Ardan menatap Zelin yang terus memperhatikan telapak kakinya setelah dilepas perbannya. Ada robekan kecil yang bikin Zelin ingin sekali mengambilnya.
"Kalau digunting sakit ngak ya?" Tanya Zelin mendongakkan kepalanya menatap Ardan sekilas.
Ardan mengejap beberapa kali sebelum menatap telapak kaki Zelin. "Nanti sakit gimana?"
"Ngak bakal, mungkin. Tolong dong kak, ambilin gunting buat nguntingin ini," titah Zelin menunjukkan kakinya.
Ardan mengangguk kecil, bangun dan mengambil gunting di laci bawah meja hias. Kemudian menyodorkan pada Zelin, gunting yang menurutnya pas.
"Terima kasih, suami." Zelin tersenyum manis sambil mengambil gunting itu. "Ngak mau aku bantu?"
"Ngak usah, kalau kakak bantu, aku kerja apa?" Jawab Zelin tidak melihat lawan bicara. Ardan hanya mengangguk samar.
Zelin fokus menggunting robekan itu hingga kurang dari tiga menit sudah terlepas. Zelin menatap robekan itu dengan senyum mengembang.
"Kakinya dibuat jalan sakit ngak?" Tanya Ardan mengalihkan perhatian Zelin.
"Kayaknya enggak, cuma kakinya agak diserongin biar ngak kena bagian lukanya," jawab Zelin menurunkan kakinya dan mengembalikan guntingnya sendiri.
"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu tapi jangan marah," ucap Ardan mengakhiri kalimat dengan bentuk nada gemas.
"Ngak janji," sahut Zelin duduk bersebelahan dengan Ardan. "Katakan," lanjutnya.
"Aku mau pergi," kata Ardan yang kurang dimengerti Zelin. "Pergi kemana?"
"Kamu tahu tentang konflik negara sebelah?" Zelin terdiam sesaat sebelum mengangguk samar.
"Aku harus pergi ke sana untuk membantu mereka bersama tim ku," jelas Ardan menatap mata Zelin yang tiba-tiba berubah kosong.
"Aku ngak lama kok cuma beberapa bulan. Setelah masalah mereka selesai, tim ku akan pulang," lanjutnya menyentuh tangan Zelin.
"Ijinin aku pergi ya?" Lirihnya. "Kalau ngak kasih ijin, apa kakak bakal tetep disini?"
"Sayang ... kamu tahu kan ini pekerjaan yang tidak bisa ditolak begitu saja. Ini tugas penting, membantu negara atau negara lain dalam mempertahanan dan keamaannya,"
"Jika begitu kenapa kakak bertanya aku ijinin atau tidak sedangkan kakak akan tetap pergi," wajah Zelin menjawab tanpa expresi.
"Setidaknya aku bilang aku pergi demi negara," guman Ardan memalingkan wajahnya.
Entah kenapa setiap kali persitegang, Ardan lebih suka kalah debat daripada Zelin. Seolah Zelin punya ribuan kata untuk memperpojok ucapan Ardan.
"Tanpa kakak bilang aku juga tahu." Zelin membuat Ardan tidak bisa berkata kata lagi. Yang bisa dilakukannya hanya diam.
"Janji mau kembali? Janji ngak ninggalin aku selamanya? Janji ngak ngingkarin janji? Aku butuh janji bukan hanya sebuah pembuktian. Aku tidak mau mendengaran apapun alasan kakak selain janji kembali," lanjutnya dengan tatapan dingin menembuh mata sayu milik Ardan.
"Tak-"
"Sudah aku katakan dan aku tidak mau ngulangi hal yang sudah sangat jelas. Aku akan memberi ijin jika kakak mau berjanji dan menepatinya," potong Zelin.
Kali ini Zelin harus menuntut Ardan. Bukankah janji harus ditepati? Walau tidak selamanya bisa tapi Zelin yakin jika suaminya akan sangat sangup.
"Atau bersumpahlah. Pilihlah berjanji atau bersumpah. Keduanya memiliki persamaan besar tapi sumpah lebih mutlak, aku rasa jika sumpah akan lebih memberatkan mu kak," remeh Zelin tersenyim mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELIN untuk ARDAN ✔
Ficción GeneralFOLLOW DULU BARU BACA!! "Zelin ngak mau nikah Mak!! Jangan paksa Zelin atau Zelin bakal loncat!!" Ancam Zelin memegang erat erat pinggiran pembatas rooftop. "Loncat aja kalau berani. Bunda juga bakal ringan bagi harta gono gini ngak perlu dibagi," k...