"Gelap itu kematian. Tersiksa itu kesepian. Ketidakadilan itu luka. Penyesalan itu tangisan. Oleh karena itu, carilah jawaban untuk menciptakan kisah yang indah. Lalu hati-hatilah, jangan sampai kamu sendirian."
Pada setiap tahun kabisat selalu ada...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah selesai pelajaran bahasa Indonesia, keadaan kembali normal namun tetap menanggalkan berbagai tanya dan ketakutan-ketakutan. Mereka masih sangat syok dengan apa yang terjadi dan mereka masih belum bisa percaya sepenuhnya. Pikiran-pikiran menjadi sangat ruwet dan tubuh tetap saja tegang, keringat masih mengucur, membasahi. Napas terdengar masih berderu keras bersahutan dengan detak jantung.
Tok ... tok ... tok... terdengar ada yang mengetuk pintu kelas, mereka langsung mengalihkan pandangan ke arah pintu dengan tatapan penuh ketakutan.
"Buka saja!'' suruh Pak Adit, guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan itu dengan amat ramah.
Seketika seluruh siswa kelas XI Bahasa-5 menghela napas lega karena sempat mengira di balik pintu adalah suatu hal yang cukup mengerikan. Jika Pak Adit mendengar, itu artinya bukan apa-apa.
Kret ... pintu terbuka dan dilihatnya seorang siswi dari kelas lain, tepatnya dari kelas IPA-2. Siswi tersebut kemudian menyampaikan tujuannya ke kelas ini, yaitu Ailin disuruh ke ruangan Bu Helmi sekarang juga.
Ailin bangkit dari duduknya, lalu beranjak pergi ke ruangan Direktur setelah meminta izin dari Pak Adit. Sesampainya di ruangan Direktur, ia melihat direktur tengah duduk menghadap jendela sambil memegang foto 35 siswa yang mengenakan seragam putih abu.
Mungkin itu teman-temannya dahulu, atau siswa-siswa kesayangannya sebelum SMA Tarumanegara mendesain seragam sendiri dan mengenakannya. Ah, entahlah.
Ditilik-tilik Ailin, perempuan ringkih itu tengah menangis dengan rasa penyesalan dan kekecewaan yang begitu dalam bersama kerinduan yang teramat besar.
"Permisi Bu!'' ucap Ailin santun.
Bu Helmi menyeka air matanya, lalu berbalik menghadap Ailin. Lantas ia menyuruh Ailin duduk dan menyampaikan maksudnya tanpa berbasa-basi. Ailin menyimak apa yang disampaikannya dengan saksama dan terlihat dahinya mengerut, apa maksud yang disampaikan oleh Direktur? Dia sedang berkhayal ya? Atau ini efek karena dia sudah tua? Pikir Ailin merasa tak habis pikir karena yang disampaikan oleh Bu Helmi ini benar-benar tak masuk akal.
"Mohon maaf, Bu!'' Ailin memotong pembicaraannya karena apa yang dibicarakan direkturnya itu dirasa semakin ngawur dan hanya akan menambah kekekhawatiran serta ketakutan.
"Saya rasa ini hanya sebuah takhayul dan mitos belaka. Saya tidak mengerti, seseorang yang terpandang, juga cerdas dapat terpengaruh dan mempercayai hal-hal mistis, apalagi ini sangat-sangat tak masuk akal.''
Begitulah seorang Ailin Wajdi, tak pernah sungkan memberikan pendapatnya kepada siapapun, terlebih menurutnya salah. Hah, tak percaya rasanya seorang direktur melenceng dari logika, pikir Ailin.
Memang pada kenyataannya hal mistis tak pernah sinkron dengan logika, bukan? Semuanya selalu terasa mustahil dan terkesan mengada-ada.
Bu Helmi menghela napas. "Baiklah, kalau begitu saya akan ajukan pertanyaan!"
"Baik.''
"Di dada kirimu dan siswa lain apakah secara tiba-tiba ada lingkaran berwarna darah seukuran cincin?''
Ailin tertegun diam sejenak. "Ya,'' jawabnya karena ia tak bisa berbohong.
"Selain kejadian tadi pagi, kamu juga mengalami kejadian aneh lainnya yang tak luput dari darah?''
"Ya.''
"Maka itu sudah jelas, Ailin. Dan tak ada jalan keluar selain menyelesaikannya!''
Ailin mendengus, ia masih tak percaya dengan apa yang dikatakan direkturnya. "Itu hanya kebetulan saja.''
"Kebetulan?''
"Ya, saya rasa.''
"Kebetulan adalah kata bagi mereka yang tak ingin percaya pada sebuah peristiwa yang terjadi."
"Saya bukan tak ingin percaya, tapi saya tak percaya. Mohon maaf Bu, jika saya tidak sopan!'' Ailin merengkuhkan kepala, lalu beranjak dari duduknya dan berpamitan.
Simpan ini, saya yakin kamu akan membutuhkannya untuk membuat diri kamu percaya, termasuk kepada saya,'' tutur Bu Helmi sambil menyodorkan sebuah foto perempuan yang cantik mengenakan seragam sekolah SMA Tarumanagara, lengkap dengan alamat rumahnya.
Ailin mengambilnya lalu memasukkannya ke dalam saku rok dengan seiring Bu Helmi kembali berkata, "Jangan buat penyesalan, kalian semua harus bekerja sama untuk menyelesaikannya!''
"Saya undur diri.'' Ailin kemudian beranjak keluar dari ruangan tersebut.
"Aku yakin, apa yang dibilang Direktur itu bener!'' tukas Jovan kepada Ailin yang tengah menutup pintu.
Ya, ia yang telah dari ruang guru dan melewati ruang tersebut tak sengaja mengupingnya. Karena penasaran, ia pun akhirnya memilih menguping sampai akhir.
"Jangan ikut-ikutan sakit! Anak-anak juga nggak akan ada yang percaya. Jika kamu atau aku ngasih tahu mereka, kita bakal terlihat bener-bener bodoh karena semua itu nggak ada dan nggak akan pernah terjadi."
Ailin beranjak tanpa memedulikan Jovan yang tertegun diam, mungkin Ailin benar bahwa itu hanya takhayul dan semuanya tidak pernah terjadi dan tak akan pernah terjadi. Ya, semoga saja, namun semuanya sudah jelas bukan bahwa seluruh siswa kelas XI Bahasa-5 sudah terkena kutukan.
"Ailin buka mata sama pikiran kamu! Kejanggalan-kejanggalan yang kita alami, kesurupan barusan, apa semuanya? Fiksi? Nggak kan?''
Ailin tertegun diam, ia pun berpikir dan mulai percaya dengan apa yang terjadi.
"Tapi ....''
"Pikirkan baik-baik Ailin!''
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.