15.💮

840 58 13
                                    

Hari ini malam minggu sedangkan keluarga Nino adem ayem saja, tidak ada suara keras yang biasanya Tia mainkan di ruang karaokenya. Begitupun dengan Zelin yang entah di mana batang hidungnya.

"Nona muda di teras atas, nyonya." Ucap pembantu yang lumayan lebih muda dari Tia.

Tia yang semula akan mengecek kamar Zelin di urungkan saat mendengar suara yang menunjukkan keberadaan putri kecilnya. "Sendiri?"

Pembantu itu mengangguk keras sambil memberi senyum sopan. "Iya,"

"Oh yasudah, saya mau susul dia dulu. Trus kamu kenapa malam malam di rumah?" Tanya Tia melayangkan tatapan bingung.

"Saya pengen makan buah sama cemilan, nyonya. Di belakang cuma di isi sayur mayur dari bi Tutik," jelasnya meringis malu.

Tia mengangguk mengerti. "Di belakang cuma satu ya kulkasnya?"

Lagi lagi pembantu itu mengangguk. "Iya. Nyonya mau belikan lagi?"

"Mau? Yaudah besok saya kasih uang buat belinya trus kamu isi sesuka kamu tapi ingat bagi sama yang lain juga," ucap Tia, inilah yang membuat para pembantu di sini betah.

Punya tuan yang tidak neko neko, tidak pernah marah saat ada yang mengambil makanan atau cemilan di kulkas. Tia cukup memanjakan mereka, mangkanya tidak heran jika kadang rasa canggung mereka hilang.

"Wah..., terima kasih, nyonya. Tapi kenapa ngak pakek uang belanjaan saja? Bukannya itu lebih dari cukup?"

"Lemari saya yang ngak cukup," bisik Tia membuat orang di hadapannya terkekeh.

"Kebiasaan nyonya naruh uang di lemari, nanti kalau di curi bagaimana?"

"Kalau di curi ya sudah, ngak masalah berat bagi saya. Yang penting berani tanggung resikonya, sudah saya mau nyusul Zelin dulu nanti ngak selesai selesai saya bicara sama kamu,"

"Hahaha baiklah, nyonya. Monggo,"

Tia berjalan melewati pembantu itu, karena letak tangga menuju balkom atas berada di samping dapur. Ini karena Tia ingin jika melakukan kegiatan di atas bisa mudah mengambil makanan atau apapun di dapur.

Tia melihat anak gadisnya sedang duduk di sofa besar yang di atasnya ada atap untuk melindungi dari panasnya matahari dan hujan. Di sampingnya ada gelas berisi kopi susu yang di campur dengan es batu.

Senyumnya terukir melihat anak yang telah di besarkannya ini. Tia selalu berdoa agar Zelin di ampuni dosanya karena sering beradu mulut dengannya.

Kalau boleh jujur Tia tidak pernah marah atau tersinggung dengan perkataan pedas dari Zelin. Bukan bearti mati rasa tapi kesan anak lebih dekat dengan ibu itu berbeda beda.

Tia duduk di samping Zelin yang ternyata sibuk nonton BL, Tia mendengus lelah karena Zelin mengulangi larangannya.

"Sudah Bunda beritahu jangan suka nonton homo sayang, nanti kamu jadi belok gimana?"

"Ish Bunda mentang mentang aku lihat drama di Thailand semua di sangkut pautkan sama BL. Tadi bilang kalau aku homo gimana? Ya ngak mungkinlah,"

"Kenapa ngak mungkin? Kamu saja selama ini jomblo dari lahir bahkan Bunda ngak pernah tau tuh kamu cerita tentang cowok ke Bunda,"

Zelin mendengus mendengar Tia seperti memojokkannya. "Intinya aku ngak bakal belok."

"Oh yasudah kalau begitu buktiin kalau kamu ngak belok,"

"Mak plis jangan paksa aku buat cari cowok, sumpah males banget," gerutunya merosotkan bahu kecilnya.

"Siapa bilang Bunda nyuruh kamu buat cari cowok,"

ZELIN untuk ARDAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang