Enam tahun yang lalu
"Ck... datang lagi..." Rayna terdengar tak senang.
Aku mengangkat kedua alisku tak mengerti.
"Tuh..." Dia memonyongkan mulutnya untuk menunjukkan arah yang dimaksud.
Di kejauhan, aku bisa melihat Satya dan temannya si Hejo-koneng atau sekarang lebih tepatnya disebut si Merah-ungu atau untuk lebih mudahnya sebut saja Dimas, sedang berjalan ke arah kami. Mereka juga melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Jangan terlalu benci, entar jatuh cinta." Nasihatku sok bijak.
Rayna mendengus. "Kalau di sini ada yang ditaksir si Pulgoso, udah pasti orangnya bukan gue."
Aku mengerutkan dahi. Rayna menggerak-gerakkan kedua alisnya naik-turun sambil tersenyum meledek. Aku masih mengerutkan dahi.
"Seriously?!" Rayna akhirnya menyerah. "Lo kaga ngerti siapa yang ditaksir siapa?"
Aku mengangkat bahu tak peduli.
"Elo, Jubaedah, elooooo...! Ya ampun, walaupun gue bete sama tuh orang tapi sumpah sekarang gue betul-betul kasihan. Hampir setahun pedekate cuma dianggap angin lalu, cuyy!"
"Bukannya dia naksir lo ya?" Aku tetap berkeras.
"What on earth sampe lo bisa mikir kayak gitu?!" Rayna mulai emosi.
"Habisnya lo berdua tiap kali ketemu pasti kayak Tom and Jerry. Kan biasanya yang kayak gitu kalo di novel-novel akhirnya saling jatuh cinta."
Rayna mengangkat kedua tangan dan wajahnya menghadap langit, berpose lebay seakan-akan dia butuh bantuan ilahiah karena sudah tak sanggup lagi menghadapiku.
"Hidup gue di dunia nyata, Ni, bukan di dunia oren!" Emosi Rayna makin tersulut
"Hai,"
Aku belum sempat menjawab perkataan Rayna ketika kedua cowok itu sampai di tempat kami.
"Hai Kak Satya, Kak Dimas..." Aku membalas sapaan mereka, sementara Rayna cuma diam dengan muka bertekuk.
"Kenapa lo, Betty la fea, makin jelek aja kalo kaga senyum."
"Marimar lo tuh yang nyebelin, Pulgoso! Lo juga. Tegas dikit ngapa jadi laki. Langsung tembak!"
Rayna kemudian membereskan barang-barangnya. Mau ke perpustakaan sebentar katanya. Aku mengikuti kepergian Rayna dengan mataku, tapi cuma sebentar saja. Jadi aku bisa melihat ada sepasang mata lain yang juga mengikuti langkah Rayna sampai dia menghilang dari pandangan.
"Temen kamu kenapa? PMS?" Tanya Satya sambil mengambil tempat di sebelahku.
Aku tak menjawab, cuma nyengir. Enggak mungkin kan aku bilang itu karena kami tak sepakat soal siapa yang dia taksir.
Karena aku diam, Satya juga diam. Tapi dia menatap Dimas dalam-dalam.
"Gue pergi bentar ya, ada urusan." Kata Dimas tiba-tiba. Aku cuma mengangguk pelan.
"Kamu lagi ngerjain apa?" Tanya Satya padaku setelah kami tinggal berdua.
"Tugas Pak Randy." Jawabku singkat.
"Mau aku bantuin?" Tanyanya lagi.
Tentu saja aku mengiyakan. Mata kuliah Pak Randy kan lumayan susah. Jadilah kami menghabiskan sisa hari itu dengan mengerjakan tugas-tugasku. Tapi selama itu aku masih tetap berpikir, apa iya Satya naksir aku?
Aku bukannya tak kenal cowok. Pertama dan terakhir kalinya pacaran, aku masih kelas II SMA. Namanya Antoni. Dia ganteng dan baik, atau setidaknya kukira dia baik. Kami jalan hampir setahun sampai akhirnya aku tahu kalau dia punya pacar di sekolah lain. Parahnya, ternyata akulah si nomor dua. Rasanya lumayan patah hati waktu itu, patah hati yang mempertemukanku dengan quote Charlie Chaplin dan quote orang terkenal lainnya.
Sejak itu aku malas pacaran. Meski demikian beberapa cowok mulai mendekatiku saat kuliah dimulai. Mereka bahkan nembak di waktu yang nyaris bersamaan. Tentu saja semuanya kutolak dengan alasan klasik masih mau fokus belajar dulu.
Tapi Satya, aku sama sekali tak merasa dia sedang mendekatiku. Aku cuma merasa kalau kami...berteman. Dia orang yang asyik dan tak pernah segan-segan membantuku walau pertemuan pertama kami kurang baik. Aku nyaman berada di dekatnya
Semua ini dimulai saat ospek jurusan. Pernah dengar bahwa apa yang tak kita inginkan justru kita dapatkan? Nah persis seperti itulah yang terjadi. Kami dan Satya bukan cuma satu fakultas tapi juga satu jurusan. Sesaat setelah ospek jurusan ditutup dan acara ramah-tamah berlangsung, Satya menghampiri aku dan Rayna.
"Hai, Betty la fea," katanya jahil yang dibalas Rayna dengan dengusan. "Hai, Marimar," katanya padaku sambil tersenyum.
Aku terkikik geli. Rayna mendengus sekali lagi.
"Maaf ya, Kak, kemaren itu..."
"It's okay..." Katanya memotong pembicaraanku sambil menaikkan bahu acuh tak acuh. "Kamu tinggal di mana?" Tanyanya padaku.
Lalu aku menjawab pertanyaannya dan kami mulai berbincang-bincang akrab. Sejak itu kami jadi seperti teman.
Tapi setelah mendengar kata-kata Rayna, aku jadi bertanya-tanya apa sikapnya itu karena dia naksir padaku?
"Kenapa? Ada lagi yang belum dimengerti?" Tanyanya, menarik kembali fokusku pada tugas Pak Randy. Aku menggeleng, masih terus berpikir.
Pertanyaan paling pentingnya adalah... apa aku juga naksir dia??
*
Present day"Tan..." Aku menelepon Tania sambil terisak.
"Lo di apartemen?" Tanyanya. Aku mengiyakan, masih menangis
Tania langsung mematikan teleponnya.
Meski aku sering meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, tapi adakalanya aku limbung seperti sekarang. Dulu aku sering menangis tiba-tiba. Terjadi begitu saja, I can't help it. Sekarang hal itu sudah semakin jarang terjadi. Tapi bukan berarti menghilang sepenuhnya.
Tak lama aku mendengar bunyi kode pintuku ditekan, pertanda ada seseorang yang hendak masuk ke dalam. Kode pin apartemenku bukanlah privasi. Itu syarat yang diajukan Om Danu dan Tante Wita saat aku meminta tinggal sendiri. Selain Om dan Tante, Wildan adalah orang yang mengetahuinya. Setelah pindah, Tania juga termasuk orang yang mendapatkan keistimewaan itu.
Aku telah dilatih bahwa kapanpun 'serangan' itu datang, aku harus segera menghubungi Wildan atau Tania. Mereka takut aku berbuat yang tidak-tidak. Mengiris nadiku, misalnya. Tapi untungnya hingga saat ini aku tak pernah punya dorongan menyakiti diri sendiri, kecuali menangis hingga lelah.
Aku masih menangis tergugu dalam pelukan Tania. "It's okay, Baby..." Katanya sambil membelai rambutku pelan-pelan.
"Gue benci mereka, Tan....gue betul-betul benci mereka..." Tangisku lagi.
"It's alright." Kata Tania lagi. "Lo boleh benci mereka semau lo. Mereka memang pantas dibenci. Tapi jangan biarkan kebencian itu justru menyakiti diri lo sendiri."
Aku masih terus terisak. Sebagian karena perasaan ini. Sebagian lagi karena aku bohong. Pada Tania. Pada diriku sendiri.
Sebab bagaimanapun mereka menyakitiku, aku masih punya perasaan sayang pada kedua orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...