Bau obat-obatan seketika menyengat di hidung Verlita, padahal dia baru memasuki area pendaftaran rumah sakit. Setelah dari klinik tadi, di kepalanya terus berputar hal-hal buruk mengenai rumah sakit. Bau obat-obatan, dokter dan perawat yang terlihat seperti monster, dan lalu-lalang orang yang berobat tampak seperti seorang pesakitan yang sedang menunggu vonis—termasuk dia salah satunya.
Setelah selesai mendaftar, Verlita duduk di kursi tunggu bersama Randy. Di sampingnya, terdapat beberapa orang yang juga sedang menunggu untuk diperiksa. Pandangan Verlita terus beredar, memperhatikan sekeliling, dan irisnya berhenti saat melihat pasangan suami-istri yang duduk di ujung kursi. Tampak sang suami sedang mengelus perut istrinya yang membuncit. Mereka pasti sedang mengobrol dengan bayi dalam kandungan wanita itu. Ada sedikit rasa iri dalam hati Verlita melihat pemandangan itu. Dia ingin merasakan hal itu juga, tetapi sampai saat ini belum terwujud.
“Bu, mau periksa kandungan?”
Mata Verlita membola dan tubuhnya menegang saat mendengar seorang wanita bertanya. Hatinya terasa seperti dicubit, tentunya sedikit nyeri sebab pertanyaan itu tidak pernah ingin dia dengar. Saat dia menoleh ke sebelah kanan, ternyata wanita itu bukan bertanya kepadanya, melainkan kepada seorang wanita yang duduk tepat di sampingnya. Verlita mendadak menjadi paranoid sejak memasuki rumah sakit.
Tubuh Verlita terperanjat saat tangannya digenggam oleh Randy. Dia menoleh dan mendapati suaminya menatap dengan bingung.
“Kenapa?” tanya Randy seraya menatap mata Verlita begitu dalam. Dia paham jika istrinya sedang cemas.
Verlita hanya menggeleng.
“Kamu takut?”
Kembali, Verlita hanya menggeleng dan tatapan matanya berubah sendu.
“Nggak usah takut. Kamu cuma mau periksa aja, nggak ngapa-ngapain.”
“Aku udah lama banget nggak ke sini. Kalau nanti pas diperiksa ternyata ada kista atau lebih parahnya tumor gimana?”
Tangan Randy terangkat dan dia mengusap kepala Verlita. Tatapan matanya yang teduh seketika memberikan ketenangan kepada istrinya.
“Jangan gitu, Sayang. Yakin aja kamu baik-baik aja. Kalau seandainya emang ada sesuatu kurang baik, setidaknya langsung terdeteksi.”
Kalau ternyata aku mengidap kanker dan udah parah, kamu pasti nggak akan sedih seandainya aku nggak bisa bertahan.
“Nyonya Verlita Handini.”
Verlita terkesiap saat namanya dipanggil. Degup jantungnya berdetak tidak beraturan dan keringat dingin keluar di sekujur tubuh. Tadi, Randy yang menggenggam tangannya, sekarang berbalik Verlita yang menggenggam tangan suaminya sangat erat. Dia sedang mencari kekuatan dari genggaman tangan itu.
Lagi, Randy paham kecemasan yang dirasakan Verlita. Dia menatap manik mata istrinya sangat lekat, kemudian mengangguk, seolah berkata, “Jangan takut, ada aku.”
Randy kemudian menuntun Verlita untuk berjalan memasuki ruangan dokter dan tangannya terus menggenggam tangan istrinya yang mulai terasa dingin. Saat duduk di hadapan dokter, yang beberapa tahun lalu pernah menanganinya, Verlita seolah merasa déjà vu. Hal yang pernah terjadi dulu kembali terjadi lagi hari ini—berhadapan dengan dokter disertai rasa takut.
“Apa kabar, Bu?” tanya Dokter Findri disertai senyum ramah yang sejak dulu tidak berubah.
“Baik,” jawab Verlita gugup.
“Ibu mau program hamil lagi?”
Lagi? Ya, Verlita pernah menjalani program hamil selama beberapa tahun, setelah dia sadar sulit untuk hamil. Namun, karena tidak kunjung berhasil, akhirnya dia menyerah sebab lelah dengan hasil yang tidak pernah memuaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Far I'll Go (Revisi)
RomanceKehidupan rumah tangga Verlita dan Randy yang tadinya tenang, seketika berubah saat sosok Asti hadir di antara mereka. Alasan Verlita tidak bisa memberi keturunan kepada Randy membuat pria itu tega menikah lagi dengan wanita lain. Kepercayaan Verlit...