"Balik dulu ya," pamit Zelin pada si bos dan anak buahnya, menstater montor meticnya lalu pergi dengan kecepatan rendah. Bersenandu ria adalah kebiasaannya saat naik sepedah montor.
Sore ini sepertinya akan hujan, banyak awan hitam yang menyatu diatas langit. Bahkan rintihan kecil sudah turun membuat Zelin menaikkan kecepatan sepedah montornya.
"Aduh kok hujan sih." Gumannya berusaha fokus melihat jalan dengan tangan kiri ada diatas matanya agar tidak mengganggu penglihatannya.
Percuma saja Zelin menaikkan laju sepedah montor jika sampai rumah saja, seluruh tubuhnya basah kucup. Setelah memarkirkan sepedah montor, Zelin segera masuk lewat belakang agar tidak mengotori ruang tamu.
Setelah berada dikamarnya, ia langsung mandi agar tidak jatuh sakit atau sakit kepala. Merendam sebentar dengan air hangat agar tubuhnya ikut hangat.
Kurang lebih lima belas menit Zelin keluar dengan menggunakan handuk saja, karena tidak membawa baju ganti. Pergi ke walk on closet untuk mengambil baju yang menurutnya cocok penghangat tubuh.
Kemudian berbaring diatas ranjang dengan menaikkan selimut sebatas leher. "Huft dingin banget, padahal udah mandi air hangat tadi," gumannya melingkarkan tubuhnya, guna menghangatkan lagi.
Zelin berusaha tidur dengan mengelus dahinya lembut. Jika tidak begitu, ia akan tetap terjaga dengan kedinginan yang terus menyelimutinya.
æ
"Ben? Si Zelin kok belum balik ya?" Tanya Tia menutup majalah yang sudah habis dibaca dan dilihat. Padahal mah ngak beli sok sok'an baca majalah.
"Maaf nyonya, tadi saya lihat non Zelin udah pulang tapi lewat belakang," sahut sopan pembantu yang baru saja meletakkan panci nasi diatas meja makan.
"Oh gitu. Ben, tolong panggil adek mu," titah Tia menyendokkan nasi dan beberapa lauk untuk suami tercinta, namun Tia meletakkan dulu majalahnya ditempat semula.
Beni mengangguk patuh, duh anak idaman. Berjalan masuk kedalam kamar Zelin tanpa mengetuk. Bukan kebiasaan hanya saja Zelin selalu menyuruh agar langsung masuk saja. Khusus keluarga.
"Dek bangun," ucap lembut Beni mengelus rambut Zelin dan berpindah ke dahi. "Ya Allah kok panas banget?" Ucap terkejut Beni menatap khawatir Zelin.
"Bunda!!" Seru Beni membuat orang yang berada dimeja makan segera ke kamar Zelin. "Ada apa Ben? Kenapa berteriak seperti Zelin saja," ucap Tia sedikit kesal, apakah Zelin menyebar virus teriak?
"Maaf Bund. Zelin panas banget Bun," lapor Beni membuat Tia terkejut kemudian berjalan lebih dekat dengan tangan menyentuh dahi dan nafas Zelin yang lebih hangat.
"Panggil dokter atau kompres, Bund?" Tanya Nila.
"Eugh," lengkuhan lirih dari Zelin mengalihkan perhatian semua orang. "Bunda pusing hiks," adu Zelin merentangkan tangannya dengan posisi tetap.
"Sayang," Tia mendekat menerima rangkulan dari anak perempuannya yang sedang lemah karena sakit.
Zelin orangnya manja cuma waktu sakit. Kalau sakitpun sangat jarang.
"Mau dipanggil dokter atau kompres sayang?" Tanya Tia mengulang pertanyaan Nila.
"Mau Bunda hiks Bunda," rengek Zelin menyembunyikan wajahnya diperut Tia dengan tangan melingkar erat dipinggang ramping Tia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELIN untuk ARDAN ✔
General FictionFOLLOW DULU BARU BACA!! "Zelin ngak mau nikah Mak!! Jangan paksa Zelin atau Zelin bakal loncat!!" Ancam Zelin memegang erat erat pinggiran pembatas rooftop. "Loncat aja kalau berani. Bunda juga bakal ringan bagi harta gono gini ngak perlu dibagi," k...