27. Pesta

236 111 103
                                    

Di bawah gemerlap bintang-bintang kecil yang berkelip, terlihat keramaian yang tidak biasa di malam itu, tepatnya di rumah paman Don yang biasanya tenang dan damai. Sebuah pesta kecil-kecilan mereka adakan di halaman rumah mewah itu, grill atau panggangan sudah berjajar rapih disana. Beberapa dari mereka sibuk memotong kecil-kecil daging untuk acara bakar-bakar, sedangkan yang lain menari-nari riang sambil menyalakan musik kencang.

"Ayo nikmatilah malam ini selagi bisa." Teriak Pablo kencang-kencang sambil memegang segelas jus jeruk.

Memang sengaja mereka tidak berpesta dengan bir ataupun alkohol, mengingat pesan seorang pemuka agama yang berkata kepada Pablo di masa mudanya. Tentu ia bukanlah seorang yang religius, tetapi ia tidak akan mengotori tubuhnya dengan berbagai hal yang sudah dilarang menurut kepercayaan keluarganya.

Lampu warna-warna bersinar terang mengalahkan cahaya sang rembulan yang juga redup tertutup oleh sahabatnya, awan. Lantunan sorak-sorai juga terdengar menggaung memekakkan telinga tentunya, untung saja Alia memakai alat pembantu pendengaran jika tidak ia mungkin sudah mendengarkan suara jangkrik di ujung taman.

"Semuanya!! Bersulang untuk kesuksesan misi kitaa!" Teriak paman Don seakan-akan menjadi bagian dari mereka menggantikan ayah Shania.

"URA!! URA!! URA!!" Balas mereka serentak.

Terlihat Rafa disana juga bergabung dengan mereka, walaupun luka di kepalanya masih terbalut sempurna dengan perban putih. Remaja itu seperti anak hilang yang kebingungan sedang berada dimana, ia menoleh ke kanan dan ke kiri tetapi hanya mengenal sosok Valentina saja.

"Ayo kemarilah Rafa!" Teriak Tegar yang asyik menggoyangkan perut gendutnya itu.

Ia hanya kikuk menerima tawaran itu dan berusaha untuk ikut-ikutan bergoyang diiringi dengan musik.

"Bagaimana kepalamu?!" Teriak Tegar dalam kebisingan musik yang memekakkan telinga.

"Apa paman?!" Tanyanya sopan ingin mendengar pengulangan.

"Kepalamu apa kabar?!" Ulang Tegar sambil memberi isyarat dengan memegangi kepalanya.

Mereka berdua berbincang-bincang singkat sambil menari dengan beberapa orang lainnya, tidak mempedulikan sekumpulan orang yang sedang asyik bakar-bakar ayam di sisi lain halaman rumah.

"Apa kau mengenal Alia?" Pertanyaan itu tiba-tiba muncul saja dari kepala Tegar, sontak membuat Rafa sejenak berfikir.

"Maksudmu Val? Valentina itu?" Tanya remaja itu ragu.

"Coba lihatlah ke arah sana! Remaja seumuranmu yang sedang membakar ayam itu bernama Alia." Ucap Tegar sambil merangkul pundak Rafa dan menunjukkan siapa itu Alia.

Pemuda bertubuh lumayan tinggi dengan kulit putih, ditambah mata coklat dan rambut yang berantakan itu terpanah dengan sosok yang dilihatnya. "Cantik dan anggun," batinnya tidak mempedulikan Tegar yang terlihat meneriaki telinganya sedari tadi.

"-Fa, kau dengar aku?" Terdengar suara Tegar di telinga runcingnya. Entah kemana perginya pikirannya dalam beberapa detik yang lalu, "Maaf paman, aku tidak fokus." Ucapnya meminta maaf.

"Heyy, kau suka dia rupanya?" Goda Tegar merangkul teman barunya itu.

"Ti-tidak paman, aku barusan hanya melamun saja." Jawabnya sedikit kikuk dengan wajah yang jelas terlihat memerah. Memang ia memliki sifat pemalu dan kikuk, apalagi jika harus berurusan dengan perempuan sekalipun.

**

Sementara itu, beberapa jam yang lalu di pelabuhan

Ubukubukubukubuk.

Terlihat sebuah helikopter berwarna gelap mendekat di pelabuhan tepat sebelum matahari mulai tenggelam, mungkin pilotnya dulu pernah menjadi anak senja sehingga ketika mengirim barang datangnya ketika senja. Anak buah Joseph yang sedari tadi bersiap-siap sudah berada di mobil masing-masing.

Terhitung disana terparkir enam mobil dengan masing-masing lima orang penumpang, mungkin jumlah 30 sudah termasuk banyak untuk melumpuhkan pemberontak yang hanya berjumlah sepertiga pasukan mereka.

"Terus... terus... maju... maju dikit lagi, turun dikit lagi." Terdengar seorang tukang parkir helikopter di landasan dengan huruf H itu. Ia terlihat santai mengenakan tongkat dengan bendera kecil dan tentu dengan headset untuk menutup telinga supaya tidak rusak karena suara baling-baling helikopter.

"Cepat segera bawa paketnya ke mobil!" Perintah Joseph dengan senyuman jahatnya.

Tubuh besar seperti monster itu segera menaiki mobil yang terparkir paling depan, dilengkapi dengan senapan mesin di atasnya. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada sekutunya yang mengirimkan paket dalam sebuah kotak hitam berukuran koper mini tersebut. "Aku akan membuatmu lupa dengan ingatan pemberontakanmu." Batinnya memasuki mobil.

"Cepat jalan! Lihatlah di GPS! Lokasi musuh kita sudah diketahui." Gelak tawanya terdengar angkuh membuat anak buahnya menjadi semakin yakin menjalankan misi penyergapan itu.

Iring-iringan mobil terlihat seperti konvoi tentara, apalagi mobil mereka berwarna hijau-hijau lumut. Mobil-mobil di jalan raya pun segera memberikan jalan supaya mereka lewat, takut jika ditabrak. Lampu jalanan sudah menyala terang menemani perjalanan mereka menuju sebuah tempat di kota.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi mobil-mobil Humvee itu mencapai titik yang ditujukan oleh GPS kiriman Rendy. Mereka memilih untuk memarkirkan kendaraan di sebuah lapangan dekat dengan rumah paman yang memang sangat jarang ditemukan rumah penduduk di daerah itu.

"Berikan aku kotak paket itu!" Ucap Joseph kepada salah satu anak buah yang berada dekat dengan benda tersebut.

Tangan berototnya segera menerima paket yang dilemparkan tepat ke arahnya, lalu dengan sedikit sentuhan untuk memutar kode ia berhasil membuat kotak itu terbuka. "Inilah yang aku butuhkan, tidak perlu untuk membuat mereka terbunuh cukup dengan membuat mereka melupakan ingatan." Gelak tawanya terdengar setelah bergumam memandangi isi paket.

Dua bom asap yang berisi virus buatan hasil laboratorium LenCorp sudah berada dalam genggamannya sekarang. Setiap dari anggotanya juga sudah bersiap mengenakan masker khusus supaya tidak terkena efek dari virus yang dicampur di asap itu.

"Kalian sudah siap?" Tanyanya kepada anak buahnya.

"SIAP!!" Jawab mereka serempak.

"Mari kita mulai pestanya!" Serunya segera berjalan memimpin anak buahnya.

Mereka terlihat seperti sekumpulan tentara terlatih, terlihat dari cara baris-berbaris mereka hingga seragam hijau ala tentara. Jalanan lenggang dan gelap membuat mereka mudah untuk menyusup, apalagi cahaya rembulan sedang tertutup oleh sahabatnya, awan. "Dasar awan menyebalkan, membuat malamku semakin gelap" Batin sang bulan kepada sahabatnya.

Suara musik terdengar kencang dari jalanan, membuat langkah 30 orang itu tersamarkan dengan rapih. Tangan Joseph sudah memberikan isyarat untuk berhenti, kemudian ia segera mengeluarkan dua buah granat asap yang sudah siap dilemparkan. Tapi ia mengurungkan niatnya setelah mengetahui jika rumah paman Don memiliki pagar tinggi dan halaman yang luas.

"Pagar sialan! Halaman sialan! Rumah sialan!" Ucapnya memberikan sumpah serapah kepada benda-benda yang menghambat misinya.

"Segera bersiap di tempat kalian, karena kita harus masuk ke dalam melewati pagar ini." Tegasnya memberi isyarat kepada beberapa orang untuk memasang peledak kecil guna menghancurkan pagar megah itu.

Ia membayangkan seberapa besar volume suara yang dikeluarkan oleh salon yang memutar musik disana, bahkan dari kejauhan saja sudah terdengar sangat berisik dan mengganggu. Beruntung paman Don tidak memiliki tetangga, sehingga tidak perlu repot-repot mengurusi kerumunan orang yang meminta untuk tidak menganggu malam mereka dengan musik berisik sialan itu.

"Bos sudah siap." 

Duarr.

Pagar hitam kuat dan megah itu pun segera terpelanting berpisah dari sahabatnya yaitu tanah. Sebuah penyergapan yang sangat tiba-tiba, bahkan para pemberontak saja tidak mengetahui akan hal ini. Mereka terlalu terlena dengan kondisi serba enak mereka sekarang.

"Cepat masuk! Kepung mereka dan tembak jika ada yang bergerak!" Teriaknya lantang mengalahkan suara musik di pesta.

Alia dan SemestanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang