31.💮

667 48 8
                                    

Sejak bangun, Zelin menjadi pendiam itulah yang di rasakan Ardan saat ini. Gadis itu bahkan enggan menjawab jika tidak sebegitu penting.


Ardan menatap Zelin yang sedang mengisir rambutnya di depan kaca rias dengan intes. Ardan tau jika Zelin menyadari tindakannya, namun sekali lagi Zelin hanya bersikap tak acuh.

Zelin meletakkan sisir itu kemudian mengambil tas hijau miliknya, namun tiba-tiba dirampas pelan oleh Ardan.

"Maaf, maafkan perkataan ku kemarin malam. Kamu boleh menghukum ku tapi tolong jangan mendiamkan ku seperti ini," ucap Ardan memelas air mukanya.

"Aku tidak marah, aku hanya malas berbicara," balas Zelin menepis tangan Ardan, akan melangkah namun Ardan malah memeluknya dari belakang.

"Zelin ku tidak pernah malas berbicara, jangan coba coba membohongi ku. Zelin ku adalah gadis yang ceria dan suka berbicara, jika Zelin ku diam pasti ada sesuatunya," ungkap Ardan menyembunyikan wajahnya dicengkuk leher Zelin.

"Sudah aku bilang, aku hanya malas berbicara dan tolong lepaskan. Aku harus segera berangkat sekolah," pinta Zelin tidak menepis tangan Ardan melainkan mengubah suaranya menjadi datar.

"Aku anter," ucap Ardan mendongakkan kepalanya menatap wajah datar Zelin dari samping.

"Hm," gumannya. Sebenarnya Zelin ingin menolak tapi mengingat perkataan Ardan kemarin di rumahnya membuatnya tidak bisa menolak.

"Mau naik montor atau mobil?" Tanya Ardan.

"Terserah."

"Pakek mobil aja ya biar ngak kepanasan," ucap Ardan memberitahu.

"Ngak usah, pakek montor aja," tolak Zelin segera mengambil tasnya dan meninggalkan Ardan yang menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

Zelin turun ke bawah atau lebih tepatnya meja makan, tersenyum hangat kepada kedua mertuanya. Tidak mungkin ia memasang wajah merengut.

"Pagi, Papa dan Mama," sapa Zelin duduk di samping Dona.

"Pagi juga sayang," jawab keduanya.

"Mama, berasa punya anak gadis ya," ucap Dona terkekeh melihat seragam yang dikenakan Zelin.

"Oh iya, kamu mau sarapan apa? Nasi goreng atau sama roti?" Tanya Dona pada Zelin.

"Roti aja, Ma." Zelin mengambil satu lembar roti lalu menetuknya sebelum dimakan, ini dilakukan agar Zelin tidak repot melepaskan pinggiran roti.

"Ngak pakek selai?"

Zelin menggeleng, "udwa kebwiasan mawan hwambal,"

"Diteleh dulu sayang kalau mau ngomong," tegur Dona.

Zelin mengangguk, "Mama, aku ngak makan pinggirannya ya? Aku ngak suka,"

Dona akan menyetujui Zelin namun didahului oleh kedatangan Ardan yang mengambil makanan Zelin sisa pinggiran roti itu. "Buat aku aja,"

Dona hanya tersenyum melihat kelakuan putra semata mayangnya. Selanjutnya Zelin memakan bagian tengah dan Ardan makan sisanya, yang diulangi sebanyak tiga kali.

"Aku berangkat dulu, Ma, Pa," pamit Zelin menyalimi tangan keduanya.

"Naik apa?" Tanya Dino.

"Dianter suami nyalah," jawab Ardan tersenyum bangga.

"Kamu ngak sarapan lebih banyak lagi?" Tanya Dona mengingat Ardan tidak cukup dalam sarapannya.

"Nanti aja, Ma. Setelah nganter Zelin, aku balik lagi kok, ngak langsung kerja," jawab Ardan membuat Dona mengangguk mengerti.

ZELIN untuk ARDAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang