Ibu Prisilla pergi ke suatu daerah terpencil yang cukup jauh dari tempat tinggalnya dengan penduduk yang masih dikatakan memiliki banyak ketertinggalan. Hanya sekitar lima sampai sepuluh orang yang mengenal teknologi selain televisi, yaitu ponsel dengan tingkat kepintaran serta kecanggihannya masih sangat jauh. Untuk mendapatkan signal pun perlu pergi ke dataran tinggi.Beberapa jalanan yang dilalui merupakan jalan setapak dengan keadaan cukup curam, di kelilingi pohon-pohon tinggi serta lebat. Suara kicau burung dan jangkrik sesekali terdengar mengiringi langkah kaki yang harus menapak setiap turunan atau sebaliknya dengan hati-hati, agar seketika tak tergelincir dan jatuh, terlebih jalanannya masih sedikit becek sisa hujan semalam. Dan terlihat kebun-kebun garapan warga seperti kebun cabai, sawi, kol, dan sebagainya nampak sangat subur bermandikan cahaya mentari yang masuk melalui celah-celah dedaunan dan ranting-ranting yang selalu sendu.
Lalu, pada akhirnya setelah beberapa jam perjalanan mereka sampai di depan sebuah rumah yang materialnya terbuat dari kayu dan bilik-bilik bambu. Rani pun lekas-lekas membuka pintu dan terlihat dua polisi itu mengintip secara diam-diam di sela-sela.
Perempuan bermata lelah itu kembali meneteskan air mata, tatkala melihat seorang remaja berambut pendek tengah memainkan pisau yang ia tusuk-tusukkan ke papan, membentuk lingkaran sehingga bunyinya terasa memilukan. Wajah juwitanya terhalang oleh rambut berwarna hitam kecoklat-coklatan yang begitu halus dan indah.
Kemudian terlihat ia meneteskan air mata dengan begitu deras. Ada hasrat yang amat besar yang ingin diluapkannya supaya mendapatkan sebuah kepuasan. Sebuah balasan dendam yang harus dibayar tuntas.
"Prisilla!''
Mendengar suara yang teramat lembut namun tegas serta tak asing, Prisilla mengangkat kepala dan menatap sesosok perempuan yang hampir setengah abad sedang tersenyum bahagia dengan tatapan yang kosong, lantas ia menyeka air matanya dan menyuguhkan senyuman.
"Syukur, kamu masih hidup,'' tutur Rani sambil memeluk Prisilla dengan erat.
"Ya, Bu.''
"Kamu benar lompat ke dalam bendungan, sayang?''
"Hmm.'' Prisilla mengamini sambil kembali menderaikan air mata.
Ya, Prisilla memang melompat ke dalam bendungan dan membiarkan tubuhnya untuk tenggelam secara perlahan. Akan tetapi, bayang-bayang sang ayah datang bertandang, begitu pula dengan sang ibunda dan adiknya sehingga ia mengurungkan niat untuk melanjutkan aksi bunuh diri dan berenang kembali ke atas permukaan sebisa-bisanya meski tak kuat lagi, namun jika dirinya mati maka janji yang telah dibuat tak akan bisa dipenuhi untuk membelikan sang ayah tangan palsu dari hasil kerja serabutannya sepulang sekolah.
Janji untuk menyekolahkan Pram setinggi-tingginya. Membelikan ibunya nanti peralatan-peralatan dapur lebih lengkap dan bagus seperti yang diinginkan untuk memasak makanan jauh lebih enak serta variatif karena beliau sangat suka dengan kegiatan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tahun Kabisat (New Version) -End-
Terror"Gelap itu kematian. Tersiksa itu kesepian. Ketidakadilan itu luka. Penyesalan itu tangisan. Oleh karena itu, carilah jawaban untuk menciptakan kisah yang indah. Lalu hati-hatilah, jangan sampai kamu sendirian." Pada setiap tahun kabisat selalu ada...