7.💮

1.4K 96 5
                                    

Suhu tubuh Zelin sudah stabil sejak kemarin malam atau lebih tepatnya saat Tia menyelimutinya dengan tubuhnya. Memang kehangatan seorang ibu tidak ada tandingannya.

Hari ini Zelin sudah siap berangkat sekolah. Dengan mengambil tas warna mint yang dipadukan sama sepatu putih telah melekat ditubuhnya. Rambutnya seperti biasa dikuncir tinggi tanpa mengisakan anak rambut.

Membuka pintu dengan senyum mengembang sempurna saat melihat seluruh keluarga sudah ada dimeja makan, tinggal menunggu Zelin. "Selamat pagi keluarga cemara!!" Teriak Zelin merentangkan kedua tangannya, tanda rasa bahagia.

Agak berlebihan sih, tapi sudahlah moodnya sedang sangat baik.

"Hm bagus udah sehat, otaknya jadi sengklek lagi. Sudah Bunda bilang, jangan suka teriak Zelinjing," tegur Tia ingin menjewer telinga Zelin yang langsung menghindarinya.

"Ayah lihat Emak ngomong kasar," adu Zelin menunjuk Tia yang mendelik padanya. "Masa anak sendiri dibilang njing?" Lanjutnya.

"Tia seharusnya kamu kasih contoh yang baik buat anak kamu, bukan malah mengatainya dengan hal seperti itu," omel Nino menatap Tia yang mendengus kesal.

"Aku kelepasan Mas, habisnya anak kamu itu yang bikin aku kesal. Udah dibilang jangan suka teriak malah teriak. Ngak inget apa kemarin ngrengek mulu," kesalnya menatap tidak suka Zelin yang menjulurkan lidah disebarang sana.

"Udah diem sekarang sarapan. Kamu, Zelin nanti berangkat sama Ayah atau naik sepedah montor?" Tanya Nino membiarkan Tia meletakkan piring didepannya dengan sedikit kasar.

"Loh? Katanya Obok kemarin, mereka jadi babu aku. Kok sekarang diantar Papy?" Tanya bingung Zelin mengambil buah namun diambil paksa oleh Beni. "Makan dulu, nanti perih perutnya." Omelnya meletakkan piringnya didepan Zelin.

Makanan yang masih banyak walau bekas Beni itu dimakan dengan hati kesal. "Hm,"

"Ayah udah kirim mereka ketempat yang menurut Ayah cocok, tapi ada sisa satu yang bakal ikut Ayah. Katanya dia ingin menetap disini, ngak mau pergi," jawab Nino tentang pertanyaan Zelin tadi.

"Tinggal satu? Siapa?"

"Yang kamu panggil Obok,"

Zelin mengangguk mengerti. "Aku naik montor aja Yah, aku ngak mau nunggu lama disekolah. Serem,"

"Halah palingan setan yang takut sama kamu, pakek ngomong serem segala," cibir Tia melirik sinis Zelin, ia masih kesal dengan aduan Zelin tadi.

"Emak plis deh yang suka ngomong kenyataan banget. Emak ngak takut apa? Kalau seandainya anak Emak yang paling cantik jelita ini di gondol setan?"

"Wah Bunda malah sujud syukur," sahut Tia tersenyum aneh.

"Demi dewa, andaikan anak bisa mengutuk orang tua. Udah ku kutuk Emak jadi adek aku," ujar kesal Zelin.

"Hahaha sayangnya ngak bisa stay. Malah Bunda bisa ngutuk kamu sekarang juga, mau dicoba?" Tantang Tia tersenyum smrik dengan sombong.

"Boleh, tapi kalimatnya harus gini Ya Allah dengan restu engkau, kutuklah anak hamba menjadi istri Win Mentawin. Hamba ikhlas jika anak hamba bahagia dengannya," ucap Zelin mendalami peran Tia dengan tangan mengadah.

"Masalahnya si Iwin mau ngak sama kamu? Jangan sampe dia malah tertekan punya istri kayak kamu, sama orang tua aja suka ngelawan apalagi sama dia. Bisa botak seketika kepalanya," cecar Tia diakhiri kekehan.

"Ih ngak ya. Kalau dia jodoh aku, aku janji sama diri aku bakal jadi istri yang nurut banget sama suami, ya elah suami," Tia ingin muntah sekarang juga melihat Zelin yang salting sendiri.

ZELIN untuk ARDAN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang