Bab 23

3.1K 165 3
                                    

"Jadi kalian memang betul mau rujuk?" Suara tegas Papa bertanya pada kami.

"Iya, Pa." Satya menjawab tak kalah tegas sementara aku cuma mengangguk sambil menunduk.

Aku dan Satya memang sudah berencana mendatangi keluarganya Sabtu ini lalu langsung berangkat ke kampung untuk menemui Om Danu dan Tante Wita demi membicarakan keputusan kami. Siapa yang sangka kalau pembicaraan yang kami kira akan berlangsung di rumah Mama malah terjadi di rumah sakit.

"Kalian sudah betul-betul yakin? Jangan sampai sebentar rujuk lalu tiba-tiba saat ada masalah langsung bubar?"

"Yakin, Ma." Jawab Satya lagi.

"Mama juga bertanya sama Aini." Tuntut wanita itu.

"Maaf, Ma. Aini memang salah. Aini enggak akan mengulanginya lagi." Jawabku dengan suara bergetar.

"Perempuan cemburu sama suami itu wajar, apalagi karena kita memang cinta sama suami kita. Mengingat kondisi saat itu, Mama juga enggak bisa menyalahkan kalau kamu langsung mengira yang tidak-tidak. Yang Mama sesalkan, karena kamu lebih memilih lari dan bukannya menghadapi masalah secara langsung. Terkadang kita ini memang bisa overthinking dan akan terus begitu kalau tidak mau membicarakannya dengan pasangan. Melarikan diri sama sekali bukan solusi."

Sekali lagi aku cuma mengangguk, kali ini sambil mengerjap-ngerjapkan air mata. Tapi air mata itu batal turun karena ada tangan yang menggenggam erat tanganku, mencoba memberi kekuatan.

"Kamu juga, Satya..."

"Lho kok aku juga, Pa?" Satya hendak protes.

"Jadi kamu mau yang kami marahi cuma isteri kamu aja?" Tantang Papa.

Seketika Satya terdiam.

"Suami itu juga harus pintar-pintar menjaga perasaan isterinya. Jangan terlalu mudah akrab dengan perempuan lain, siapa pun dia."

"Tapi kan..."

"Ck..." Satya langsung terdiam begitu Mama mulai berdecak.

"Ya, sudah. Mama dan Papa cuma berharap kalian akan semakin dewasa setelah ini dan siap menghadapi ujian hidup apa pun yang bisa saja terjadi di masa depan. Relakan yang sudah terjadi. Ikhlaskan dan berserah pada Tuhan. Insya Allah akan ada gantinya."

Entah bagaimana aku bisa mengerti kalau Mama sedang membicarakan bayi kami. Mau tak mau air mataku betul-betul turun. Lalu Satya meremas tanganku lagi. Aku menoleh padanya. Dia tersenyum padaku. Meski tidak berkata-kata, tapi aku tahu bahwa dia sedang meyakinkan diriku bahwa kami pasti bisa.

*

"Dasar emang, pasutri penuh drama. Eh, belum suami-isteri lagi tapi ya..."

Kata-kata Dimas itu disambut dengan tawa Rayna. Hari ini kamar Satya diisi dengan celotehan kami berempat. Setelah diperbolehkan keluar, Satya langsung pulang ke rumah Mama. Karena belum sah, tak mungkin kami berdua tinggal di apartemen. Tapi berkat rengekan Satya, akhirnya aku harus ikut menginap di sini juga.

"Diem lo, Betty la fea! Gara-gara lo sering nebeng, kemarin malam gue dimarahi Bokap lagi."

"Serius nih sinetron yang itu belum tamat juga? Lo mau ngalah-ngalahin Aldebaran? Gue mesti bilang sampe berapa kali sih kalo tujuan gue itu mau ketemu sahabat gue, bukan selingkuh sama lo. Set dah, gue kalo emang mau selingkuh sama suami orang juga bakal milih-milih kali. Minimal pejabat daerah lah, atau CEO yang saham perusahaannya kagak masuk kategori gorengan, minimal second liner kalo kagak bisa blue chip."

"Orang-orang kayak gitu kekurangannya cuma satu: kagak bakal mau sama lo!"

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hati menyesalkan setahun yang kuhabiskan untuk cemburu padahal mereka berdua semenyebalkan ini.

"Rayna juga kagak bakal mau sama lo!"

Aku sedikit mengerutkan dahi. Tidak biasanya Dimas membela Rayna. Biasanya, dia dan Satya saling mendukung dalam meledek Rayna. Tapi kerutan itu hilang saat Rayna mengajak Dimas tos lalu keduanya tertawa ngakak.

"Emang gimana ceritanya sih sampe bisa kecelakaan?" Rayna penasaran.

"Kami berdua kan abis ketemu Tania tuh, naik mobil Satya yang diparkirin di pinggir jalan. Waktu mau masuk mobil, ada motor kenceng banget nyerempet Satya. Jatoh deh dia. Mukanya nyium aspal, makin jelek aja tuh muka. Celakanya, dia lagi pegang jus dalam gelas plastik. Lo pesen jus apa sih, Sat, waktu itu? Buah naga ya? Atau tomat? Pokoknya itu jus buah warna merah belepotan di kemejanya. Setelah kering, jadi kelihatan mirip darah. Drama dah si Aini begitu ngeliat."

Aku cuma mendengus saat sekali lagi harus mendengar cerita itu. Bukan cuma sekali dua kali, karena Dimas sangat menikmati menceritakannya pada siapa pun yang datang menjenguk. Ya ampun rasanya betul-betul malu-maluin jika mengingat drama yang kubuat hari itu.

"Jadi si Setania ngomong apa aja?" Rayna bertanya lagi.

"Dia nangis-nangis minta dimaafin. Untung ada gue, kalo kagak bisa-bisa si Tania babak belur dibikin Satya."

"Gue kagak mukul perempuan..." Tolak Satya.

"Sok gentleman lo!" Ledek Dimas. "Padahal gue bisa lihat kepalan tangan lo sampe gemetaran saking marahnya."

"Kalian serius mau lepasin Tania begitu aja? Sebagai orang yang juga dirugikan, kok gue ga terima ya."

"Rencananya kami memang mau buat laporan ke polisi, tapi sekarang masih fokus ke penyembuhan Satya dulu." Jawabku.

Kami memang sudah memutuskan untuk melaporkan Tania dan Ardito ke kantor polisi. Mereka berdua pantas mendapatkannya. Tapi kami juga tak akan terlalu mendedikasikan hidup kami untuk memastikan keduanya dipenjara. Biarlah hukum yang menggerakkan tangannya. Aku dan Satya hanya ingin menjalani hidup yang bahagia.

"Ketunda dong nikah ulang? Kasihan banget adek lo, Sat." Dimas tertawa mengejek.

"Lebih kasihan adek lo, Dimpret! Seumur hidup cuma dipake buat pipis."

Aku mencubit lengan Satya kuat-kuat, hingga dia mengaduh. Rayna yang sedang minum malah tersedak hingga terbatuk-batuk. Dimas menepuk-nepukkan tangannya pelan di punggung Rayna. Terlihat begitu perhatian. Sekali lagi aku mengerutkan dahi.

"Kalian berdua betulan mesti nikah ulang? Enak dong lo, Ni, dapat mahar dua kali. Gue bakal jadi bridesmaid lagi kagak?"

"Ya kali, Rain, bakal dipestain lagi. Malu-maluin aja. Keluarga udah sepakat kalau kali ini nikah KUA aja."

Saat Tante Wita dan Om Danu menjenguk Satya, kesempatan itu sekaligus dipakai untuk melakukan rapat keluarga. Semuanya sepakat bahwa kami menikah di KUA saja dengan disaksikan seluruh keluarga.

"Rain, ada noda kopi di bibir lo." Dimas kemudian mengambil tisu dan mengelap bagian wajah Rayna yang terkena noda minumannya. Baiklah aku sudah tahan lagi.

"Kalian berdua pacaran?"

Rayna dan Dimas menoleh ke arahku bersamaan. Tampak jelas raut penjahat yang bersalah di wajah mereka. Dari situ saja, aku sudah tahu apa jawabannya.

"Wahh... dunia memang tempat yang mengerikan. Bisa-bisanya menyatukan si Kampret dan Betty la fea." Kata Satya.

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang