"Ya, Dim?"
"Ni, gue lagi bareng Satya karena tadi dia minta ditemenin ketemu Tania. Tapi Satya kecelakaan..."
Aku menahan nafas seketika dan tak sanggup bersuara. Bertemu Tania? Kecelakaan?
"Ni...halo...?"
"Ru...rumah sakit mana?" Tanyaku setelah berhasil menemukan suaraku lagi.
Dimas kemudian menyebutkan nama rumah sakit berikut nomor kamarnya. Nomor kamar yang mati-matian kucoba hafalkan namun tampaknya tak bisa berbekas di otak.
"Tapi, Ni, kondisinya..."
Aku langsung memutuskan telepon dan bersiap-siap pergi meski dalam kondisi kalut. Tidak. Aku tak sanggup mendengar tentang kondisi Satya di telepon. Jika kondisinya tak seperti yang diharapkan, kondisiku juga akan tidak baik-baik saja. Lain dari itu, aku juga tak mau menunda-nunda keberangkatan ke rumah sakit lebih lama lagi. Bisa-bisa aku yang collapse kalau tak segera melihat Satya dengan mata kepalaku sendiri.
Bagaimana bisa cobaan seperti ini muncul di saat kami berdua sedang mencoba merajut kisah kembali. Padahal aku dan Satya baru saja menghabiskan waktu untuk membicarakan segala hal yang akan kami lakukan ke depannya, termasuk soal Tania.
Tadi katanya mereka bertemu Tania? Mungkinkah kecelakaan Satya juga berhubungan dengan perempuan itu? Jika dia bisa dengan gampangnya melakukan satu jenis kejahatan, apa sulitnya melakukan kejahatan lainnya. Membayangkan itu, tubuhku gemetaran. Oh Tuhan, bagaimana jika terjadi sesuatu pada Satya? Aku berjanji tak akan pernah mengampuni Tania kalau sampai harus kehilangan Satya lagi.
Aku berlari secepat yang kubisa, tapi kedua kaki mulai terasa kebas. Nafasku juga ngos-ngosan. Ini bukan rumah sakit besar tapi rasanya terlalu besar untukku. Sedikit memaksakan diri, aku berusaha mengikuti petunjuk yang diberikan resepsionis di meja depan mengenai lokasi kamar rawat Satya. Itu dia. Aku yakin tak salah. Di kursi-kursi kayu di depan kamar, aku bisa melihat wajah-wajah yang kukenali: Mas Yudha, Mas Raka, dan juga Mama. Menyadari kedatanganku, Mama bergegas menghampiri.
"Ni, Satya..."
Seketika aku merosot ke bawah. Kedua kaki ini sudah tak sanggup lagi menopang tubuhku.
"Aini..." Mama memandangku cemas. Namun sekilas perhatiannya teralih dengan suara pintu yang dibuka. Seseorang keluar dari kamar Satya. Papa, yang heran melihat semua orang terdiam, kemudian bergabung dengan kedua puteranya untuk mengamati aku dan Mama.
Kuperhatikan baik-baik wajah Papa. Terlihat datar namun gurat kekhawatiran masih tampak jelas. Lalu aku juga mengamati Mama. Sepertinya mantan dan/atau calon ibu mertuaku itu baru saja menangis. Wajahnya juga terlihat begitu sedih. Oh Tuhan, ini pasti buruk. Satya tidak baik-baik saja. Dan sekali lagi, semuanya gara-gara diriku. Setelah anak kami, apa aku juga harus kehilangan Papanya?
Terbujuk dengan bayangan mengerikan itu, tangisanku keluar tanpa bisa dicegah.
*
"Kita jadi rujuk kan?" Satya bertanya padaku malam itu. Setelah drama Sabtu pagi kemarin, Satya semakin sering menghabiskan sisa harinya selepas bekerja di apartemenku. Setelah kami berdua mencapai kesepakatan bersama, Satya memang sudah rutin bekerja kembali.
"Mesti ditanya sampe berapa juta kali sih, Mas?" Aku mulai kesal.
"Lebay deh, calon isteriku ini. Baru juga dua puluh tujuh kali."
"Seriusan diitungin?" Aku bertanya penasaran tapi yang ditanya cuma nyengir.
"Setelah rujuk, kita balik ke rumah kita kan, Sayang? Aku malas tinggal di situ sendirian." Setelah kami sepakat untuk rujuk, Satya juga beberapa kali menginap di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...