13. Teman Ayah

414 225 31
                                    

Satu lagi hari yang melelahkan bagi Alia termasuk teman-temannya, tetapi itu harga yang pantas untuk mendapatkan kebebasan mereka kembali. Panas terik mentari mulai mereda seiring datangnya senja di sore hari, terlihat dua remaja perempuan tidak sadarkan diri di atas pasir sebuah pantai kecil.

Huff... Huff... Huff...

Suara tarikan nafas Shania terdengar begitu berat, beruntung ombak di dekat sana sedang besar-besarnya sehingga ia sangat terbantu untuk kembali ke daratan ditambah harus membawa Alia yang sedari tadi pingsan tak sadarkan diri. Suasana senja di pantai terlihat begitu indah sekaligus menyeramkan karena mereka tidak tahu apa yang akan menanti di malam hari jika masih belum menemukan tempat aman.

"Aliaa...Aliaa!" Teriak Shania dengan tenaga yang tersisa, tangannya memeriksa denyut nadi di lehernya sambil memberikan nafas buatan dan memompa keluar air yang masuk ke perutnya.

"Aliaa... buka mata lo dong, gue kesepian disini," tambahnya.

Dan memang keajaiban masih berada di pihak mereka, tepat ketika bola raksasa tenggelam dengan sempurna di sisi barat. Datanglah tiga orang dewasa karena mendengar suara serak Shania, "Nak, apa yang barusan terjadi?" Tanya salah seorang sambil membawa obor.

"Maaf paman, tolonglah kami, kami tidak tahu arah," pinta Shania memohon kepada mereka.

Sebelum mereka bertiga mendekat, Shania sudah jatuh lunglai tak sadarkan diri di atas hamparan pasir pantai.

**

Cahaya mentari menerobos masuk melewati celah di antara jendela sebuah kamar, terlihat Shania mulai mengerjap-ngerjapkan mata pertanda bahwa ia sudah mulai siuman. Seketika ia merasa kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi, "Dimana Aku? Kenapa aku disini ya?, batinnya lirih mempertanyakan keberadaannya.

Ahhh

Terlihat dua orang dengan seragam serba hitam memasuki kamar itu sambil menodongkan pistol karena waswas akan suara yang ditimbulkan oleh Shania.

"Apa yang terjadi?!" Tanya salah seorang bertubuh kurus dan tinggi itu.

"Ehh... maaf aku hanya mencubit tanganku, kukira ini mimpi." Kekeh Shania merasa malu dengan mereka berdua. Belum sempat mereka berdua menurunkan senjatanya, datanglah seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun memasuki kamar itu.

"Wahh, kau rupanya sudah siuman," ucapnya dengan sedikit senyuman sambil mendekati Shania yang berada di atas kasur. Namanya Pablo, seseorang yang mengaku sebagai pemimpin dari kelompok pemberontak disana. Badannya gagah gempita dengan otot besar di tangan dan kaki layaknya pegulat profesional yang sudah siap bertarung. Rambutnya hitam legam dengan potongan rapih sehingga ia terlihat lebih tampan.

"Apa yang terjadi denganmu dan temanmu?" Tanyanya mengambil kursi kayu dan segera duduk di samping kasur Shania.

"Kami diculik oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh Lena," jawabnya singkat berusaha untuk duduk di atas kasur.

"Sudah kuduga!" Teriak Pablo geram meninju tembok kayu yang membuatnya sedikit bergetar.

"Kenapa?"

Dengan panjang lebar Pablo pun menjelaskan kepada Shania sedikit tentang perusahaan turun temurun milik keluarga Lena yang biasa disebut LeCorp atau Lena Coorporation. Mereka adalah sekelompok pemberontak dari berbagai macam background pekerjaan, bahkan ia sendiri merupakan mantan tentara yang memutuskan untuk berhenti. Sudah dua tahun semenjak mereka mengawasi wilayah itu guna menyabotase pelabuhan yang terletak tak jauh dari sana, tujuan mereka tidak lain adalah menumbangkan perusahaan besar itu.

Tidak lupa Pablo juga menjelaskan siapa dirinya di masa lalu sampai Shania memotong percakapannya, "Sebentar, siapa nama jendralmu dulu paman?" Tanyanya mengernyitkan dahi setelah mendengar nama yang tak asing lagi di telinganya.

"Nama jendralku?" Tanya lelaki itu sedikit ragu.

"Jendralku dulu adalah Ismail... Nur Ismail nama panjangnya, sekarang ia sudah tidak ada karena menghilang setelah diculik oleh kelompok bandit sewaan pemerintah." Lanjutnya berbagi kisah dengan Shania.

"Sudah cukup paman, aku mengenalnya." Celetuk Shania sambil meremas selimut di pangkuannya.

"Aku mengenal siapa orang itu dan segala hal yang berkaitan dengannya," tambahnya.

"Apa?!" Sontak Alif yang tadi hanya menyimak percakapan mereka berdua kaget.

"Dia adalah ayahku," ucap Shania singkat segera meneteskan air mata.

Pablo yang sedari tadi terlihat gagah segera terdiam termangu dalam lamunannya, ia seakan tidak percaya bahwa salah satu orang yang berjasa besar dalam operasi pemberontakan ini memiliki anak yang tidak sengaja ia temukan sekarang.

"Jadi aku tidak perlu menjelaskan lagi siapa kami, karena dirimu sendiri sudah tahu siapa yang jahat dan siapa yang baik." Ujar ketua segera meninggalkan tempat itu bersama dua orang lainnya untuk memberikan ruang bagi Shania.

Tangisnya tak terbendung lagi, meskipun ia sangat kuat secara fisik tetapi tetap saja ia memiliki hati seorang perempuan yang mudah rapuh. Ia baru menyadari bahwa ternyata komplotan Lena lah yang membuat ayahnya menghilang, hasrat ingin membalaskan dendam semakin jelas terlihat dari wajahnya yang bersungut-sungut.

Uhuukkk, Uhukkk, Uhukkk.

"Alia." Ujarnya lirih memanggil nama itu.

Ia segera bergegas turun dari ranjang menghampiri teman yang baru saja ia kenal beberapa hari lalu, "Alia... kamu pasti bisa bangun kok," batinnya sambil menggenggam tangan Alia tak lupa segera mengusap air mata di pipi.

Alia yang terlihat siuman segera terduduk dan menanyakan keberadaannya kepada Shania, tanpa menjawab sepatah kata pun remaja berambut coklat itu segera memeluk Alia erat-erat takut akan kehilangannya. Sesaat Alia menjadi teringat kepada Rani, sahabatnya yang dulu selalu menemaninya di suka maupun duka.

**

Sudah dua hari berlalu mereka hidup disana dengan kelompok pemberontak yang ingin menghancurkan LeCorp, perusahaan milik keluarga Lena. Beruntung mereka bukanlah perempuan satu-satunya disana, masih ada bibi Ani dan bibi Anggun yang merupakan kerabat paman Pablo. Setiap hari mereka berdualah yang memasak dan menyiapkan masakan untuk kelompok yang berjumlah 5 orang lelaki ini ditambah 4 orang wanita lainnya termasuk Shania dan Alia.

Tetapi Alia masih belum sepenuhnya pulih dari keadaannya apalagi setelah kepalanya terbentur sampan kemudian tenggelam. Terkadang ia sering menggigau ketika tidur dan berbicara hal-hal yang Shania sendiri tidak pahami, tetapi di waktu lain ia menjadi sesosok yang super jenius dan sangat teliti dari sebelumnya. Ia juga seringkali merasa cemas dan bergetar hebat secara tiba-tiba.

Mereka hanya bisa menenagkannya karena memang tidak mungkin untuk membawanya ke kota berobat di psikiater. Sedangkan Shania, ia sudah mulai beradaptasi dan menyatakan diri untuk bergabung dengan kelompok pimpinan Pablo guna membalas dendam atas ayahnya.

**

Malam itu terlihat salah seorang anggota geng mengendarai motor dengan tergesa-gesa setelah pulang dari kota guna membeli beras sejumlah empat karung. Pablo yang melihatnya ganjil segera menghampirinya dan menanyakan perihal apa yang terjadi kepadanya, "Kenapa Zid?" Tanyanya singkat.

"Bos, coba lihat deh brosur ini!" Jawabnya segera turun sambil menjatuhkan motornya.

Tanpa lama-lama memandang selebaran kertas di tangannya, lelaki itu bergegas menuju tempat Shania dan Alia. Memang disana ada beberapa rumah dari kayu melingkari api unggun di tengahnya yang selalu nyala sepanjang malam, sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai mereka berdua yang tentu sudah terlelap.

Krekkk

Pintu terbuka dengan mudah karena tidak dikunci setelah daun pintu digerakkan dengan sedikit tenaga. "Shania! Shania!" Bisik Pablo tidak ingin membangunkan Alia yang terlelap.

"A-apa bos?" Tanyanya kepada bos berusaha untuk duduk di atas kasur.

Ia segera melihat kertas yang disodorkan oleh bosnya tersebut di bawah terpaan cahaya rembulan malam yang menyelinap melalui celah jendela. Samar-samar tetapi ia dapat membaca dan melihat dengan seksama, tetapi matanya terbelalak karena kaget.

"Jadi selama ini..."

Alia dan SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang