Atas bujuk rayu yang diberikan Ardan, istrinya mau menerima setiap suapan dari buah yang telah dibawakan.
Hingga hampir setengah buah besar habis dilahapnya. Ardan tersenyum manis melihat kulit pepaya yang letoy itu.
"Kamu sebegitu menyukainya?" Tanya Ardan menyendokkan kembali buah pepaya sebelum menyuapkannya.
"Hm," dehamnya membuka mulut dengan lebar, meminta agar Ardan segera memasukannya.
Hingga suapan terakhir, Zelin bersendawa keras lalu menepuk nepuk pelan perutnya yang terasa sangat kenyang. Bagaimana tidak keyang jika, buah pepaya itu berukuran satu kilogram dan Zelin memakan setengahnya.
"Mau minum?"
"Tidak, aku akan mual jika minum air sekarang," tolak Zelin bersandar diranjang.
"Apa kamu tidak merindukan sandaranmu ini?" Tanya Ardan menepuk dadanya.
"Aku masih kesal, kecewa, marah, benci, sedih sama kakak. Jangan coba coba menggodamu dengan tubuh kakak," ketus Zelin menutup matanya dan berusaha tidur walau posisinya salah.
"Tapi aku merindukan kamu bersandar disini, apa aku terlalu menyakitimu?"
"Jangan tanya jika kakak bisa melihat bagaimana sikapku pada mu, kak."
"Kemarin aku sudah menyuruhmu untuk tidak datang, kenapa masih kemari? Apa kakak ingin aku semakin marah kepadamu, kak?"
"Ti-tidak! Tentu saja aku tidak menginginkan hal itu, aku kemari karena aku khawatir denganmu. Apalagi aku tahu kamu belum makan sejak kemarin," jelasnya terlihat panik takut Zelin tersinggung.
"Apa pedulimu?"
Ardan menghela nafas lelah, ia tahu salah. Tapi sampai kapan Zelin akan memaafkannya?
Ketakutannya berbulan bulan telah terjadi, Zelin mengetahuinya dan tidak mau menerima pernyataan itu.
Apa yang harus Ardan lakukan hanya terus membujuk agar Zelin segera memaafkannya.
"Aku ngak papa kamu marah tapi sampai kapan? Apa kamu akan terus marah seperti ini?" Tanya Ardan pelan.
"Tentu saja, siapa suruh berbohong?"
"Jika saja aku tidak berbohong, apa kamu akan tetap menerima aku setelah tahu semuanya?"
"Tentu saja tidak,"
"Lalu aku harus bagaimana? Aku ingin cita citaku yang selama ini tercapai dan aku juga tidak mau kehilanganmu,"
"Dulu aku kira setelah berpisah beberapa tahun, aku bisa melupakanmu tapi sayangnya tidak," lanjutnya menunduk, ia bingung apa yang harus dilakukan, lagi.
"Sebenarnya aku tidak masalah dengan cita-cita kakak, hanya saja aku takut kakak pergi meninggalkan aku tiba tiba." Jujur Zelin memainkan kuku kukunya.
"Apa yang bisa aku lalukan jika hidupku sudah bergantung padamu, selama ini hampir seluruh waktuku, aku habiskan bersamamu. Apa yang aku lalukan jika kakak pergi meninggalkan aku?" Lanjutnya mengutarakan isi hatinya.
"Andaikan cita citamu tidak bersebrangan dengan kematian, aku bisa saja mengamakluminya. Aku melampangkan dadaku dengan tenang, jika seperti?"
"Takdir siapa yang akan tahu?"
Zelin masih menunduk, menahan genangan air di matanya. Ia tidak mau menangis sekarang. Sedangkan Ardan juga tetap diam.
"Aku tahu sikapku sangat menunjukan kelabilanku, tapi ini adalah isi hatiku yang takut ditinggal pergi."
"Aku mencintaimu tapi aku membenci cita citamu," lanjutnya.
"Kenapa tidak keduanya? Kenapa membenci cita citaku? Harusnya kamu bangga punya suami abdi negara?" Entah apa yang dipikirkan Ardan sampai mengucapkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELIN untuk ARDAN ✔
Fiksi UmumFOLLOW DULU BARU BACA!! "Zelin ngak mau nikah Mak!! Jangan paksa Zelin atau Zelin bakal loncat!!" Ancam Zelin memegang erat erat pinggiran pembatas rooftop. "Loncat aja kalau berani. Bunda juga bakal ringan bagi harta gono gini ngak perlu dibagi," k...