"Gelap itu kematian. Tersiksa itu kesepian. Ketidakadilan itu luka. Penyesalan itu tangisan. Oleh karena itu, carilah jawaban untuk menciptakan kisah yang indah. Lalu hati-hatilah, jangan sampai kamu sendirian."
Pada setiap tahun kabisat selalu ada...
Malam teman-teman, sesuai janji mulai kemarin dan seterusnya 29 bakal up dua chapter per malamnya.
Jangan lupa vote dan komen ya 😊
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejauh apapun kita pergi, meski dapat menembus langit dan bumi, kematian tidak bisa dihindari. Mau tak mau akan tetap mati, tak bisa dinegosiasi apalagi ditunda barang sedetik pun. Tak bisa ditolak, dicegah, dan dibentengi.
~Ailin Wajdi~
Semua penduduk kota telah pergi, menyisihkan sepi dan dingin yang amat mencekam. Kini, kota tempat siswa kelas XI Bahasa-5 tinggal menjadi kota mati, seperti tanggal 28 dan 29 Febuari sebelum-sebelumnya.
Pernah ada beberapa penduduk yang tak memiliki anak remaja sekisaran usia 15-17 tak meninggalkan kota dan tetap memilih tinggal. Mereka pun merasakan ketakutan, keresahan, dan kesepian yang teramat sehingga kapok jadinya.
Clak ... clak ... clak daging busuk dan darah jatuh merembes ke jalanan dengan seiring angin berhembus kencang. "Sunyi,'' ucap roh kesepian sambil terus berjalan menelusuri jalanan kota. Terlihat gaun warna hitam dan rambutnya menari-nari tersebab dicium angin.
~*~
Bagaimana rasanya jika kematian mengitari kepalamu? Berpendar setiap saat, memanggil-manggil namamu. Siap menerkam, membawamu pada suatu yang amat gelap dan pekat. Sedih, resah, takut, putus asa, dan kecewa, seperti yang dirasakan oleh kelas Bahasa-5 tentunya.
Tik ...tik ... tik... denting jam yang menunjukkan pukul sebelas malam terdengar begitu nyaring, dan terlihat Ailin tengah duduk di tepi kasur, tertegun diam, bertafakur dengan keresahan dan ketakutannya. Sesaat kemudian, ponselnya yang terletak di atas nakas memutarkan lagu yang selalu dinyanyikan Ray.
Tak ada lagi bunga matahari yang bersyair dan bernyanyi bersama kelembutan dan kehangatannya, selain daun yang berembun. Tak ada lagi angin yang berbisik melalui daun jendela, selain tangisan gagak. Tak ada lagi warna jingga, selain hitam.Tak ada lagi rembulan dan bintang yang mendengarkan kisah tak berjudul, selain kunang-kunang yang terbang semakin jauh dan malam yang merana. Tak ada lagi jemari-jemari yang menari dengan bebas, selain jemari kaku yang dingin. Tak ada lagi langkah yang berirama, selain langkah yang tak pasti dan kehilangan rasi untuk menemukan suatu arti. Hmm..hmmmm...na..na..nana..la..la..lala..
Rasanya Ailin tengah berada di tengah-tengah hamparan bunga matahari, disapa angin yang menyejukkan dan mendamaikan, lalu turun hujan yang resah bersama petir yang mendegam-degam hingga langit menjadi kelam. Satu per satu bunga matahari berguguran dari kelopaknya, lenyap bersama tangkai-tangkainya. Hanya tanah yang kosong, hampa. Dalam hatinya ia merasa ada kemarahan, kekecewaan, luka, kebencian, keletihan, dan harapan yang sangat menyakitkan. Tentu saja bukan hanya Ailin yang merasakan kepedihan yang dirasakan oleh Ray berpuluh-puluh tahun ini, melainkan semua teman-temannya.
"Menyakitkan, '' lirih Ailin dengan mata yang berkaca-kaca sambil memegang dada kirinya.
"Menyedihkan,'' gumam Arius sambil memandang lekat-lekat lingkaran di atas dada kirinya, lalu berbalik dan menatap foto Mega.
"Terdengar menyakitkan Ray,'' ucap Jovan yang kini tengah tertunduk di tepi kasur sambil memandangi ponselnya yang terletak di atas nakas di samping kasur.
Sesaat kemudian rasa kantuk menghinggapi seluruh siswa kelas XI Bahasa-5, namun mereka harus tetap terjaga. Mungkin jika mereka terjaga, puncak permainan tidak akan terjadi. Terlihat beberapa dari mereka menyeduh kopi. Sebagian lagi ada yang mundar-mandir ke sana ke mari, ada yang bermain game, ada yang menonton serial kesukaannya, dan semacamnya walau sangat resah.
Tik ... tik ... tik... jarum panjang jam terus berpendar, satu persatu mereka terlelap tidur dan kini hanya tinggal lima orang lagi, yaitu Ailin, Arius, Jovan, Vanya, dan Danista. Selang beberapa menit kemudian Danista terlelap, lalu disusul Vanya, dan setelah itu disusul Jovan. Kini tinggal Ailin dan Arius. Lalu tak lama mereka juga terlelap, ketika waktu menunjukkan 23: 59: 56.