Matahari yang sangat terik telah berpindah ke barat untuk mengurangi cahayanya. Walau begitu masih dikatakan terik saat waktu menunjukkan pukul empat Sore.
Dimana banyak anak SMA pulang dari sekolah. Hal ini sama dengan gadis cantik yang baru saja masuk ke dalam rumah megah di komplek elit.
Kaki tidak terlalu jenjang itu berhenti di dekat pintu. Mata bulat jernih itu menyipit saat menemukan orang yang telah melahirkan kedunia ini. "Umma aku pulang!" Teriaknya berlari kecil ke arah wanita paruh baya itu.
"Kebiasaan banget sih kalau pulang suka teriak teriak. Untung rumah kita punya halaman luas jadi tetangga ngak ke ganggu sama suara cempreng kamu," omel Tia, ibu dari gadis itu.
"Hehehe, Umma jangan marah nanti wajahnya tambah mengerut loh," ucapnya menarik pipi Tia kebelakang agar tidak mudah kendor.
"Ya habiskan kamu suka bikin emosi sih!" Zeline Zakeisha A. yang biasa dipanggil Zelin itu terkekeh.
Memutari sofa panjang itu lalu merebahkan tubuhnya pada bantalan Tia. "Umma aku capek banget sekolah tapi kalau ngak sekolah juga ngapain," keluh Zelin menatap Tia yang sibuk mengelus kepala Zelin.
"Nikmati aja Lin. Bentar lagi juga kamu lulus," ucap Tia membuat Zelin mendengus. "Masih lama Umma, kurang lebih satu tahun itu lama. Kayak nunggu balesan chat dari doi,"
"Memangnya kamu punya doi? Kok nunggu balesan darinya? Kalau bener kamu punya, bakal Bunda paksa kamu nikah sama pilihan Bunda. Ngak peduli kamu nolak atau kamu nangis sekejer mungkin," jelas Tia menatap garang Zelin.
Tia memiliki dua anak yang pertama laki laki bernama Beni sedangkan kedua perempuan, si Zelin. Tia sering dipanggil Bunda hanya saja Zelin selalu mengganti panggilan seperti Umma, Ibu, Bunda, Mama, Mami, Mimi dan masih banyak lagi yang sesuai moodnya saja.
"Ih Momy kok gitu sih?" Kesal Zelin mengerucutkan bibir yang sedikit tebal itu. Hingga tangan Tia reflek mencubitnya. "Awh sakit Mamak!"
"Mangkanya jangan berani punya doi. Kayak kakak kamu gitu loh nurut sama Bunda, sampe sekarang nikah tetep nurut." Zelin mendengus kesal setiap dibandingkan dengan kakaknya Beni.
Beni itu seperti macan diluar tapi kucing di dalam. Beni begitu menghormati dan menyayangi kedua orang tuanya. Apapun bakal Beni lakukan jika diperintah, tidak pernah membantah seperti Zelin.
"Udah sana mandi trus makan. Bunda mau nonton dulu jangan diganggu," usir Tia mendorong pelan kepala Zelin agar segera mengangkatnya.
"Tadi masak apa?"
"Lihat aja sendiri."
"Ih Mama kok nyebelin banget sih!" Gerutu Zelin berjalan meninggalkan Tia sambil menghentakkan kakinya.
Zelin membuka pintu kamarnya yang berada disamping meja makan dengan kasar. Terlihat seperti kamar pembantu, nyatanya kamar pembantu terpisah oleh rumah utama. Rumah megah dengan interior Eropa itu tidak memiliki lantai dua hanya rooftop mewah saja.
Kamar nuasan putih dan biru muda adalah pilihan sendiri Zelin. Baginya warna itu sangat positif yang membuat Zelin suka. Tidak seperti kamar utama atau kamar orang tuanya yang bernuansa putih cream dan gold. Atau kamar lainnya nuansa putih dan coklat.
Zelin menaruh tas di belakang kursi lalu melepas sepatu dan kaos kaki yang akan diletakkan di samping pintu. Sebenarnya bukan tempatnya hanya saja karena Zelin bukan anak disiplin membuat Tia menaruh rak kecil disana.
"Mandi ngak ya? Tapi males." Gumannya melompat keranjang super mewahnya namun sayang mudah jebol karena Zelin sering main loncat loncatan. Makhlum orang kaya gabutnya kebangetan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELIN untuk ARDAN ✔
Fiksi UmumFOLLOW DULU BARU BACA!! "Zelin ngak mau nikah Mak!! Jangan paksa Zelin atau Zelin bakal loncat!!" Ancam Zelin memegang erat erat pinggiran pembatas rooftop. "Loncat aja kalau berani. Bunda juga bakal ringan bagi harta gono gini ngak perlu dibagi," k...