Namaku Aini Noor Cahaya. Orang-orang biasanya memanggilku Aini. Aku tak tahu kenapa kedua orangtuaku memberikan dua kata bermakna sama untuk nama puteri mereka. Dan aku juga tak bisa bertanya karena keduanya sudah berkalang tanah sejak bertahun-tahun yang lalu. Diriku masih lima tahun waktu itu. Motor mereka tertabrak dalam perjalanan pulang dari dokter kandungan dan keduanya meninggal di tempat. Saat itu Ibu sedang mengandung tiga bulan.
Dalam satu detik, aku adalah gadis kecil dengan keluarga bahagia dan utuh. Detik berikutnya aku berubah menjadi anak yatim piatu yang malang. Sungguh menggelikan—dan mengerikan—bagaimana hidup manusia bisa berubah dalam sekejap mata.
Aku tak tahu apa yang terjadi pada supir yang menabrak kedua orangtuaku, juga tak tahu bagaimana jalannya pemakaman Ayah dan Ibu. Yang kuingat, pada saat kedua orangtuaku meninggal dunia, aku terus bermain hingga letih. Teman-teman sebaya selalu mengerubungi untuk mengajakku bermain bersama. Mereka bahkan memberikan mainan-mainan untukku. Aku baru tahu kemudian kalau orang tua merekalah yang menyuruh. Untuk menghiburku, si anak yatim piatu ini.
Syukurlah dunia sekelilingku terdiri dari orang-orang baik belaka. Mungkin itu sebabnya aku tak pernah curiga pada siapa pun. Di mataku, semua orang adalah orang baik. Kata Rayna, itu karena hidupku yang seharusnya menyedihkan ternyata tetap baik-baik saja berkat support system yang luar biasa. Sungguh ironis mengingat perempuan itu jugalah yang menamparku dengan kenyataan bahwa dunia tak selamanya putih.
Setelah Bapak dan Ibu--juga adik kecil yang tak akan pernah bisa kugendong—meninggal dunia, Om Danu yang merupakan adik kandung Ibu serta isterinya Tante Wita, langsung mengambilalih pengasuhanku. Mereka tak pernah bosan melimpahiku dengan kasih sayang. Rasanya seperti masih memiliki orang tua kandung sendiri. Aku juga kakak kesayangan Wildan dan Nadia, dua sepupu yang usianya masing-masing hanya berjarak satu serta tiga tahun dariku. Om dan Tante, yang kebetulan lebih mampu secara finansial daripada Bapak dan Ibu, bahkan berkeras untuk mewariskan sepertiga harta mereka padaku. Harta yang sejatinya hanya menjadi hak Wildan dan Nadia.
Oleh karena itu tak mengherankan jika aku tetap tumbuh menjadi pribadi yang cemerlang. Tak salah orangtuaku memberi nama, begitu kata orang-orang, sebab aku betul-betul merefleksikan arti dari namaku. Satya pernah bilang, aku adalah noor matanya. The noor of his eyes. Itu adalah kata-kata yang ditulis Khaled Hosseini dalam novelnya A Thousand Splendid Suns. Kami berdua pernah membacanya bersama pada suatu waktu di masa kebersamaan kami yang cukup panjang. Kata Rayna, aku Dazzling Aini. Aini yang menyilaukan. Mungkin karena ada dua cahaya dalam namaku. Dengan berada di dekatku saja dia bisa ketiban cahaya gratisan.
Tapi itu dulu.
Sekarang cahayaku redup seperti lampu teplok yang sedang kehabisan minyak. Dan penyebabnya adalah kedua orang itu.
*
Tujuh tahun yang lalu
"Lo sendirian?"
Sebuah suara merebut perhatianku yang sejak tadi hanya tercurahkan pada ponsel. Aku memandang asal suara itu. Seorang gadis dengan celana jeans warna navy dan kemeja biru muda sedang tersenyum kepadaku. Aku memperhatikan dirinya. Dia cukup cantik meskipun kacamata tebal menghiasi wajahnya. Kulitnya hitam manis. Rambut ikalnya tergerai sebahu. Di kedua pundaknya tersampir tas ransel warna cokelat khas mahasiswa.
"Iya," jawabku akhirnya.
Aku memang sendirian. Sejauh yang aku tahu tak satu pun pun murid dari sekolah asalku yang berkuliah di sini. Kecuali aku. Itu adalah sebuah kebanggaan mengingat kampus ini adalah sebuah universitas negeri ternama. Itu juga yang menyebabkan Tante Wita akhirnya yakin untuk melepasku sendirian.
Om dan Tante tak pernah terpikir untuk melepas anak gadisnya, begitu sebutan mereka untukku dan Nadia, ke luar kota. Sejujurnya, ini adalah salah satu alasan di balik pembagian warisan itu. Mereka memberikan salah satu toko yang bisa kukelola untuk jadi sumber penghidupanku sehingga aku tak perlu kemana-mana lagi. Sedari awal Om dan Tante memang sudah merancang masa depan untuk anak-anak mereka: kuliah di kampus dekat rumah, kerja di dekat rumah, menikah dengan pasangan yang juga tinggal dekat rumah. Urutannya pun harus persis begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...