"Apa kabar?"
Aku menjawab pertanyaan itu dengan senyum lebar karena ingin menunjukkan pada si penanya bahwa aku memang baik-baik saja, sesuai dengan jawaban yang kuberikan.
Siang ini terasa lebih semarak karena panggilan video dari Marni, Sinta, dan Zainab, sahabat-sahabatku sedari kecil. Kebetulan mereka sedang berkumpul sambil makan siang bareng dan merasa kurang lengkap jika tak mengajakku, si sahabat keempat yang hingga saat ini masih betah berkelana di kampung orang.
Mereka berharap saat ini aku sedang makan siang juga jadi seolah-olah kami sedang makan di tempat yang sama. Tapi kenyataannya aku masih berkeliaran di kampus, menunggu Tania yang mengajak makan siang bersama setelah hampir dua hari kami tak bertemu. Tapi dia baru saja mengabariku akan sedikit telat jadi sepertinya jam makan siangku pun akan ikut mundur.
Berbincang-bincang dengan sahabat lama memang bisa meningkatkan mood. Aku yang tadinya bersungut-sungut karena mendapatkan banyak tugas dari dosen langsung ceria seketika. Sesaat aku merasa seperti diriku yang dulu. Aini sebelum perceraian menyakitkan itu terjadi.
Setelah drama rumah tangga yang berakhir buruk itu, orang-orang sepertinya jadi hobi menghubungiku. Sebelumnya kami berempat memang sering kontak dengan satu sama lain namun tak sesering setelah statusku berubah jadi janda.
Di masa-masa awal aku dan Satya berpisah, Tante Wita bahkan tinggal bersamaku selama beberapa bulan, meninggalkan Om Danu di kampung sendirian. Om-ku sebetulnya ingin menyusul Tante Wita tapi tak mungkin meninggalkan usahanya di kampung begitu saja. Biasanya Om Danu akan menyusul saat weekend demi membantu Tante Wita mengurus diriku yang sudah mirip zombie. Butuh lebih dari tiga bulan untuk aku kembali lagi seperti normal. Sampai sekarang aku masih merasa bersalah karena sudah merepotkan Om dan Tante yang sudah tua. Harusnya akulah yang mengurus mereka berdua, bukan sebaliknya.
Di bulan ke-empat aku sudah mulai tegar menghadapi segala hal, termasuk proses perceraian yang melelahkan. Satya berusaha mempersulit perpisahan kami karena dia tak mau menceraikanku. Wildan bahkan sempat menghajarnya beberapa kali karena permintaan untuk melepaskanku sama sekali tak digubris.
Aku heran kenapa Satya begitu keberatan dengan perceraian kami. Aku mempermudah jalannya bersatu dengan Rayna, kan? Mereka bisa menikah dan tak perlu berzina lagi seperti kemarin-kemarin. Mereka bahkan bisa membangun sebuah keluarga utuh dengan anak-anak yang banyak, satu hal yang selama ini selalu diidam-idamkan Satya namun masih belum mampu kuberikan. Apa dia mau mendapatkan kami berdua sekaligus? Let's say...mungkin dia punya semacam fetish meniduri sepasang sahabat. Kalau memang begitu...iyyuuuhhh...apa aku menikahi laki-laki yang kesehatan mentalnya patut dipertanyakan?!
Bagaimanapun, semua itu akhirnya berakhir juga. Satya tak berhasil menemukan cara untuk melawan semua bukti dan saksi yang kuajukan. Ketuk palu hakim mengesahkan perceraian kami. Aku wanita bebas sekarang. Bebas dari si BangSat tukang selingkuh. Dulu saat kami masih bersama aku memanggilnya Bang Sat beberapa kali, sengaja bercanda hanya untuk membuatnya keki. Kalau sudah begitu dia pasti akan terus manyun sampai kukecup kedua pipinya, lalu kami pun tertawa. Itu juga yang membuatnya berkeras supaya dipanggil Mas, bukan Abang.
Sekarang aku lebih suka memanggilnya Bang Sat karena dia memang bangsat. Bajingan. Brengsek. Keparat. Bedebah. Dan ratusan gelar makian lainnya yang tak perlu capek-capek kukatakan langsung karena Wildan sudah mengatakan semua itu di depan mukanya tepat sebelum menghajar mantan iparnya itu. Satya mungkin sudah mati sekarang kalau saja tak ada Om Danu yang menghentikan Wildan. Syukurlah. Aku tak suka kalau adik laki-lakiku dipenjara.
Sekitar dua bulan pasca perceraian, Tante Wita masih berkeras tinggal di bersamaku. Kami—aku dan Satya—punya rumah sendiri sebetulnya. Dia membelinya sebelum kami menikah. Tapi aku tak pernah kembali ke sana setelah mengetahui bahwa suami dan sahabatku memutuskan untuk merajut kisah berdua. Saat itu, aku yang hancur parah menelepon Tante Wita sambil menangis meraung-raung. Tante menghubungi Wildan, satu-satunya orang yang bisa menjangkauku pada saat itu. Tak butuh waktu lama bagi Wildan untuk menjemput dan membawaku ke kontrakannya. Tante Wita dan Om Danu baru menyusul keesokan harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...