Bab 8

3.2K 203 6
                                    

Satu tahun yang lalu

"Kenapa lagi si Betty la fea?" Tanya Satya setelah melihatku memasuki kamar tidur kami.

"Irwan mutusin dia. Kali ini bahkan lebih parah. Katanya tuh orang nerima dijodohin sama pilihan nyokapnya."

"Ah elah. Aku tuh udah curiga ada yang salah waktu dia minta nebeng ke sini. Udah berapa kali tahu, Yang..."

"Jangan gitu ah, Mas." Aku menepuk bahunya pelan. "Dia sahabat aku, tahu. Kasihan, dia cuma bisa minta tolong ke kita. Dia ga punya teman cerita selain aku. Emak kan mulai sakit-sakitan setelah Bapak meninggal. Adek-adeknya juga kuliah di luar kota semua."

"Itu dia yang biayai semua adek-adeknya?" Aku mengangguk. "Hebat juga dia..."

"Gaji auditor kan ga kecil, Mas. KAP big four pula. Yah...walau kekurangannya jadi kayak ga punya kehidupan sosial sih...kayak kamu..." Aku terkikik.

"Mana sekarang makin nyebelin." Keluh Satya. "Dimas pindah ke PWC. Dan Si Ardito... ya ampun makin nyebelin itu orang..."

Satya lanjut curhat padaku mengenai kekesalannya pada Ardito. Aku hanya mendengarkan sambil sesekali tertawa atau memberi saran, seperti yang sudah kulakukan sebelum-sebelum ini.

Ardito, atau Dito biasa kupanggil, adalah 'rival' Satya semasa kuliah. Mereka satu angkatan. Tiap semester nilai mereka selalu susul-menyusul. Bukan... ini bukan tentang dua mahasiswa nerd yang selalu berebut posisi pertama. Posisi itu sudah ada yang punya sejak bertahun-tahun lalu dan tak akan tergoyahkan sampai kapanpun. Posisi itu milik Dimas. Satya dan Dito hanya mampu memperebutkan sisa-sisa Dimas.

Satya menanggapinya santai saja sebetulnya, tapi Dito menganggapnya terlalu serius. Hubungan mereka makin memburuk gara-gara aku. Dito sempat mendekatiku dan langsung kutolak. Ketika aku akhirnya jadian dengan Satya, dia menganggap ini sebagai penghinaan. Setelah lulus, mereka malah bekerja di kantor yang sama. Persaingan masa kuliah itu pun akhirnya berlanjut hingga ke tempat kerja. Dari cerita Satya aku tahu kalau beberapa kali Dito hendak menjegalnya namun selalu gagal.

"Jangan-jangan dia masih cinta kamu, Yang. Makanya benci aku sampai segitunya..."

Aku tertawa geli. Ya kali masih cinta, itu kan sudah bertahun-tahun yang lalu. Dan juga, Ardito menikah baru-baru ini.

"Jangan-jangan yang dia taksir sebetulnya kamu, Mas. Makanya bencinya sampe sekarang, karena kamu lebih memilih aku..." Lalu aku terkikik geli karena Satya menggelitikiku.

"Udah ah. Bobok, yuk." Satya kemudian memelukku.

Tapi gelitikannya sudah terlanjur membangunkan sesuatu. "Sayang..." Aku meraba dadanya. Dia langsung tahu apa yang kumaksud.

"Bobok, sayangkuuu..." Satya berusaha mencegah tanganku semakin ke bawah. "Mood ku udah ancur gara-gara si Ardito. Mana ada si Betty la fea lagi di sebelah. Rugi aku kalo dia sampe denger desahan kita."

Sekali lagi aku terkikik geli lalu tak lama kemudian betul-betul tertidur tanpa lebih jauh mempermasalahkan penolakan Satya. Padahal Satya sangat jarang menolakku, tapi kali ini adalah salah satu dari yang jarang itu.

Mungkin karena Rayna.

*

Beberapa bulan yang lalu

Aku memandangi faҫade kafe yang dipilih Satya. Bukan betul-betul memandang sebetulnya, hanya sedang mencoba menenangkan gejolak dalam jiwaku. Di sebelah, Wildan memegang erat tanganku seolah takut kakaknya tiba-tiba pingsan atau histeris.

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang