Segera setelah menikah kembali, hal pertama yang kami lakukan adalah kembali ke istana kecil milik berdua dengan diiringi sambutan ramah para tetangga.
"Wahh, Mba Aini sudah balik?"
"Kata Mas-nya, Mba Aini dapat kerja di luar kota ya? Kirain masih di sana."
Ternyata Satya membuat alasan palsu mengenai kepergian kami dari rumah.
"Iya, Bu. Saya memutuskan untuk enggak lama-lama, cukup kontrak setahun aja. Lumayan dapat pengalaman baru." Aku memutuskan untuk ikut dalam permainan yang diciptakan Satya.
"Iya lho, Mba. Kasihan Mas Satya, makin kurus semenjak ditinggal isterinya..."
Aku memutuskan tak menjawab dan cuma tersenyum, sampai Satya memutuskan pamit tanpa tahu malu. "Mari, Bu, kami masuk dulu. Maklum udah lama ga ketemu isteri jadi bawaannya mau..."
Sebelum keadaan berubah menjadi lebih malu-maluin lagi, dengan sigap aku menarik Satya ke dalam rumah sambil tetap berusaha tersenyum semanis mungkin. Tapi para tetangga sepertinya tak peduli dengan usahaku. Mereka tertawa terbahak-bahak sembari berceloteh macam-macam. Celotehan yang--aku yakin--nyerempet-nyerempet ke arah 'sana.'
"Kamu apa-apaan sih, Mas?! Malu tahu!" Aku memarahinya setelah kami berada di kamar.
"Lho aku kan cuma bicara jujur. Ini kan malam pertama kita yang kedua, masak dilewatin gitu aja. Mana tahu kita langsung dapat bonus adek bayi, ya kan?" Satya menaik-turunkan alisnya, meminta persetujuan.
Gemas, kucubit lengannya kuat-kuat.
*
"Sayang, ini ditaruh dimana?"
Minggu pagi ini kami habiskan dengan membereskan rumah yang sudah setahun ditinggal. Memang kondisinya tidak sekotor itu karena Satya masih rutin membersihkannya. Tapi tetap saja ada perbaikan yang dibutuhkan di sana-sini.
"Taruh di lemari yang itu, Mas. Piring-piring yang bagus letakin di rak yang ada kacanya, kalau yang piring biasa taruh di laci bawah aja."
Aku ikut beres-beres sembari memberi perintah ini-itu pada Satya. Tanganku sibuk merapikan baju-baju kami sebelum meletakkannya kembali ke dalam lemari. Beberapa pakaian memang harus dicuci ulang karena sudah apak sebab ditinggalkan di lemari terlalu lama. Tak hanya itu, aku juga masih harus memindahkan pakaian dari koper-koper sebab saat tiba semalam kami masih belum membongkar sebagian besar barang.
Tumpukan pakaian yang sudah diseterika itu kubuat serapi mungkin agar tidak acak-acakan saat dimasukkan ke dalam lemari. Tetapi ada yang aneh dengan salah satu kemeja milik Satya. Saku depannya sedikit menggelembung. Penasaran, kukeluarkan isi saku itu. Secarik kain usang berwarna krem. Untuk apa Satya menyimpannya? Pelan kubuka lipatan kain itu. Terlihat renda dan sulaman bunga di beberapa bagian serta bordiran huruf A besar di salah satu sisinya. Bukan, ini bukan kain usang. Ini sapu tanganku yang dihadiahkan Nadia. Dulu kukira sapu tangan ini telah hilang, walaupun setelah dipikir-pikir lagi...
"Sayang, aku panggil-panggil kok enggak dijawab?" Tiba-tiba Satya muncul di belakang.
"Mas, ini..." Aku menunjukkan sapu tangan itu padanya.
"Oh itu." Dia lantas duduk di hadapanku kemudian mengambil kain itu dan membelai permukaan rendanya. "Sapu tangan ini pernah jadi jimat buat aku. Setelah kamu memberikannya, aku pernah berniat mengembalikan lagi tapi lalu kuputuskan untuk menyimpannya saja. Anggaplah kenang-kenangan dari kamu, gadis yang berhasil mencuri hatiku sejak pertemuan pertama. Saat kita bersama, aku memang sempat melupakan keberadaan sapu tangan ini. Untuk apa, toh sudah ada kamu yang asli. Tapi ketika kita berpisah, sapu tangan ini kembali jadi pengobat rinduku. Sekarang, karena kamu udah kembali, aku bahkan lupa nyimpen-nya dimana. Tadi kamu nemuin dimana, Sayang? Di saku celanaku ya?"
Tanpa sadar aku menangis lalu memeluknya erat. "Maaf, Mas, maaf... Maaf karena pernah seenaknya meragukan cinta kamu. Aku akan berusaha keras supaya kamu enggak perlu pakai sapu tangan ini lagi. Kali ini biar aku yang berjanji untuk enggak meninggalkan kamu sampai kapanpun."
Satya membalas pelukanku tak kalah erat. "Makasih, Sayang. Makasih juga karena sudah bersedia jadi isteri aku lagi. Tapi..."
"Hmm...?"
"Berhenti beres-beres dulu yuk, supaya kita berdua bisa bikin adek lagi..."
Sekali lagi kucubit dia sekuat tenaga.
*
"Kamu gapapa?"
"Gapapa, Mas." Aku sudah mulai jengkel karena harus mendengar pertanyaan itu untuk ke sekian kalinya.
"Kalau kamu capek, kita pulang aja ya, Sayang."
"Aku mau lihat sahabatku nikah." Aku bahkan malas menoleh pada Satya ketika menjawab, dan lebih memilih melihat ke depan. Ke arah Dimas yang sedang bersiap menjabat tangan paman Rayna untuk mengucapkan ijab kabul.
"Tapi kita jangan lama-lama di sini ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa."
"Mas, aku tuh hamil bukan sekarat!"
Sejak dokter memberitahu kalau aku hamil yang kedua, Satya berubah menjadi suami over protective. Dia bahkan sampai meminta cuti (lagi!) pada Mas Ridho di masa-masa awal kehamilanku. Kalau aku tidak protes, mungkin dia bakal mengajukan pengunduran diri dan lebih memilih di rumah saja. Aku mengerti, sikapnya ini karena perasaan bersalah tak bisa mendampingiku pada saat hamil anak pertama kami. Tapi sikap itu seringkali membuat kepalaku mau meledak. Kalau sudah begitu, Satya berusaha menenangkan dengan mengelus-elus perutku yang sudah membuncit. Persis seperti yang sedang dilakukannya sekarang.
Beruntung, aku mendapatkan pengalih perhatian. Rayna sudah dibawa keluar kamar dan kedua pengantin kemudian didudukkan di pelaminan. Sahabatku terlihat cantik sekali dengan kebaya putih dan mahkota kecil di kepala. Siapa yang menyangka hal seperti ini akan terjadi? Rayna yang awalnya terlihat sangat anti pada Dimas serta Dimas yang sudah sepenuhnya move on dari rasa sukanya pada Rayna. Tapi ternyata Tuhan mendekatkan mereka setelah Rayna disakiti oleh Irwan (dan aku). Dimas yang awalnya hanya berusaha membantu sebagai teman, ternyata malah membangkitkan perasaan lama. Bedanya, kali ini Rayna membalas perasan itu. Tanpa sadar aku meneteskan air mata haru. Sahabatku sudah banyak menderita. Dia pantas mendapatkan lelaki sebaik Dimas
"Kamu kenapa, Sayang? Sakit?"
Oke kekesalanku sudah ada di puncaknya. Dia tahu ga sih ada peraturan untuk tidak main-main dengan hormon kehamilan.
"Mas, aku tuh terharu lihat Rayna, bukan lagi kesakitan!"
Melihat aku kesal, Satya cuma cengengesan. Sekali lagi dia mengelus-elus perutku. Level emosiku menurun perlahan. Kusandarkan kepala di bahunya.
"Jadi inget hari pernikahan kita sendiri ga sih, Mas? Saat itu aku betul-betul yakin kalau kita akan hidup bahagia selamanya. Aku sempat merasa bahwa keyakinan itu meleset waktu kita dipaksa berhadapan dengan rintangan yang ga mudah diatasi. Tapi bagaimanapun aku betul-betul bahagia sekarang, bersama kamu dan calon anak kita. Aku harap Dimas dan Rayna juga begitu."
"Aku juga berharap mereka hidup bahagia. Walaupun sejujurnya aku enggak tahu kamu sedang membicarakan hari pernikahan kita yang mana."
Aku memukul dadanya kuat-kuat. Ya ampun, dia memang tukang merusak suasana. Well, tukang perusak suasana yang aku cintai setengah mati, lebih tepatnya. Sekali lagi kusandarkan kepala di bahunya. Dalam diam, kami menonton sepasang pengantin di depan sana yang baru saja memulai hidup baru mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ancai (TAMAT)
ChickLitANCAI (an.cai) Rusak; hancur; binasa Bagaimana perasaan seseorang yang dikhianati dua orang terdekatnya sekaligus? Bagaimana sanubari seorang isteri yang diselingkuhi suami bersama sahabat terdekatnya? Ancai, itulah jawabannya. Satu kata itu...