Part 6

3.2K 220 28
                                    

Keheningan terus menemani di pagi hari yang cukup cerah. Sejak pulang dari rumah sakit, Verlita mendadak menjadi pendiam dan raut wajahnya cukup menakutkan bagi Randy. Setelah tiba di rumah Subuh tadi, Randy dan Verlita mandi secara bergantian dan tidak biasanya mereka tidak salat Subuh berjamaah. Usai salat, semua pakaian yang sudah dimasukkan ke dalam koper, dikeluarkan lagi oleh Verlita dan dikembalikan ke dalam lemari. Randy jelas sangat bingung melihat sikap istrinya yang aneh itu.

Berulang kali Randy mencoba bicara dengan Verlita, tetapi tidak dihiraukan sama sekali. Jangankan bicara, saat akan didekati saja Verlita langsung pergi menghindarinya. Randy mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah dia perbuat, tetapi tidak menemukan jawabannya.

“Sayang,” panggil Randy, entah yang keberapa kalinya. Dia mendekati Verlita—yang sedang memasak—dan berdiri di sampingnya, tetapi tidak ada respons dari istrinya. Wanita itu sibuk memasak telur mata sapi.
Randy memperhatikan setiap gerak-gerik Verlita dengan pikiran yang terus bekerja, mencari tahu kesalahan yang telah diperbuat.

“Aku lagi males masak. Kalau nggak mau makan ini, beli aja di luar,” ujar Verlita dengan nada ketus sambil menyimpan piring berisi dua telur mata sapi di meja makan.

Randy segera mendekati Verlita dan mencekal tangannya sebelum istrinya itu pergi. Dia duduk di kursi, lalu menarik Verlita agar duduk di pangkuannya.

“Kamu sebenarnya kenapa? Aku bikin salah?” tanya Randy.

Verlita mencoba beranjak dari pangkuan Randy, tetapi pinggangnya dipeluk sangat erat hingga dia tidak bisa beranjak dari paha suaminya. “Lepas,” ujar Verlita ketus sambil memegang tangan Randy agar melepas pelukannya.

“Jawab dulu. Aku bikin salah apa?”

“Kamu masih nanya bikin salah apa? Kamu nggak sadar sama kesalahan sendiri?”

Randy terkesiap sebab Verlita bicara dengan nada tinggi tepat di depan wajahnya. “Salah aku apa?”

“Kamu lebih belain Mama. Itu salah kamu!” teriak Verlita disertai bulir air mata yang luruh di kedua pipi.
Mengingat percakapan tadi malam membuat hati Verlita sakit. Suaminya dengan begitu mudah menuruti keinginan ibunya tanpa bertanya terlebih dulu kepadanya.

“Maaf, Sayang.”

“Kamu, tuh, bisanya cuma minta maaf dan maaf. Sekali-kali pikirin perasaan aku, Mas.”

“Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Kalau kita tetap pergi liburan, takutnya Mama kenapa-napa.”

“Nggak bisa ngapa-ngapin kamu bilang?” bentak Verlita sambil beranjak dari pangkuan Randy. “Kamu emang nggak ada niat ngebela istri sendiri. Aku yakin, sakitnya Mama itu dibuat-buat.”

“Verli! Kenapa kamu bisa ngomong kayak gitu?” bentak Randy tidak kalah keras. Dia menatap istrinya sangat tajam dan berdiri tepat di hadapannya disertai napas memburu.

Pertengkaran antara suami-istri itu tidak dapat terelakkan. Randy tidak terima dengan ucapan istrinya, begitu pun Verlita, yang tidak terima dengan sikap Randy.

“Setiap kamu ngejanjiin sesuatu sama aku, janji itu nggak pernah ditepati setelah kamu ketemu Mama. Kamu kayak orang yang nggak punya pendirian. Kamu gampang banget dikendalikan sama Mama. Aku capek, Mas.” Verlita masih bicara dengan nada tinggi dan bulir air matanya makin mengalir deras, membanjiri pipi. “Kayaknya, kalau Mama nyuruh kamu ceraiin aku, kamu juga bakalan nurut.”

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang