Extra Part - Dimpret

3.2K 172 6
                                    

"Rame banget, Yang. Pulang aja yuk?"

"Namanya juga hari minggu, ya pasti rame-lah." Tanggapku santai.

"Mending jogging di lapangan dekat kompleks aja kayak biasanya..." Satya lanjut ngedumel.

"Kasihan mereka dong, Mas. Kejauhan. Kamu kira rumah kita di tengah kota apa? Kalau kampus kan letaknya di tengah-tengah kedua rumah kita."

Minggu pagi ini aku dan Satya janjian dengan Dimas dan Rayna. Setelah menikah, mereka berdua juga mengambil rumah di Depok. Meski satu kota, intensitas pertemuan kami malah bertambah jarang. Semuanya disibukkan oleh pekerjaan dan keluarga kecil masing-masing. Oleh karena itu weekend ini kami sengaja janjian di kampus sambil membawa anak-anak. Setiap minggu pagi, wilayah sekitar danau di kampus memang sering dijadikan tempat untuk berolahraga dan jalan-jalan sambil berwisata kuliner. Sebagian besar adalah keluarga muda dengan anak-anak mereka

"Lo serius, Sat, nolak posisi yang ditawarin kemarin? Lo bakal jadi senior, lho..." Dimas mencoba meyakinkan suamiku.

Satya menggeleng. "Kasihan anak-anak kalau jarang ketemu Papanya. Lagian gue juga perlu fokus sama bisnis baru bareng Mas Ridho dan Mas Yudha."

"Gaya banget lo." Ledek Dimas. "Tapi gue boleh join kagak?"

Sekali lagi Satya menggeleng. "Sorry, syaratnya cuma satu Dims: khusus keluarga."

Sebal, Dimas melemparkan tusuk bekas sate usus yang baru saja ia masukkan ke dalam mangkuk bubur ayamnya. Puas setelah mendapatkan pelototan Satya, Dimas mengaduk bubur ayamnya dengan penuh semangat. Satya memberi pandangan tak setuju pada mangkuk itu. Bahkan untuk perkara bubur ayam pun mereka harus saling berseberangan.

Aku dan Rayna hanya bisa memberi pandangan sebal pada kedua suami kami yang gagal dewasa ini. Sambil menikmati ketoprak yang kupesan, kami saling bercerita namun tak pernah lupa mengawasi dua bocah lelaki yang sedang bermain tak jauh dari sana.

"Lihat deh, Cakra ngemong Ryan banget. Ryan juga kelihatan menganggap Cakra kayak kakaknya." Kata Rayna.

"Dia memang berubah jadi lebih dewasa setelah punya adik sih. Kadang gue geli banget ngeliat tingkahnya yang ga sesuai umur." Aku tersenyum memandang puteraku yang dengan telaten mengajari Ryan menggambar di tanah.

"Dia sayang ga sama adeknya? Gue pengen nambah anak lagi tapi khawatir Ryan yang baru dua tahun belum siap jadi kakak."

"Sayang banget malah. Hampir semua yang dia lakukan selalu tentang Mala. Kali ini aja adiknya rada dikesampingkan, mungkin karena udah lama ga ketemu Ryan."

Seperti tahu dirinya sedang dibicarakan, si bayi yang tadinya tertidur pulas di stroller, tiba-tiba merengek dan terbangun.

"Anak gadis Papa udah bangun ya?" Suamiku langsung beranjak dan menggendong puteri kami.

"Gue tahu gimana caranya supaya gue bisa join bisnis lo..." Kata Dimas tiba-tiba.

"Apa?" Tanya Satya yang tak terlalu memedulikan sahabatnya itu sebab masih sibuk menimang-nimang Geumala yang rewel.

"Kita bisa besanan! Ryan bisa nikah sama Mala."

"Sekate-kate lo ye. Seenaknya aja jodoh-jodohin anak orang." Pada saat yang sama Mala menangis lumayan kencang. "Cup...cup... Sayang Papa. Kamu ga mau ya? Tenang aja, Papa ga akan biarin kamu jadi menantu orang itu..."

"Maksud lo apa, Pulgoso?! Emang kenapa kalo Mala jadi mantu gue??"

Aku memutar bola mataku. Here we go again...

Ancai (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang