Zelin duduk di balkom dengan ditemani secangkir teh. Ia menatap malam yang dingin dengan tatapan nalar. Sesekali menggosok lengan atas tanda ia sedang kedinginan.
Sebuah tangan tiba-tiba melingkar dipinggang rampingnya, ia tidak terkejut lagi karena suaminya, Ardan. Memang suka sekali memeluk secara tiba-tiba.
Kepala disandarkan pada bahu Ardan sambil menutup matanya. Merasakan rasa lega di hatinya dengan menghembuskan nafas beberapa kali.
"Kenapa, hm? Kamu terlihat sangat lelah malah ini, padahal aku yang seharian bekerja," ucap Ardan mencuri kecupan di pipi kanan.
Seragam Ardan masih melekat ditubuhnya, tadi ingin mandi tapi melihat pintu balkom terbuka membuatnya melangkah mendekat.
"Maaf ya kalau aku sering ngeluh sama kakak, yang kerja yang selalu sibuk kakak tapi aku ngak ngapa-ngapain selalu ngeluh," sahut Zelin membalikkan tubuhnya sebelum memeluk tubuh Ardan.
Ardan tidak menanggapi ungkapan perasaan Zelin, ia lebih suka mengelus rambut wangi dari istrinya ini. Bermain kemudian digulung kecil.
"Kamu pasti lagi datang bulan ya? Mangkanya mood kamu berubah terus minggu ini? Trus kemarin Sore juga, aku sakit kram kayak biasanya," kata Ardan menumpukan pipi kirinya diatas kepala Zelin.
"Ya begitulah. Maafin aku juga ya, karena aku, kakak jadi sakit perut," sesalnya menghela nafas pelan.
"Ngapain minta maaf? Kamu ngak salah, sayang. Aku malah senang karena kamu ngak akan sakit perut saat datang bulan, aku ngak papa kok gantiinnya."
Begitu sabarnya Ardan rela sakit perut sebab kram datang bulan. Ardan tidak mau istrinya yang begitu dicintai sampai mati itu merasakan sakit, apalagi saat dihadapannya. Hatinya tak sekuat itu.
"Sekarang lebih baik kita masuk, trus kita jalan cari makan tapi aku mandi dulu," kata Ardan ingin menghibur Zelin dengan mengajaknya pergi.
"Mau beli pepaya juga," lirihnya mendongak dengan mata melas. Ardan gemas sendiri hingga mencubit pelan hidung Zelin.
"Apapun selagi dihabiskan, aku akan mengambulkannya, istriku yang manis." Ardan merangkul leher Zelin tetapi baru beberapa langkah berhenti.
"Kenapa?" Tanya Ardan. "Kalau gini 'Bro' kalau gini baru bener," Zelin membenarkan letak tangan Ardan yang harusnya ada dipinggangnya bukan lehernya.
"Hahaha..., kamu ini."
æ
"Mau beli makan dulu atau pepaya dulu?" Tanya Ardan sedikit menaikkan notasi suaranya, agar Zelin yang berada dibelakangnya mendengar.
"Ha!?"
"Mau beli makan dulu!?"
"Ha!?"
"Aksjsbsmsnsiwensksi!"
"Oh, beli pepaya dulu aja takut keburu tutup," jawab Zelin.
Ardan sedikit melongo mendengarnya, tadi ngomong sangat jelas malah 'Ha' doang tapi Ardan yang ngak tahu ngomong apa, malah jelas. Dasar wanita.
Ardan membelokan sepedah montornya ke kios buah. Zelin turun tanpa melepaskan helmnya. Mengadahkan tangan tanda minta uang.
"Pilih aja dulu, biar aku aja yang ngasih uangnya nanti," jawab Ardan diangguki kecil oleh Zelin.
"Buk, buah pepaya nya dua sama semangka setengah kilo sama melonnya juga setengah buah aja," kata Zelin pada penjual buah.
"Mbak khusus melon ngak bisa setengah, takutnya ngak ada yang beli setengahnya," ungkap penjual buah memberitahu jika buah Melon tidak bisa beli setengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELIN untuk ARDAN ✔
General FictionFOLLOW DULU BARU BACA!! "Zelin ngak mau nikah Mak!! Jangan paksa Zelin atau Zelin bakal loncat!!" Ancam Zelin memegang erat erat pinggiran pembatas rooftop. "Loncat aja kalau berani. Bunda juga bakal ringan bagi harta gono gini ngak perlu dibagi," k...