6. Sebatang Kara

507 309 257
                                    

"Ahh..." Suara erangan Alia terdengar lantang setelah mamanya mencabut infus itu. Tangannya yang masih lemas pun ditarik lalu diseret keluar ruangan.

"Ayo kita pulang, gak guna juga kamu lama-lama di rumah sakit." Ucap mamanya kasar sambil melewati pasien dan petugas rumah sakit tanpa merasa berdosa. Winda yang sedari tadi hanya mengekor sambil menangis tidak bisa berbuat apa-apa, karena ia tahu apa yang terjadi jika mamanya sedang marah.

Pintu rumah sakit segera terbuka otomatis setelah mereka bertiga hendak keluar, mamanya semakin tidak sabaran untuk mencari angkotan umum untuk pulang ke rumah. Rintihan Alia terdengar sesak, antara badannya yang masih lemas setelah mengalami pascatrauma dan ingin melawan mamanya yang memang semena-mena sedari dulu.

"Nyampek rumah langsung bantuin mama habis ini," ucap mamanya di dalam angkotan umum.

"I-iya ma." Jawab Alia pasrah.

Tidak butuh waktu lama mereka segera sampai di gang depan jalan menuju rumah, mereka berdua seperti seorang tahanan yang kabur dan sedang diseret oleh polisi menuju sel tahanan.

Sementara di rumah sakit, kondisi mama Rani semakin memburuk pasca operasi. Beberapa kali dokter dan perawat terlihat hilir mudik keluar masuk kamarnya. Papanya mungkin sudah mendengar kabar mereka tetapi percuma karena ia masih sedang dalam tugas di luar pulau.

"Tahan disini ya!" Suara perawat memberikan aba-aba untuk memberikan kejut jantung karena sempat beberapa kali radar menunjukan bahwa jantungnya berhenti.

"Kasihan ya... mana masih muda, cantik lagi." Sesal perawat yang sedang memegang dua bahunya.

"Ya gitu emang takdir, kan kita gak ada yang tahu. Bisa aja kan habis ini gue mati kepleset di kamar mandi." Balasnya teman perawat itu sambil sedikit tertawa.

"He.. lo jangan-"

Tiitttt.

Belum sempat perawat itu menyelesaikan omongannya, kepanikan terjadi setelah terdengar suara dari mesin Elektrokardiogram. Jantung tante Rini benar-benar berhenti berdetak bahkan setelah dadanya dikejut beberapa kali menggunakan alat kejut. Peluh keringat dingin terlihat mulai bercucuran dari kedua perawat yang sebelumnya merasa baik-baik saja. Beberapa dokter senior pun berdatangan setelah mendapat panggilan darurat ke dalam ruangannya.

"Terus lanjut berikan kejutan," ucap salah satu dokter dalam ruangan yang mulai terasa pengap. Mereka hanya bisa berharap tidak terjadi kegagalan dalam sistem saraf otak tante Rini.

Setelah beberapa menit, keajaiban pun tak kunjung muncul. Terlihat dokter dan perawat pun mulai berputus asa.

"Mamaa..." Terdengar teriakan di ruangan lain, rupanya teriakan Rani yang baru sadar pasca operasi. Dengan suara parau dan lemas, ia menyebut mamanya beberapa kali. Karena mungkin firasat hubungan mereka berdua sangat terasa dalam keadaan seperti ini. Tapi sayangnya mamanya tidak terselamatkan, jantungnya benar-benar berhenti dan badannya mulai dingin seperti mayat.

"Jangan beritahukan hal ini kepada anaknya," ucap salah satu dokter yang semalam mengoperasi mereka berdua.

"Baik dok... kami akan menghiburnya sebisa mungkin, setidaknya sampai pascatraumanya sedikit menghilang." Jawab perawat itu sambil meneteskan air mata. Mereka segera menutup mama Rani dengan kain putih dan memindahkan jasadnya ke ruang jenazah dengan segera.

Matahari siang itu tidak memberikan celah sedikitpun kepada makhluk bumi untuk merasakan hawa sejuk dari angin sepoi-sepoi yang memang tidak terlalu kencang. Alia yang belum mengetahui kabar meninggalnya tante Rini menjalankan hari seperti biasa, dengan kondisi tubuh yang sangat lemas ia berjualan tahu petis seperti biasa.

Alia dan SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang