Sudah tiga hari akhirnya kelas XI Bahasa-5 dapat tidur dengan nyenyak dan tak lagi mendapatkan teror yang mengerikan. Rasa takut dan khawatir kini telah terganti dengan rasa bersalah terhadap apa yang telah dilakukan pada Lalita. Mereka kira akan melegakan setelah semuanya dirasa usai, tetapi malah semakin resah dan kelimpungan. Lalu, apa arti semuanya dari rasa sesal yang telah menjajal?
Keputusasaan pun terasa semakin nyata, sebab tak ada jalan untuk melakukan penebusan dosa. Terlebih melihat ibunya Lalita sudah seperti orang gila yang tak tahu arah, ke sana-sini sambil berteriak memanggil nama anak bungsunya seraya membawa foto paling cantik untuk diperlihatkan ke banyak orang, mungkin saja melihatnya. Bukannya polisi tak becus, tetapi ia tak tenang harus terdiam di dalam rumah yang kini terasa menjadi sebuah penjara yang amat menyiksa sama halnya seperti ibu Ara.
"Benarkah Helen, kamu nggak tahu ke mana perginya Lalita?'' tanya Nirina yang sudah sangat lelah dan tak kuat lagi menahan seluruh kerinduan.
Helen menggelengkan kepala dengan mata yang berkaca-kaca.
"Dia nggak bilang apapun? Mau pergi ke mana? Atau mau apa?''
"Nggak Tante!''
"Tapi kamu sahabatnya, bukan?''
"Ya, tapi dia gak ngabarin sama sekali mau apa? Mau ke mana di saat-saat sebelum menghilang.''
"Baiklah,'' ujar Nirina putus asa, lalu ia beranjak meninggalkan halaman rumah Helen yang kini buru-buru masuk ke dalam dan lari ke kamarnya.
Ia pun menangis terisak-isak, sungguh ia menyesal karena lebih memilih ego dibandingkan hidup orang lain. Ia tahu ini adalah sebuah penghianatan yang tak bisa dimaafkan, namun mau bagaimana lagi? Tak ada jalan selain mengorbankannya karena ia tak mau mati.
Sementara, terlihat Vanya yang tengah memainkan piano tak hentinya memikirkan penyesalan karena tak bisa berbuat apa-apa. Selain itu ada hal yang begitu mengganggu, betulkah Ara adalah roh kesepiannya dan betulkah semuanya telah berakhir? Jika ia, lantas kenapa ingatan yang dimanipulasi belum kembali? Ingatan mengenai seluruh siswa kelas XI Bahasa-5 mengapa masih tetap sama? Bukankah jika sudah benar-benar terusir maka ia akan ingat siapa saja yang telah ada dari awal, tetapi ini tidak. Ara tetap ada diingatan mereka sebagai siswa kelas XI Bahasa-5 bukan yang terasingkan, bahkan seorang iblis. Bukankah ini adalah hal yang terlahir berdasarkan terkaan bahwa dialah dalang dari semuanya?
~*~
"Ada apa Ailin, kamu sama Arius ngajak aku ketemu ngedadak kayak gini?'' tanya Jovan tanpa berbasa-basi setelah sampai di sebuah danau yang cukup indah dan menyejukkan.
Terlihat rambut Ailin yang kali ini tak dikucir menari-nari dan sesekali menghalangi wajahnya yang cantik sehingga disapu secara terus menerus dengan jengkel. Ia tak sempat mengucirnya karena Arius sudah sangat bawel mengajaknya untuk bertemu.
Sebetulnya pertemuan mereka di kafe dan Ailin serta Arius sudah sampai, namun karena merasa muak melihat Faye, Misbah, Aldi, dan Qia tengah asyik nongkrong sambil ketawa-ketawa sehingga memilih tak jadi saja. Ya, jelas hal itu sangat memuakkan dan menjengahkan serta menjijikan. Bagaimana bisa mereka bahagia, tertawa, dan melupakan penderitaan Lalita beserta kedua orang tuanya yang sudah sangat sengsara dan hampir gila? Dan mayat Lalita, entah dikemanakan oleh mereka, entah dibuang ke hutan lantas menjadi santapan binatang buas? Dikubur? Benar-benar tak tahu.
Ailin terus bertanya-tanya kepada Vanya, namun semenjak itu ia diam seribu bahasa dan itu sangat-sangat menjengkelkan, begitupula dengan Danista dan yang lainnya.
"Ada yang gak beres,'' tukas Arius.
"Aku juga berpikir begitu.''
"Kalau iya roh kesepian itu Ara dan berhasil diusir, kenapa ingatan kita tetep aja dimanipulasi? Kenapa gak ingat bahwa dia nggak pernah ada di kelas kita. Ini benar-benar aneh, bukan Jo?'' tutur Arius dengan seiring Ailin merapatkan jarak dengannya sehingga terheran-heran.
Ailin membuka kancing kemeja Arius berwarna abu dan bermotif abstrak tetapi begitu keren. "Lihat, tanda lingkaran itu balik lagi!''
"Ailin, kok main buka-buka aja sih!'' protes Arius dengan wajah yang memerah karena malu, terlebih pikirannya sudah ke mana-mana.
"Masa harus buka baju aku, terus nunjukin yang ada di dada kiri aku? Yang bener aja anjing!'' kesal Ailin dengan nada yang sangat-sangat menjengkelkan, tak lupa dengan tatapan yang sangat sinis sehingga sangat menusuk.
"Sejak kapan ada lagi, Ar?'' tanya Jovan kaget bukan main, lalu ia meraba dada kirinya. Jangan-jangan tanda itu juga kembali tersemat.
"Aku gak tahu kapan, tadi sekitaran jam sepuluhan saat mau mandi karena mau nemenin Mamah ziarah ke makam Kakakku, tahu-tahu udah ada lagi pas liat cermin. Terus aku telepon Ailin dan Ailin juga sama, di atas dada kirinya ada tanda lingkaran lagi.''
Tersebab Jovan penasaran, iapun membuka bajunya dan ternyata benar-benar ada, kembali tersemat. Tadi pas dirinya mandi dan bercermin tak ada, itu artinya setelah berjam-jam dari sehabis tanda lingkaran itu tersemat kembali di dada Arius. Jovan menghela napas dengan kasar, ia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi? Dan rasanya seperti dihantam bencana ribuan kali.
"Kita gak pernah terbebas ternyata,'' desah Jovan prustasi dan kecewa. "Itu artinya Ray masih ada di antara kita? Lalu kenapa bisa Ara hilang? Apa dia juga dijadiin kurban?''
"Nggak, Vanya bilang cuman Lalita.''
"Apa mungkin memang benar-benar Ara dan dia kini memilih berada di belakang layar?''
"Entahlah, tapi aku rasa bukan. Atau mungkin Ray sedang merancang suatu hal dan pastinya dibalik Ara hilang ada alasan besar, yang bakal berpengaruh,'' terka Ailin.
"Bisa jadi.'' Arius sependapat.
"Ternyata ini belum berakhir, tapi masih berlanjut!''
Makasih banyak, sampai ketemu besok malam di episode 34.
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan cara vote dan komen, ya temen-temen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahun Kabisat (New Version) -End-
Horror"Gelap itu kematian. Tersiksa itu kesepian. Ketidakadilan itu luka. Penyesalan itu tangisan. Oleh karena itu, carilah jawaban untuk menciptakan kisah yang indah. Lalu hati-hatilah, jangan sampai kamu sendirian." Pada setiap tahun kabisat selalu ada...