Part 9

3.3K 233 29
                                    

“Mas, buka pintunya!”

Suara teriakan menggema seisi kamar disertai tangis histeris. Verlita terus memanggil Randy, yang dengan sengaja menguncinya di dalam kamar, sambil sesekali kakinya menendang-nendang pintu. Tangannya terkepal erat dan terus-menerus menggedor pintu agar Randy membukakannya. Namun, yang dia dapat justru hanya rasa lelah. Tidak terdengar sedikit pun suara Randy yang menyahuti ucapannya. Sepertinya, pria itu sengaja mengabaikannya atau mungkin dia sudah pergi.

Verlita duduk di lantai dengan menyandarkan punggung di sisi ranjang dan kepalanya tenggelam di antara kedua lutut yang dia peluk. Suara isakan masih terdengar meski tidak sekeras tadi. Verlita marah kepada Randy sebab tega mengurungnya di dalam kamar seperti itu.

Rasa sesak di dada kembali Verlita rasakan saat memori di kepalanya kembali mengingat ke masa seminggu lalu. Saat itu, Randy mengajaknya pergi berlibur, tetapi harus batal karena ibunya sakit. Beberapa hari kemudian, suaminya kembali mengajak berlibur dan rencana itu lagi-lagi batal. Verlita marah kepada Randy dan dia meluapkannya dengan melempar barang-barang yang ada di hadapannya, termasuk pakaian yang sudah disiapkan untuk dibawa berlibur. Teriakan histeris menyertai setiap dia melempar barang hingga tenggorokannya sakit.

Pelampiasan emosi yang Verlita lakukan ternyata tidak membuatnya merasa lebih baik. Rasa marah itu masih bersarang di hati dan dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar emosinya bisa segera sirna.

Satu jam berlalu, Verlita masih duduk di lantai yang cukup dingin. Posisinya kini berubah menjadi duduk bersila. Dia melipat kedua tangan di ranjang dan kepalanya diletakkan di atasnya.  Penampilannya pun sangat kacau. Rambutnya berantakan, wajah pucat, mata sembap, dan jejak air mata terlihat jelas di pipinya. Irisnya menatap ke luar jendela, yang sudah sepenuhnya terang, dengan tatapan kosong. Cuaca di luar sangat cerah, berkebalikan dengan hatinya yang mendung.

Suara kunci yang diputar kemudian terdengar, menandakan Randy sedang membuka pintu, tetapi Verlita tetap pada posisinya. Tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari samping dan kepalanya diciumi oleh Randy.

“Maaf, Sayang,” ujar Randy lirih seraya makin mengeratkan pelukan.

Verlita bergeming. Dia tidak bergerak sedikit pun dan tidak menatap suaminya sama sekali.

“Aku udah beli sarapan. Ayo makan.”

“Aku pengen pergi,” tutur Verlita dengan suara lemah, tanpa menatap Randy.

“Kamu nggak boleh pergi sendirian.”

“Aku nggak boleh pergi sendirian, pergi sama kamu pun nggak pernah. Mau kamu gimana?”

“Sayang, aku masih ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalin.”

“Minggu lalu kamu janji mau ngajak aku liburan ke luar negeri, tapi batal karena Mama sakit. Kamu juga janji mau ke Bandung, tapi nggak jadi lagi karena ada kerjaan. Semua janji kamu nggak ada yang ditepati. Aku ngerasa kamu udah nggak peduli lagi sama aku.”

“Bukan gitu, Sayang.”

Verlita mengangkat kepala, kemudian menatap Randy sangat lekat dan matanya kembali berkaca-kaca.

“Aku ngerasa banget kamu berubah, Mas. Beberapa bulan ini kamu sering banget lembur. Kita ketemu cuma pagi aja sebelum kamu berangkat kerja. Aku tahu kamu kerja buat aku, tapi apa harus sampai segitunya? Kamu nggak pernah ngeluangin waktu buat aku. Akhir pekan juga kamu lebih sering pergi dengan alasan ada kerjaan. Menurut kamu, apa aku bisa tetap percaya kalau hal itu terus berulang setiap minggunya?”

Segala unek-unek yang terpendam di rongga dada akhirnya Verlita keluarkan. Dengan berurai air mata, dia menatap Randy yang tampak bingung dan memilih bungkam. Verlita memang tidak membutuhkan jawaban. Hanya perhatian yang dia inginkan. Dia sangat mengharapkan suaminya kembali seperti dulu, yang selalu ada untuknya. Namun, hal itu rasanya sangat sulit untuk digapai.

“Aku capek harus selalu ngertiin kamu. Aku juga mau dimengerti dan aku butuh kamu.”

Randy kembali menarik Verlita dan memeluknya sangat erat. Rasa bersalah seketika menjalar di hati karena pengakuan Verlita barusan. Dia menyadari kesalahannya, yang terlalu banyak mengabaikan istrinya. Namun, hal itu terpaksa dia lakukan sebab dia memiliki kewajiban lain yang jauh lebih penting dari Verlita.

Entah sebanyak apa perasaan yang Verlita pendam selama ini dan sepertinya dia sudah tidak sanggup menahannya. Rasa kesal, kecewa, dan marah mulai dia tunjukkan, dan itu dimulai tadi malam. Selama ini, Verlita begitu sabar, tetapi semuanya berubah karena ulah Randy.

“Maafin aku, Sayang.” Lagi, hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Randy.

Verlita mendorong dada Randy dan mengusap pipinya dengan punggung tangan sambil menyedot ingus. “Udah jam tujuh. Kamu harus berangkat kerja,” tuturnya dengan nada datar. “Aku nggak bisa masak karena nggak ada bahan masakan. Kulkas sengaja aku kosongin karena tadinya mau pergi beberapa hari,” lanjutnya sambil berlalu meninggalkan Randy menuju kamar mandi.

Verlita duduk di bawah guyuran shower dan air mata kembali luruh seiring air yang jatuh membasahi tubuhnya. Ditemani suara guyuran air, Verlita menangis dalam diam sambil memeluk lutut. Rasa sesak di dada belum sepenuhnya hilang meski dia sudah berusaha meluapkannya. Terlalu berat beban yang Verlita pikul selama ini dan dia mulai lelah. Hatinya terlalu rapuh untuk mengabaikan hal-hal yang selalu mengusik ketenangan hidupnya.

Randy sedikit curiga dengan Verlita yang tidak kunjung keluar. Tanpa permisi, dia menerobos masuk ke kamar mandi sebab khawatir dengan keadaan Verlita. Benar saja, ternyata istrinya sedang menangis di bawah guyuran air. Dia segera mengangkat Verlita, beruntung wanita itu tidak menolak sama sekali.

Entah apa yang dirasakan Verlita hingga dia harus menangis diam-diam seperti itu. Terlalu banyak hal yang sudah Randy abaikan dan yang terparah adalah mengabaikan perasaan Verlita. Pria itu beranggapan jika hal yang sama bisa saja terjadi juga kemarin, selama dia tidak ada di rumah.

“Sayang, maafin aku. Kamu kayak gini pasti gara-gara aku.”

Verlita tidak menanggapi ucapan Randy. Dia hanya diam dengan tubuh menggigil sebab cukup lama berada di bawah guyuran air. Dia juga diam mematung, tidak bergerak sama sekali dan membiarkan Randy mengganti pakaiannya. Kalimat maaf terus terlontar dari bibir Randy, tetapi Verlita tidak menghiraukannya.

“Aku capek, Mas.”

Kalimat yang terucap dari bibir Verlita bagai pisau belati yang menghujam tepat ke jantung Randy. Kalimat singkat itu memiliki makna yang sangat menyakitkan baginya. Untuk kesekian kalinya Randy menyalahkan diri sendiri karena membuat istrinya terluka. Dia tidak pernah dengan sengaja mengabaikan Verlita sampai menyiksa batinnya seperti itu. Dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa sebab yang dia lakukan terasa serba salah.

Seandainya dia mengatakan hal yang sebenarnya, apa mungkin Verlita mau menerima?



⚘️⚘️⚘️⚘️⚘️


Thursday, February 2nd, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang