Part 15

5K 347 67
                                    

Jangan lupa tinggalin jejak, Gaes.

Selamat membaca

⚘⚘⚘⚘⚘




Dua minggu berlalu, hubungan Randy dan Verlita sudah lebih baik, tetapi sikap wanita itu sedikit berubah. Verlita menjadi irit bicara. Setiap Randy ada di rumah, dia lebih sering mengurung diri di kamar. Setiap melihat wajah Randy, sesuatu yang berat terasa menghantam jantungnya. Itulah sebabnya Verlita lebih memilih menghindari Randy demi menjaga hatinya.

Sikap Verlita yang seperti itu membuat suasana rumah terasa mencekam bagi Randy. Setiap pulang kerja, tidak ada sambutan hangat yang Verlita berikan. Istrinya selalu memperlihatkan wajah datar dan sangat irit bicara—sangat jauh berbeda dengan kepribadian Verlita yang dulu.

Hari ini, pengajian bulanan digelar di rumah Hani. Seperti biasa, Verlita harus datang ke rumah mertuanya. Tadinya, dia tidak akan datang, tetapi Randy sedikit memaksanya. Kata pria itu, “Nggak enak kalau nggak datang. Setidaknya, hargai Mama.”

Saat mendengar kalimat itu, Verlita langsung tersenyum miring. Keluarga Randy meminta untuk dihargai, tetapi mereka tidak pernah memikirkan perasaannya. Keluarga Randy sungguh tidak tahu diri, begitu pun dengan Randy sendiri.

Usai mengajar les matematika, Verlita pergi ke rumah Hani. Beruntung semester sekarang ada jadwal mengajar les di hari Jumat, jadi dia memiliki alasan untuk tidak datang lebih awal.

Saat Verlita datang, keadaan rumah sudah rapi. Karpet sudah digelar, makanan yang akan disuguhkan kepada tamu sudah ditata, dan nasi kotak sudah ditumpuk di dekat pintu.

Saat memasuki rumah, Verlita hanya tersenyum sekilas kepada orang rumah, termasuk Cindy. Rasa kecewa terhadap iparnya membuat Verlita enggan untuk mengobrol dengannya. Dia melenggang begitu saja menuju kamar, lalu diam di sana sampai pengajian berakhir. Dia tidak peduli dengan tugas yang biasa dikerjakan. Verlita datang ke sana hanya untuk menampakkan wajah, bukan untuk membantu mereka.

Cukup lama Verlita diam di kamar, akhirnya dia keluar saat mendengar suara deru mesin mobil di depan rumah. Suaminya pasti sudah datang. Dia segera keluar kamar untuk menemui Randy dan meminta pulang, tetapi sesuatu di luar dugaan tampak jelas di depan mata.

Langkah Verlita terhenti begitu saja saat melihat Randy memasuki rumah. Pria itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama seorang wanita yang sedang menggendong bayi laki-laki. Tanpa perlu bertanya, Verlita tahu jika wanita itu pasti istri kedua Randy.

“Ya ampun, cucu Nenek akhirnya datang.”

Suara Hani menarik Verlita untuk menoleh. Mertuanya berjalan dari arah belakang, lalu mendekati wanita yang berdiri di samping Randy disertai senyum lebar. Netra Verlita tidak lepas dari Hani, yang kini sedang menggendong bayi itu. Dari raut wajahnya, terlihat jelas jika Hani begitu senang dengan kedatangan cucunya.

Verlita kemudian beralih menatap Randy, yang sejak tadi memandangnya dalam diam. Jantung Verlita kembali sesak seperti diimpit beban yang begitu berat. Setelah kemarin mengakui pernikahannya, kini Randy dengan terang-terangan membawa istri keduanya ke hadapannya.

Verlita tidak sanggup melihat pemandangan menyakitkan itu lagi. Dia memasuki kamar dan duduk di ranjang sambil memukuli dadanya yang semakin sesak.

Sadar terjadi sesuatu dengan Verlita, Randy segera menyusulnya ke kamar. “Sayang,” panggilnya pelan seraya berdiri di hadapan istrinya.

“Rasanya sakit, Mas,” ujar Verlita pelan sambil terus memukuli dada. Hatinya begitu sakit, tetapi tidak bisa menangis.

Randy memegang tangan Verlita agar berhenti memukuli dada. Hatinya begitu hancur melihat Verlita seperti itu. “Maaf.”

Akhir-akhir ini, kata itu selalu terlontar dari bibir Randy. Bagi Verlita, kata maaf itu sudah tidak memiliki makna lagi.

“Aku ingin sendiri. Tinggalin aku.”

“Nggak. Aku mau di sini sama kamu.”

“Keluar, Mas. Jangan bikin aku makin sakit hati,” balas Verlita tanpa menatap Randy sedikit pun.

Verlita langsung meringkuk dan menangis tanpa suara setelah Randy keluar kamar dengan sangat terpaksa. Wanita itu tidak tahu bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang menimpanya selain dengan menangis. Rasa sakit itu sungguh menyiksa. Seandainya bisa, Verlita ingin membuang hatinya agar tidak merasakan sakit itu.

Sejak Randy datang, Verlita tidak keluar kamar lagi. Dia hanya diam dan melamun seorang diri di kamar. Makan malam pun dia lewatkan. Saat Randy membawakan nasi, dia tidak menyentuh sama sekali dan membiarkannya tergeletak di samping ranjang. Dia juga sudah tidak betah diam di rumah Hani, tetapi tidak bisa pulang sebab sedang hujan deras.

Suara ketukan pintu dan panggilan Randy tidak membuat Verlita bergerak sedikit pun. Dia tetap pada posisinya, duduk di tepi ranjang sambil melamun. Karena tidak ada jawaban darinya, Randy membuka pintu dan memasuki kamar tanpa izin.

“Sayang.” Randy mendekati Verlita dan berdiri di hadapannya. Pria itu diam dan menatap istrinya dengan serba salah. “Kamu bisa tidur di kamar tamu? Malam ini aja.”

Verlita tidak menjawab. Dia hanya menatap Randy dengan pandangan yang sulit dibaca. Saat suara tangis bayi terdengar, Verlita menoleh ke arah pintu. Wanita yang datang bersama Randy tadi sedang berdiri di sana sambil berusaha menenangkan anaknya.

“Anakku rewel,” lanjut Randy.

“Anakku?” ejek Verlita seraya berdiri dan kembali menatap Randy.

Randy mendadak salah tingkah. “Maksudnya ... Bima rewel, dari tadi nangis terus. Dia nggak biasa tidur di kamar tamu. Biasanya dia—”

“Kamu sama dia tidur di kamar ini?” potong Verlita dengan intonasi tinggi dan tatapan matanya berubah tajam.

“Maaf.”

Plak!

“Berengsek!” Verlita menampar Randy sangat keras dalam keadaan sangat sadar disertai tatapan yang makin tajam dan dadanya naik-turun akibat emosi yang mendadak meluap.

“Verlita!” Bentakan Hani menggema seisi kamar. Wanita paruh baya itu beringsut memasuki kamar dan hendak menampar Verlita, tetapi tangannya dicekal oleh Randy. “Berani-beraninya kamu nampar anakku!Di mana sopan santunmu sebagai istri?”

Verlita berdecih dan tidak merasa takut dengan amarah Hani. “Mama nanya di mana sopan santunku sebagai istri, terus di mana perasaan Mama sebagai mertua?”

Napas Verlita memburu kasar. Untuk pertama kalinya, dia berani bicara dengan sangat keras kepada Hani.

“Kamu harusnya sadar diri.”

“Mama mau ngungkit soal anak lagi? Aku emang bukan wanita sempurna yang bisa hamil dan ngasih keturunan buat anak Mama, tapi aku tetep punya perasaan! Kalau Cindy ada di posisi aku, gimana perasaan Mama?”

Verlita dan Hani saling menatap dengan tajam. Perdebatan sengit yang baru pertama kali terjadi sepertinya akan makin memperburuk hubungan keduanya. Selama ini, Verlita selalu bersikap hormat kepada mertuanya, meski harga diriny selalu diinjak, tetapi balasan yang dia dapat justru sebaliknya. Hari ini, terakhir kalinya Verlita bersikap hormat kepada Hani. Dia tidak peduli akan dicap sebagai menantu durhaka yang memulai semuanya adalah Hani sendiri.

“Aku kecewa sama keluarga ini, terutama sama kamu!”

Verlita menunjuk Randy tepat di depan wajahnya, kemudian mengambil tas selempang di atas nakas dan pergi meninggalkan manusia-manusia tidak tahu diri itu dengan perasaan hancur.


⚘⚘⚘⚘⚘

Wednesday, February 8th, 2023.

How Far I'll Go (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang