19.💮

795 47 2
                                    

"Suka ayam, kambing, sapi atau burung?"

Zelin menoleh sekilas saat Tia bertanya kepadanya. Tangannya masih sibuk mengelus kepala Parto. Sedangkan tangan sisanya terus mengambil cemilan yang ada di sampingnya.

"Kalau burung, burung apa?"

"Emangnya kamu pengennya apa? Biar nanti Bunda usahain," sahut Tia mengambil remort tv yang berada di samping tv, kemudian duduk di samping Zelin.

"Burung puyuh."

Tia mengangguk pelan dengan tangan meraih toples cemilan milik Zelin dan di letakkan di tengah tengah keduanya.

"Um, siapa calon aku?" Tanya Zelin penuh penasaran.

"Nanti juga tahu sendiri. Sekarang kamu fokus saja sama ujian kamu minggu depan, buat kita dan calon keluarga kamu nanti bangga sama kamu," tutur Tia tanpa mengalihkan perhatiannya dari televisi yang sedang di tonton.

"Ish, nanti Umma jangan pilih kasih ya sama aku," pinta Zelin.

Kernyitan di dahi Tia terlihat jelas saat menatap Zelin. "Maksudnya?"

"Kan, biasanya menantu lebih disayang daripada anak sendiri," cicitnya pelan.

Tia tersenyum kecil melihat putrinya, rupanya tanda sadar Zelin mengatakan jika dia tidak mau dibagi kasih sayangnya.

"Kasih sayang Bunda sama kamu tidak akan mungkin berubah sayang, setiap hari malah Bunda semakin sayang sama kamu," jelas Tia mengelus lembut kepala Zelin.

Mendengar itu, Zelin menaruh Parto di sampingnya lalu memeluk erat Tia.

"Sayang banget sama Umma, maaf ya kalau aku sering ngomong kasar sama Umma tapi Umma ngak pernah ngedoain yang jelek jelek ke aku,"

Senyum Tia kian mengembang dan hatinya menghangat mendengarnya. Tia akui jika orang menilai Zelin pasti bukan anak baik baik, selalu ribut dengan Ibu tanpa mau mengalah.

"Bunda bakal ngerasa jadi ibu terburuk jika Bunda melakukan itu, Sayang. Bunda juga ngak mudah baperan kayak kamu," kekehnya kecil membuat Zelin merengut kesal.

"Aku ngak baperan ya!"

"Hahaha ngak baperan tapi dulu waktu celengan babi kamu Bunda pecahin, nangis tuh mana ngadu lagi sama Ayah," ungkit Tia.

Zelin melepaskan pelukan itu lalu bersedap dada tanpa menatap Zelin. Mulutnya bergerak seperti ibu ibu tukang gosip yang kalah telak.

"Miaw," seolah di panggil Zelin menunduk menatap kucing menggemaskan dengan pupil mata besarnya membuat Zelin segera mengangkat lalu mencium bertubi tubi wajah itu.

"Bunda nanti kalau aku nikah terus di paksa ikut suami, aku bawa Parto ya?" Pinta Zelin tanpa menoleh.

"Eh!? Enak aja, itukan kucing kakak,"  omel Beni mengambil Parto namun sayangnya kucing itu memberontak.

Gue cowok anjim jangan pegang pegang! Gue ngak mau entar lo homo sama gue! Karena gue ganteng ngalahin manusia!

Translate Parto.

"Parto ngak mau, bang. Siniin," pinta Zelin menarik paksa kucing itu lalu mendekapnya dengan kasih sayang, seperti biasa Parto kembali tenang.

Namun sepertinya Parto dendam dengan menjingkrakkan ekornya dan menunjukkan telornya. "Mau dipecahin telurnya hm?"

"Udah bang jangan digangguin kucingnya, nanti makin menjadi jadi loh," peringat Zelin mengendong Parto lalu pergi meninggalkan dua orang itu.

"Nila mana, Ben?" Tanya Tia basa basi.

ZELIN untuk ARDAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang