di tengah malam yang disertai hujan deras seperti itu.

Akhirnya, sosok Verlita terlihat setelah Randy keluar dari jalan sempit. Verlita tampak berjalan begitu pelan sambil memeluk tubuhnya. Seketika, hati Randy mencelos dan rasa bersalah menghantamnya. Randy memencet klakson beberapa kali berharap Verlita berhenti, tetapi wanita itu tidak menghiraukannya, menoleh pun tidak. Akhirnya, Randy terpaksa turun dari mobil dan menghampiri istrinya.

“Sayang, maafin aku. Ayo, pulang,” ujar Randy setelah berdiri di hadapan Verlita.

Verlita bergeming. Dia terus mengerjap sebab air hujan mengenai matanya tiada henti. Wanita itu juga tidak mendengar apa yang suaminya ucapkan sebab suara hujan yang begitu deras meredam suara Randy. Tangan kanannya kemudian ditarik dan dia dibawa menaiki mobil. Verlita tidak berontak atau menolak sebab tubuhnya sudah sangat menggigil dan dia mulai lemas.

"Astaga. Nggak ada kain buat ngeringin tubuh kamu," ujar Randy sambil mencari-cari sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menyeka wajah istrinya.

Verlita kembali memeluk tubuhnya dan dia makin menggigil, padahal pendingin di mobil itu belum dinyalakan. Randy tidak ingin Verlita makin kedinginan, akhirnya segera melajukan kendaraan menuju rumah. Selama di perjalanan, tidak henti-hentinya Randy melirik Verlita. Wajah istrinya makin pucat dan bibirnya membiru. Dia khawatir Verlita mengalami hipotermia.

S

etibanya di rumah, Randy langsung menggantikan pakaian Verlita. Tubuh Verlita sangat dingin seperti membeku, membuatnya tidak bisa bergerak dengan leluasa. Sedari tadi, wanita itu hanya memeluk tubuh dan bibirnya yang membiru terus bergetar.

“Maafin aku, Sayang.”

Kata maaf itu lagi-lagi terucap dari bibir Randy, entah yang keberapa kalinya. Sudah jelas, kalimat itu hanya ungkapan tanpa makna yang menjadi kebiasaan pria itu. Kata maaf itu benar-benar tidak memiliki arti sekarang.

“Mas, dingin,” ujar Verlita lirih. Pakaiannya sudah diganti dan tubuhnya dililit selimut, tetapi dia tetap merasa kedinginan.

Randy langsung berlari ke dapur untuk membuat teh hangat. Dia harap, suhu tubuh Verlita meningkat setelah minum minuman hangat. Namun, setelah diberi minuman hangat pun wanita itu tetap mengeluh kedinginan. Di saat seperti itu, Randy benar-benar bingung harus berbuat apa. Perasaan cemas makin menjadi kala Verlita mulai memejamkan mata.

“Sayang, bangun.” Randy menepuk-nepuk pipi Verlita agar dia membuka mata.

Perlahan, Verlita membuka mata, tetapi sedetik kemudian kembali terpejam. Tubuhnya masih dingin dan terasa makin lemas. Akhirnya, Randy membuka pakaiannya dan pakaian Verlita, lalu memeluk istrinya dengan erat, tanpa terhalang sehelai benang pun. Dia harap, sentuhan kulit dengan kulit bisa menghangatkan tubuh istrinya dengan cepat.

***

Malam yang menegangkan telah berlalu dan pagi yang cerah menyambut. Seulas senyum tercetak di wajah Randy saat udara hangat menerpa wajahnya setelah dia membuka jendela. Jam sudah menunjukkan pukul delapan, tetapi wajah Randy masih tampak mengantuk. Semalam, dia tidak bisa tidur sebab Verlita mendadak demam. Istrinya terus mengigau tidak jelas. Saat menjelang subuh, Verlita baru lebih tenang dan Randy pun bisa tidur dengan nyenyak.

Suara seseorang yang muntah membuat dahi Randy mengernyit. Suara orang yang muntah itu terdengar begitu jelas di telinga dan dia heran sebab bisa-bisanya tetangganya muntah dengan suara sangat keras seperti itu hingga terdengar sampai ke rumahnya. Namun, saat menyadari pekarangan rumahnya cukup luas, dia segera berlari menuju kamar. Dia begitu bodoh menyangka orang yang sedang muntah adalah tetangganya. Pasti yang sedang muntah itu Verlita.

Benar saja, saat memasuki kamar, Randy mendapati Verlita sedang berada di kamar mandi, berjongkok di depan kloset dan muntah-muntah. Randy segera menghampirinya dan menyatukan rambut panjang istrinya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memijat tengkuknya.

“Kamu kenapa?” tanya Randy.

Verlita tidak menjawab. Mual yang dia rasakan begitu hebat hingga dia tidak berhenti muntah.

Randy terus memijat tengkuk Verlita agar istrinya lebih mudah mengeluarkan isi perutnya. Setelah beberapa menit bergulat dengan hal itu, keduanya keluar kamar mandi dan Verlita kembali berbaring di ranjang.

“Mas, bawa aku ke dokter. Akhir-akhir ini aku sering muntah kayak gini,” pinta Verlita dengan suara lemah. Wajahnya tampak begitu pucat dan suhu tubuhnya masih tinggi.

“Mau ke dokter sekarang?”

“Kenapa masih nanya?”

Seandainya Verlita dalam keadaan baik-baik saja, dia pasti akan membentak Randy lebih keras disertai tatapan tajam. Entah Randy tidak peka atau tidak peduli, hal tidak penting seperti tadi pun masih dipertanyakan, padahal keadaan Verlita cukup mengkhawatirkan.

“Mandi dulu, habis itu langsung ke dokter.”

Verlita merentangkan kedua tangan, meminta digendong. Tanpa diperintah lagi, Randy langsung mengangkatnya dan membawa menuju kamar mandi. Kedua sudut bibir Randy melengkung ke atas. Dia sedikit aneh dengan sikap Verlita yang akhir-akhir ini berubah menjadi galak, tetapi suka saat istrinya bersikap manja kepadanya.

Saat hampir pukul 10, Randy membawa Verlita menuju sebuah klinik, tidak jauh dari rumah. Pasien yang berobat hari itu cukup banyak, membuat keduanya harus menunggu antrean cukup lama. Setelah lebih dari 1 jam menunggu, akhirnya keduanya bertemu dengan dokter.

Prosedur pemeriksaan langsung dilakukan. Verlita ditanyai mengenai keluhan yang dirasakan, lalu dia disuruh berbaring di brankar. Setelahnya, dilakukan pengecekan tekanan darah, suhu tubuh, dan detak jantung.

“Tekanan darah dan detak jantungnya normal, hanya saja suhu tubuhnya tinggi. Itu cuma gejala demam biasa. Tapi, saya sarankan Ibu periksa ke dokter kandungan,” ujar dokter.

Dahi Verlita dan Randy sama-sama mengernyit. “Kenapa saya harus periksa ke dokter kandungan?” tanya Verlita.

“Saya rasa, Ibu sedang hamil. Untuk memastikan lebih jelasnya, sebaiknya periksa ke dokter kandungan.”

Saat pemeriksaan tadi, dokter meletakkan stetoskop di perut Verlita memang cukup lama, seolah sedang memastikan lebih jelas penyakitnya. Verlita khawatir terjadi sesuatu dengannya, juga dia takut berhadapan dengan dokter kandungan. Baginya, dokter kandungan seperti hakim yang menjatuhkan vonis mati kepadanya.

Pikiran Verlita melayang ke sembarang tempat. Ucapan dokter yang mengatakan jika dia bisa saja sedang hamil tidak bisa diterima begitu saja. Dokter yang memeriksanya kini bukanlah dokter kandungan dan bisa saja diagnosisnya salah. Ada kemungkinan Verlita tidak mengandung, tetapi mengidap penyakit lain, seperti kanker atau tumor.

Akan tetapi, pada akhirnya Verlita dan Randy harus tetap pergi ke dokter kandungan. Rasa takut dihati Verlita jelas tidak bisa hilang begitu saja. Setidaknya, mereka mengetahui secara pasti apa yang terjadi dengan wanita itu.

⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️

Friday, February 10th, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang