22. Reuni

301 169 75
                                    

"Shania! Kau kah itu nak?!" Teriak sosok itu setelah menunjukkan dirinya. Mungkin jika dilihat dari penampilannya, ia adalah sosok lelaki berumur hampir lima puluh tahunan. Perut yang sedikit buncit dengan tubuh yang tak terlalu tinggi menjadi kombinasi sempurna di umurnya yang menginjak usia senja.

"Paman Don!" Balas Shania segera berlari ke arahnya.

Semua orang di sekitar hanya saling memandang satu sama lain melihat pertemuan ini.

"Mama memberi pesan untuk mencarimu disini jika berhasil kabur dari pelabuhan dan mencapai kota," Jelas remaja perempuan itu mulai melepaskan pelukannya.

Ternyata ketika ia hendak ditangkap oleh anak buah Lena, mamanya sempat memberinya secarik kertas yang menjadi motivasinya untuk kabur. Dan memang benar bahwa paman Don masih bekerja di pom bensin ini sehingga ia dapat menemukannya.

"Apakah ini teman-temanmu?" Tanya pamannya penasaran.

"Iya mereka adalah teman-temanku semua, perempuan yang berdiri disana adalah temanku untuk kabur dari kapal di tengah laut, namanya Alia." Jawabnya memperkenalkan Alia.

"Tunggu dulu, sepertinya aku tidak asing dengan mukamu Alia. Ahh, kau adalah buronan polisi sekarang dan aku sering melihatmu masuk di berita ataupun di brosur-brosur pinggir jalan." Ungkap pamanya terkekeh.

"Sudah pasti itu ulah Lena bukan?" Tambahnya seakan-akan sudah tahu betul tentang perusahaan keluarga Lena.

"Ehmm, aku tidak tau paman tapi memang aku melakukannya." Jawabnya dengan muka merasa bersalah bahkan ia tidak berani menatap lawan bicaranya.

Tubuh sedikit buncit itu berjalan mendekat ke Alia, kedua tangan paman Don memegang pundak guna memberinya semangat, "Kau melakukan hal yang tepat Alia dan janganlah kau merasa bersalah, kau tidak mungkin melakukannya jika tidak sedang berada dalam ancaman." Seketika Alia mengangkat kepalanya mengucapkan kata terima kasih kepada paman Shania.

"Sebentar." Ujarnya memandang lamat-lamat wajah tirus Alia.

"Ada yang aneh dengan matamu," tambahnya dengan suara lirih sehingga hanya mereka berdua yang mendengar suara itu, ia juga semakin mendekat ke wajah Alia.

"Jangan-jangan kau mengidap-"

"Paman Don, sepertinya teman-temanku sudah lelah. Bisakah kita langsung ke rumahmu?" Desak Shania memotong perkataan pamannya kepada Alia.

"Oh maafkan aku, temanmu ini terlihat sangat menarik," jawabnya segera menjauh dari Alia.

Paman Don segera berjalan menuju mobil hitamnya yang terparkir tepat di depan kantor pom bensin itu, ia adalah seorang direktur disana dan tentu memiliki kekayaan yang terbilang cukup banyak. Mama Shania sudah berpesan kepadanya untuk mengunjungi pamannya yang bekerja di pom bensin ini, jika ia berhasil kabur dari pelabuhan milik LenCorp.

Shania sendiri sebenarnya sudah beberapa kali pergi mengunjungi pamannya disini, jauh-jauh dari ibukota menuju sebuah kota di pulau lain. Terlihat dari ketenangan yang dimiliki pamannya, tentu ia juga sudah mengetahui banyak hal tentang pemberontakan yang sudah direncanakan jauh-jauh ketika kakaknya yaitu ayah Shania masih belum menghilang.

"Paman!" Teriak ponakannya sebelum ia memimpin dalam perjalanan menuju rumahnya.

"Ibu menitipkan surat ini kepadamu," tambahnya memberikan secarik kertas yang entah ia sembunyikan dimana ketika ia ditangkap waktu itu.

Kertas putih itu sudah sedikit terkoyak dan mulai terlihat buram dengan tinta pulpen hitam diatasnya, mungkin karena Shania menyimpannya di tempat lembab sehingga berpengaruh ke kertas itu sendiri.

Untuk adik iparku, Don.

Jika kau menerima surat ini, itu tandanya Shania selamat sekarang dan berhasil kabur dari penculikan. Aku merahasiakan banyak hal darinya, bahkan aku tidak memberitahunya jika Lena akan mengambilnya paksa suatu hari nanti. Surat ini kutulis ketika dia berusia 17 tahun tepat di malam dia berulang tahun untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada yang datang mengambilnya.

Jagalah dia seperti kau menjaga anakmu sendiri, jangan beritahu aku bahwa dia masih hidup jika misi belum tuntas. Jangan lupa juga untuk menceritakan semua tentang kakakmu, bang Mail. Aku mohon dengan sangat, jangan menutupi sepatah kata pun untuk menceritakan kebenaran tentangnya kepada Shania. Dia sekarang melanjutkan misi ayahnya dan berhak tau kenapa ia harus melanjutkannya.

Tertanda, adik iparmu.

Air mata tak dapat terbendung lagi, senyuman manisnya seketika menghilang ditelan derai tetesan air asin yang keluar dari mata tersebut. Ia berusaha tetap tegar tapi sudah terlanjur, segera badannya berbalik dan masuk ke dalam mobil hitamnya. Kertas itu pun dilipat dengan rapih dan ia masukkan ke saku celana lusuhnya itu.

Tinnn.

Tinn.

"Ayo ikuti aku sekarang, cepat!" Teriaknya setelah menyalakan mobil dan membuka jendelanya.

"O-oke paman siap," jawab Arsyi sambil berlari kecil bersiap-siap menyalakan mobil jeepnya.

Ketiga mobil itu terlihat beriringan di jalanan sepi, memang itu adalah jalan propinsi yang di malam hari hanya dilalui oleh truk mengangkut barang dan bus malam. Sebuah komposisi yang sangat tidak enak dipandang mata, sebuah mobil hitam elegan diikuti oleh dua mobil jeep dengan bekas lumpur di ban dan dinding catnya. Ditambah lagi mereka berjalan beriringan sehingga membuat orang yang lalu lalang akan kebingungan dan menerka-nerka itu siapa.

"Shan, lo emang udah deket banget ya sama paman lo itu?" Tanya Alia asal mengambil topik.

"Iya sih, jadi dulu gue sering aja maen kesini sebelum dia bener-bener jadi orang kaya." Jawabnya sambil memeluk lututnya dengan posisi terduduk di bak belakang jeep.

"Dan emang paman gue akrab banget sama ayah ibu gue, sampai setelah ayah gue hilang beberapa tahun lalu, akhirnya semua berubah deh." Tambahnya.

Raut sedih mulai terukir di wajah lesu milik Shania, tentu tidak terlihat karena awan sudah hadir di langit malam itu menemani kekasihnya, sang rembulan. Alia mungkin pernah berada di posisi temannya sekarang, dan lagi-lagi ia kembali teringat sosok adik tirinya dan sahabatnya Rani.

"Udah sih, gak perlu dipikirin Shan. Kan ada pepatah tuh yang berlalu biarlah berlalu, kek lo gak pernah disakitin doi aja." Hibur Alia menggoda Shania yang mulai merengek.

"Ihh, gue gak punya doi tau." Rengek Shania menampakkan wajahnya yang sebelumnya tenggelam di antara lutunya.

"Oh, jadi lo sadgirl ya selama ini?" Goda Alia mendesak temannya yang sudah kembali ceria.

"Gue dulu tuh dideketin banyak cowok ya, cuman gue cuek aja ditambah lagi gue kan tomboi." Ungkapnya menceritakan masa lalunya.

Percakapan renyah pun menemani mereka sepanjang perjalanan malam itu menuju rumah om Doni, sementara itu di sisi lain dari hutan terlihat Joseph yang memaki habis semua anak buahnya. Mobilnya yang tidak bisa bergerak akhirnya ia ledakkan dengan beberapa peledak supaya jalan setapak itu dapat dilalui oleh mobil lain setelah mobil yang bocor itu terlempar.

"Bos! Coba lihat deh kesini!" Teriak salah satu anak buahnya yang iseng menyusuri jalan setapak sebelum menyingkirkan mobil depan.

"Apa lagi?!" Geramnya menghampiri anak buahnya. Tangannya sudah mengepal bersiap untuk melayangkan tinju kepada anak buahnya jika ia masih bermain-main disana.

"Ini yang membuat ban mobil bocor," Jelas anak buahnya sembari memungut dan menunjukkan bola duri yang sudah ditebar oleh Shania.

"AH SIAL!! Baiklah pasukan bersiap untuk keluar lewat jalur lain, kita kembali ke pelabuhan dulu." Tanpa ampun ia memberikan perintah ke anak buahnya yang tentu sudah mulai terlihat kelelahan setelah melakukan pengejaran tanpa membuahkan hasil.

Iring-iringan mobil preman pelabuhan terlihat ramai menyusuri pantai untuk kembali ke post mereka. Entah apakah Joseph akan melanjutkan pencariannya dini hari itu atau ia akan meneruskannya esok hari dengan catatan bahwa ia sudah kehilangan jejak para pemberontak.

Alia dan SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang