1. Tidak Sengaja

743 400 430
                                    

"Alia... bersihkan ruang tamu sebelum berangkat! Nanti mama ada tamu." Teriak mama kencang dari dapur sambil menyiapkan tahu petis untuk dijual oleh anaknya. Alia yang bahkan sedang mengerjakan pr nya dan belum selesai segera berlari untuk merapikan ruang tamu lantaran takut dengan amarah mamanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 6, dan ia sudah berangkat ke sekolah tak lupa sambil membawa dagangannya yang dikemas rapih di sebuah styrofoam putih berbentuk persegi. Cuaca terlihat sangat cerah, bahkan matahari sudah bersinar terang tanpa malu-malu menyapa manusia yang beraktifitas di bawahnya.

Menjajahkan dagangan sedari pagi merupakan keseharian remaja itu, ia tidak bisa melawan dan juga tidak mau untuk melawan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. Seperti pada pagi-pagi sebelumnya, ia berjalan riang menuju sekolah sambil sesekali berteriak lantang guna menarik pembeli.

"Nak... kalau mau beli satu harganya berapaan ya?" Tanya seorang wanita muda dengan kacamata hitam dan baju menarik yang memperlihatkan bahwa ia mungkin seorang kaya raya.

"Cuman 4 ribu kok te, kalau beli 3 jadinya 10 ribu deh... Alia kasih diskon". Jawabnya polos.

"Ngomong-ngomong Alia masih sekolah ya?" Lanjut tanya wanita itu menyodorkan uang lima puluh ribu berwarna biru sembari mengambil 15 bungkusan tahu petis.

"Iya te... nih mau masuk bentar lagi". Jawab Alia terlihat acuh tak acuh dengan pembeli pertamanya di hari itu.

"Tante mau tawarin nih... kamu gak perlu kerja setiap hari dan gak capek kok, udah gitu dapet uang banyak lagi." Ucapnya sambil memberikan sebuah brosur kepada Alia.

Alia hanya tertegun melihat selebaran brosur yang diberikan secara cuma-cuma oleh wanita tadi, dengan tulisan besar di bagian bawah "JANGAN CERITAKAN INI KEPADA ORANG TUA KALIAN". Ia sendiri terlihat tak peduli dan segera menyimpan brosur itu di dalam tas yang berisikan buku-buku pelajaran, kemudian melanjutkan perjalanan menuju sekolah. "Lumayan dapet lima puluh ribu," gumamnya dalam hati.

Teng... teng... 

Bel sekolah pun berbunyi nyaring sekali pertanda kelas pada jam pertama akan segera dimulai. "ALIAA!!" teriak Rani teman sebangkunya yang membuatnya kaget. "Eh... buset gue kirain siapa, untung jantung gue masih utuh," gerutu Alia. Memang mereka berdua sangat akrab dan selalu berbagi cerita antara satu dengan lainnya, tetapi terkadang Alia juga jengkel dengan kelakuan Rani yang notabene nya sangat kekanak-kanakan seperti anak SD.

"Lo udah ngerjain pr belum?"Tanya Rani dengan wajah penasaran menggoda Alia.

"Aduh kan, gue lupa tadi disuruh mama buat bersihin ruang tamu." Balas Alia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. 

"Kelar deh idup lo ckckck, mana gurunya tiap hari kayak macan lagi ngamuk. Udah tau kalau bu Anggun marah ngalahin perawan lagi pms," ucap Rani menakuti Alia sambil menggoncang-goncang Alia yang terlihat sudah tidak bersemangat.

"Ih... gak boleh tau ngejek guru, ya gue tau kalau bu Anggun mirip macan, tapi gak gitu juga dong." Sahut Alia mencoba membela gurunya yang baik hati.

Tanpa disadari bu Anggun yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka, menepuk pundak Alia dari belakang. Sedangakan Rani yang kaget pun juga ikut kebingungan, langsung pura-pura membaca buku ditangannya.

"Saya dengar kamu memanggil saya macan lagi pms ya!?" Ucap bu Anggun dengan garang. "Aduh kelar hidup gue," batin Alia yang kebingungan dan hanya mengangguk-angguk lalu diseretlah ia ke ruang BK, sebuah ruangan yang sangat ditakuti seluruh murid di sekolahnya.

"Jelaskan! Apa kamu meremehkan saya?" Teriak bu Anggun semakin garang. "Dari tarikan nafasnya hingga wajah merahnya sepertinya bu Anggun lebih mirip banteng deh," batin Alia sambil sedikit tersenyum.

"Maaf bu, saya tidak bermaksud untuk meledek ibu". Perjelas Alia memasang muka melas.

"Baiklah untuk kali ini ibu maafkan, tapi kalau sampai kamu mengulanginya lagi. Siap-siap bapak kamu menghadap ke saya!" Ancam bu Anggun. Alia yang dari tadi menahan tawa akhirnya melepaskannya karena ia tahu bahwa tidak mungkin papanya yang sudah bersemayam di kuburan pergi ke ruang BK, mungkin sempat terbayang apabila papanya menghadap ke ruang BK.

Mungkin bagi bu Anggun peringatan kepadanya sudah terbilang cukup, sehingga Alia dipersilahkan untuk kembali ke kelas mengikuti pelajaran. Tidak terasa sudah memasuki jam pelajaran terakhir, murid-murid di kelas sudah tidak bersemangat lagi layaknya prajurit yang kelelahan di medan tempur. 

"Rani.. rann... bu Anggun dah masuk tuh, lo mau main lempar-lemparan ama dia?" Ucap Widya, ketua kelas Rani yang paling disiplin diantara murid lainnya. Bahkan karena terlalu disiplin, sampai-sampai ia terkadang datang mendahului tukang kebon sekolah yang rumahnya di ujung jalan. Maklum karena ia anak kepala sekolah dan kebetulan rumahnya tepat di depan sekolah.

"Hitungan ketiga semua belum berdiri, kita belajar di lapangan sekolah. Satu!" Ancam bu Anggun setiap kali masuk di jam pelajaran terakhir.

"Dua!" Murid-murid yang kehilangan nyawanya segera mengumpulkannya kembali dilanjutkan dengan berdiri di tempat masing-masing.

"Tiga! Baiklah karena kalian berdiri tepat waktu maka kalian boleh duduk kembali." 

Gumam murid-murid pun mulai terdengar, mungkin sedikit bahagia karena terkadang mereka bisa belajar 45 menit sambil berdiri. Memang guru matematika selalu dikenal galak, terutama bu Anggun lantaran umur beliau sudah mulai menginjak 50.

**

Siang itu sepulang sekolah, Alia masih harus berjualan tahu petis berkeliling kompleks dan jalanan. Biasanya dagangannya bisa laku keras di sore hari, dan tepat sebelum pukul 6 sore ia sudah harus berada di rumah. Karena pernah pada suatu hari, mama memukulinya dengan sapu lantaran belum pulang hingga pukul 8 malam. Memang tidak ada alasan meskipun dagangannya habis atau pun tidak, ia tetap harus kembali sebelum hari mulai gelap.

"Tujuh dikali enam berapa?" Suara mama terdengar ramah ketika sedang bersama adik tirinya. Wanita paruh baya itu memang sangat berbeda memperlakukan mereka berdua bahkan Alia yang terlihat kelelahan tidak terlalu digubris. Setelah memasuki rumah ia meletakan styrofoam di dapur guna diisi dengan tahu petis keesokan harinya, lalu menyerahkan uang hasil penjualannya kepada mama.

"90, 100, 120." Terdengar samar-samar suara mama menghitung uang.

"Nah... gini dong sekali-kali dapet 150 ribu sehari, anak mama pinter banget deh." Tak jarang juga mamanya yang galak sesekali melontarkan pujian kepada Alia.

Mungkin karena tidak sengaja Alia bertemu dengan wanita berkaca mata hitam tadi pagi yang langsung membeli dagangannya dengan jumlah banyak. Hatinya berbinar-binar karena jarang sekali mama memujinya, kemudian ia teringat dengan brosur yang diberikan oleh wanita tadi pagi. Dengan lebih bersemangat ia segera mandi dan merapikan rumah sebelum disuruh oleh mama, lalu setelah makan malam ia bergegas ke kamarnya merasa penasaran dengan isi brosur tersebut.


Alia dan SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang