30. Kenangan

186 52 92
                                    

"Alia gak mau ma!"

"Dasar kamu anak durhaka!"

"Lihat tuh ada anak penjual tahu keliling!"

"Eh, anak klub malam mau lewat nih."

"Minggir dong ada pembunuh mau lewat nih."

"Alia, kamu apain Rani?"

Suara-suara itu tak kunjung menghilang dari kepala Alia, ditambah ia memiliki otak yang lebih peka sekarang. Sehingga perasaan bersalah terhadap kenangan-kenangan di masa lalunya tidak dapat ia tinggalkan begitu saja.

Malam itu, kepulan asap di halaman rumah paman Don sudah menghilang. Jebakan-jebakan kejutan sudah tidak ada lagi di rumput sisi kanan ataupun di sisi kiri. Truk yang baru saja dikendarai Arsyi teronggok bisu disana meninggalkan dua pejuang di bak truk yang bingung hendak kemana lagi.

"A-Arsyi!" Ucap Zidny terbata-bata.

"Zid, lo bisa kok. Tenang aja ya, bentar lagi temen-temen kita dateng kesini kok." Ucap Arsyi kembali menenangkannya.

Wajah lusuh itu mengingatkannya kepada sosok pacarnya dahulu yang juga mati tertembak tepat di hadapannya. Tentu ia tidak ingin menjadikan ini kali keduanya untuk mengulang kenangan buruk tersebut, meskipun status lelaki di hadapannya hanyalah seorang teman.

"G-gue udah lihat kok, a-ada yang mau je-jemput gu-gue," ucap Zidny kembali dengan terbatuk-batuk.

Air mata pun tak dapat terbendung lagi, wanita cuek dan dingin seperti Arsyi mulai terisak terbawa suasana.

"Enggak kok, tenang aja bentar lagi ada yang nyelametin kita disini." Hibur Arsyi menahan tangis, berusaha tabah.

Mata itu semakin berkaca-kaca didahului dengan beberapa tetes air mengalir di kedua pipinya, tangannya mengenggam temannya dengan semakin erat berharap keajaiban akan datang kepada mereka.

Zidny yang terkulai lemas hanya mengeluarkan senyuman tipis, setipis benang layangan. Sorot mata sayunya menatap kedua mata Arsyi yang sudah banjir, walaupun berusaha untuk ditahan.

"Te-tenang aja kok, gue ma-masih inget de-dengan apa yang ki-kita lakuin bersama." Terdengar sangat lirih, bahkan sudah samar-samar. Ditambah derap langkah pasukan Joseph sudah semakin terdengar jelas mengarah ke bak truk yang menjadi titik buta para pemberontak sehingga mereka tidak bisa menembakinya.

"Sa-salam ya ke Pablo, bi-bilang ma-af kalo kemarin udah ngajak ri-ribut," ucapnya terbata-bata di daun telinga Arsyi yang mendekat ke wajah Zidny lantaran ingin mendengar temannya berbicara.

"Ja-jaga diri lo!."

Tangis pun pecah, lelaki itu sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Arsyi hanya dapat memeluknya dengan erat mengucapkan kata supaya Zidny tidak pergi meninggalkannya dan teman-temannya.

Tubuh kaku tetap dingin walaupun menerima pelukan hangat dari seseorang yang kehilangan temannya. Tampaknya wanita itu sudah muak, ia tenggelam dalam pelukan mayat temannya sambil terisak.

"AAAHHHHH!" Teriaknya lantang menengadah ke langit, sang rembulan hanya melihatnya dengan senyum kebingungan sambil berdecih "Begitulah kehidupan."

Suaranya tentu mengundang rasa penasaran para anak buah Joseph yang seketika menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah bak truk dari belakang.

Dor.dor.dor.dor.dor.

Entah apa yang membuat Arsyi menembaki pasukan Joseph yang masih dalam bentuk formasi bertahan, peluruhnya dimuntahkan oleh tameng kokoh tidak menggores sedikitpun orang-orang yang berlindung dibaliknya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Alia dan SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang